Mempertahankan

9K 1.3K 398
                                    

Kita tidak tau kapan hati akan berlabuh dari satu orang ke orang lain. Kapan itu terjadi pun kita tidak bisa menentukan. Perasaan yang mudah tergoyahkan juga tidak bisa disalahkan, sebab semua terjadi tanpa keinginan.

Cinta bisa saja berhenti karena manusia ingin merasakan lebih dari sekedar itu. Termakan pada batin yang bergejolak untuk minta dimanjakan.

"Apanya yang kita mulai dari awal kalo lo sendiri gak mau untuk mulai?" Ben menghentikan mobilnya di pinggir jalan dekat dengan tanah kosong. Hanya ada rerumputan liar serta gedung yang menutupi di kanan kiri. Jarang ada kendaraan yang lewat sini.

"Gue siap untuk mulai, tapi gimana sama lo? Harus kita jalanin ini dengan lo tetep deket sama Aila?"

"Lo nyuruh gue buat jauh dari dia? Sekarang apa bisa lo jauh dari Gildan?"

Mereka masih berada di dalam mobil. Beruntung kaca filmnya gelap, jadi tidak akan ada orang yang tau bahwa mereka berdua sedang memulai perdebatan yang akan berkepanjangan.

"Dia temen gue, gak ada kaitannya sama kita."

"Aila juga, gak ada kaitannya sama kita."

Reuben mendelik. "Temen yang bisa lo ajak peluk di foto? Temen yang ketika lo liat dia seakan gak ada gue di belakang?"

"Lo cemburu karena gue naro foto dia di nomernya? Lo cemburu karena kemarin Aila duduk di samping gue pas di mobil?"

"Seharusnya manusia cerdas bisa tau gimana dia harus bersikap saat dia punya hubungan sama seseorang."

Keduanya sama keras kepala, keduanya sama tidak mau mengakui kesalahan. Karena keduanya merasa bahwa apa yang dilakukan sesuai dengan apa yang di hati mereka.

Jangan bilang bahwa orang menyimpan dua nama dalam satu perasaan adalah salah. Mereka tidak bisa menebak apa yang akan terjadi, mereka bukan malaikat yang sempurna tanpa cacat. Jangan menyamaratakan manusia sesuai dengan harapan.

Ben berujar. "Berapa kali mesti gue bilang?! Aila buka siapa-siapa! Kenapa lo berasumsi cuma karena dari foto doang?"

"Lipstik? Gue liat itu di dashboard, sering dipake. Gue yakin Aila sering di mobil lo dan jalan bareng."

"Semua orang bisa ngelakuin kesalahan itu, lupa naro barangnya di mobil temen." Tampik Ben.

Reuben jengah sekali dengarnya. "Lupa? Baju di jok belakang juga lupa?"

Sempat ada keterkejutan dari ekspresi Ben. Karena dia tidak menyadari bahwa Reuben melihat itu. Kalau soal lipstik, mungkin dia memang iseng mengecek.

"Dia emang suka bawa baju ganti kalo ke kampus, waktu itu numpang ganti di mobil."

"Sering nelfon lo kaya pas kita makan malem itu? Emang harus banget dia tau lo dimana tiap menit?" Serang Reuben.

"Dia nelfon karena ada barangnya yang ketinggalan itu. Lo kenapa sekarang jadi keliatan parno gini sih?"

Memang bisa terlihat ada kekhawatiran yang terpancar jelas, cukup wajar namun ada keanehan dimana ketakutan juga terbaca dari raut mukanya. Sikap yang seperti itu bukan Reuben sekali, dimana yang biasanya selalu berani menentang tanpa pikir panjang.

Ben tidak merasa Reuben mengekang dengan menginterogasinya seperti ini. Tapi itu tadi, ada sisi dimana pria ini merasa lemah dan tidak bisa berbuat banyak.

Candala [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang