Kesalahan

10.3K 1.5K 484
                                    

Pagi membentang seiring suara burung berkicau bagai scene dalam film-film romantis. Perbedaannya kalau disana suaranya bagus, disini suaranya menyayat gendang telinga.

"Ma, berisik banget burungnya, elah!" Reuben berlindung dibalik selimutnya.

Kemarin Sonya baru saja membeli burung kutilang. Senyumnya merekah sambil membawa kandang yang ditentengnya ke dalam rumah.

Katanya dia membeli ini sebagai alarm pagi untuk Reuben yang mulai hari ini kembali bersekolah.

"Suruh diem aja kalo gitu." Saut Sonya dari luar kamar.

Memang kandang itu sengaja diletakkan dekat balkon kamar Reuben. Jadi suaranya yang nyaring bisa langsung terdengar.

"Anjirlah, tiap pagi gue mesti begini." Reuben melempar bantal ke arah jendela dengan cukup keras, namun cukup untuk membuat Rambo—nama burung tersebut—terdiam bisu.

Rambo nama yang diberikan oleh Sonya, padahal burung tersebut perempuan. Alasannya karena saat dia membeli, tubuh Rambo lebih besar dibanding teman-temannya yang lain, terkesan ada otot di balik bulunya.

"Mandi, sarapan, karena Aji udah nunggu di bawah." Sonya main masuk tanpa permisi.

"Ngapain tuh anak?" Reuben masih perlu waktu untuk membuka lebar kedua matanya.

"Ya, jemput kamu. Kan, kamu yang minta."

Reuben terdiam, sejak kapan dia meminta Ben datang menjemputnya? Dia memang baru sembuh dari penyakitnya, tidak mungkin tiba-tiba terserang pikun.

"Mandi, apa perlu gue mandiin sekarang?" Ben muncul dari belakang punggung Sonya.

"Tuh mau dimandiin, gih sana." Senyum Sonya. "Eh, jangan deh. Nanti malah lama."

Mereka tau sekali apa maksud Sonya dengan kalimatnya yang menjurus itu. Ditambah senyumnya yang berkedut seolah memikirkan hal yang aneh dan mencurigakan.

Ben melangkah masuk setelah mendapatkan ijin dari Sonya. Menutup pintunya dan mendekati Reuben yang masih setia duduk bersandar di kasur.

"Gue gak minta lo kesini, bisa aja boong ke Mama." Reuben menepuk pelan lengan Ben.

"Kalo bilang gue yang mau, kesannya ngebet banget. Gengsi gue kan gede, jadi bilang aja kalo lo yang mau dijemput gue."

Reuben menyuruh Ben agar duduk. "Gak ngampus?"

Maksud dari Reuben adalah duduk di sofa yang ada di samping kasur. Tapi Ben malah duduk di kasur bersamanya dengan jarak yang dekat.

Kembali Reuben berbicara. "Duduk disana bego, siapa yang nyuruh lo duduk disini."

"Iya, tau. Tapi gue maunya disini."

"Ngapain sih?" Reuben menghalau tubuh Ben yang malah semakin mendekat padanya. "Gue tampol muka lo yang ngeselin itu ya."

"Gapapa, gue selalu seneng liat lo yang ngomel begini." Sekarang malah Ben berusaha meraih lengan Reuben namun berhasil ditepisnya.

Berusaha untuk kabur. "Awas ah, telat gue nanti." Namun Ben terus menghalangi. "Lo emang paling bahagia kayanya kalo liat gue marah begini."

Tubuh Ben yang kini lebih besar menutupi tiap ruang gerak Reuben yang selalu saja ingin menghindar. Kedua tangannya berada di tiap sisi pria yang kini berada di bawahnya.

Memang tidak sepenuhnya mengunci, Reuben masih mampu untuk sekedar mendorong tubuh Ben yang hanya terbalut kaus tipis.

"Gue mau mandi ini, tadi lo nyuruh buru-buru." Reuben masih terus mengoceh.

Candala [2]Where stories live. Discover now