Alvant

316 53 22
                                    

Ruby sedang ada di toko pakaian satu-satunya di Alvant. Bersama sang Ibu dan Neneknya dia sedang memilih-milih pakaian baru untuknya.

Cuaca diluar yang sedikit menggugurkan salju membuat nafas berembun. Walau pemanas di dalam toko itu sudah membara.

Toko itu kecil. Hanya beberapa mannequin yang bisa dihitung dengan jari terpajang memamerkan pakaian.
Koleksi pakaiannya pun tidak banyak, hanya model itu-itu saja. Mungkin karena itulah para penduduk Alvant seolah memakai baju yang sama.

"hmmmm... Yang mana ya..." Ruby berkeliling toko. Sesekali dia mengangkat baju dan mencoba mengukurnya dengan badannya.

"Cucu nenek sudah besar ya..." Nenek tersenyum. Selalu mengikuti Ruby dari belakang. Kemanapun Ruby melompat melihat keranjang baju, Nenek selalu ada di belakangnya.

"Semua bajumu tidak ada yang muat lagi, kamu pilih baju yang murah tapi banyak." Ibu Ruby berbicara cukup keras dari ujung. Namanya wanita, dia juga sibuk sendiri memilih baju. Meski dia tahu hari ini dia kesana untuk membeli pakaian untuk Ruby, anaknya.

Di Toko itu sendiri sepi pengunjung. Hanya ada Ruby, Ibu, dan Neneknya. Penjaga toko sekaligus kasir sedang pergi ke toilet. Kalau penduduk Alvant yang lain, mereka memang terkenal jarang membeli pakaian baru.

"Hmmm masa yang murah-murah sih Bu! Inikan buat ulang tahun Ruby yang ke-17..." Ruby menggembungkan pipinya sedikit. Pipinya tetap hangat merona di tengah dinginnya Alvant.

"Hahaha Iya Iya. Cepat pilih satu saja yang kamu suka. Kita harus berhemat karena musim dingin tiba, hewan-hewan akan tidur panjang." Sang Ibu hanya bisa tersenyum memandang anaknya yang berulang tahun hari ini sedang gembira-gembiranya.

Berkali-kali Ruby mengelilingi toko. Bahkan sampai penjaga toko kembali dari toilet pun dia masih sibuk berkeliling tidak bisa menentukan pilihannya.

"Nona cantik mau mencari apa?" Tanya penjaga toko. Pria tua paruh baya yang bernama Ormen. Sebagai pemilik toko pakaian satu-satunya di desa, tentu saja nama Ormen diketahui oleh seluruh penduduk desa. Termasuk Ruby.

"Ah Pak Ormen..." Ruby terkejut karena si penjaga toko itu tiba-tiba saja mengejutkannya dari belakang.

"Darimana kamu tahu nama itu? Perasaan kamu bukan penduduk Alvant?" Ormen kebingungan. Wajahnya terlihat linglung mencoba mengingat wajah seisi kota, yang tentu saja tidak melekat sama sekali di dalam kepalanya.

"Nak Ormen..." Nenek yang terduduk lelah berdiri menghampiri Ormen.

"Eh Nenek Liz... Lama sekali tidak kemari." Ormen langsung mendatangi dan mencium tangan Nenek. Benar-benar menghormatinya.

"Nenek kenal dengan Pak Ormen?" Ruby mencoba ikut pembicaraan.

"Eh tunggu sebentar, Nenek Liz kenal dengan nona manis ini?" Ormen kembali memasang wajah linglung.

"Tentu saja. Dia Ruby. Cucuku..." Nenek tertawa kecil.

Seperti tersambar petir, Ormen langsung membatu tak mampu mengeluarkan kata apapun. Ingatan rapuhnya mulai tersusun seperti efek domino jatuh yang terus menjalar. Mengingatkannya akan siapa sosok gadis yang ada di depannya saat ini.

"Kamu Ruby? Ruby yang itu?" Astaga... Terakhir kali kalian kesini bukannya sudah hampir sembi... Ah tidak! Sepuluh tahun yang lalu? Ya aku ingat sekali!" Ormen antusias menggulung tangannya.

Matanya memandang Ruby. Tidak menyangka anak kecil lucu yang dulu menampar mannequin di tokonya karena mannequin itu terjatuh menimpa Nenek sudah tumbuh besar. "Waktu benar-benar hal misterius ya. Dalam sekejap tahu-tahu sudah menghilang dari genggaman." Ormen bergumam.

"Dia lagi berulang tahun, makanya kami kesini mencari kado untuknya." Ucap Nenek. Suara rentanya yang kering sama sekali tidak terpengaruh dengan dinginnya udara.

Ormen mengangguk kecil. "Baiklah-baiklah, karena hari ini kau berulang tahun maka akan ku kasih diskon spesial. Spesial dari Ormen!" Nafasnya berbau rokok. Ya, karena dia saking semangatnya hingga tidak bisa mengatur volume suaranya. Sehingga bau rokok itu pun akhirnya lama kelamaan mulai dominan tercium.

"Tapi Ruby masih belum menentukan pilihan..." Ruby memandang seisi toko. Sudah semua sudut dia lihat dan tidak ada satupun yang menarik perhatiannya.

"Bagaimana kalau ini saja?" Ibu datang dengan membawa selembar pakaian. Kain merah darah itu terlipat rapi di tangan Sang Ibu.

Ibu pun membentangkan pakaian itu. Mengembang seperti sayap burung, merah merekah darah. Jubah merah itu seolah memberi pelukan hangat di tengah dingin.

"Wahhh itu apa bu?" Ruby antusias. Nampaknya dia telah menemukan pilihannya.

"Jubah itu..." Ormen bergumam kecil.

"Kenapa?" Ibu memandang Ormen, menunggu pria itu menyelesaikan perkataannya.

"Itu adalah jubah legendaris milik pemburu terhebat yang dulu mendirikan Alvant. Maaf... Itu sepertinya tidak dijual..." Ormen menggelengkan kepalanya.

"Ayolah... Mending dijual saja daripada dibiarkan berdebu di lemarimu." Ibu mencoba mengeluarkan kemampuan tawar menawarnya.

"Tapi itu adalah milik leluhur desa ini... Jadi jubah itu otomatis juga milik desa ini. Bukan milik siapa-siapa, dan tidak dijual ke siapa-siapa." Ormen sekali lagi menggeleng kecil.

Ruby pun berwajah kecewa. Tangannya sudah sempat meraba-raba halusnya kain jubah itu. Sang Nenek yang melihat cucunya seperti itu pun tidak tinggal diam.

"Ormen... Kau tahu kalau aku ini keturunan langsung dari Red Hood itu? Pemburu legendaris pendiri Alvant? Bukankah seharusnya itu menjadi milikku?" Nenek angkat bicara. Ormen yang sudah mengetahui kata-kata Nenek itu benar terdiam berpikir.

"Cucuku ini juga merupakan pemburu muda terbaik di desa ini. Bukankah pantas jika dia mendapatkan jubah dari buyutnya?" Bibir Nenek yang kering tersenyum. Ormen pun menghembuskan nafas.

"Baiklah-baiklah.... Silahkan dicoba dulu." Meski terdengar jelas berat baginya melepas jubah itu, tetapi Ormen sudah membulatkan keputusannya.

"Yesss..." Ruby pun langsung mengambil jubah merah dari tangan Ibu dan langsung mengikatnya ke tubuh.

Rambut emas dengan bola mata hijau daun cemara terlihat sangat serasi dengan jubah merah yang menudungi kepalanya. Ukuran panjangnya pas hingga ke paha.

Kehadirannya seolah membawa musim semi di antara matinya musim dingin yang sedang menjadi jadi.
Nenek dan Ibu tersenyum lebar melihat Ruby yang terlihat begitu cantik dan kuat memakainya.

Keraguan Ormen pun hilang sama sekali tak berbekas melihat Ruby. Sosoknya sama persis dengan apa yang ada di bayangannya saat dulu ketika dongeng Pemburu legendaris Alvant selalu diceritakan Sang Ibu yang telah tiada sebelum dia tidur.

"Julukan Ruby The Red Riding Hood keren juga ya!" Ruby bersemangat memutar tubuhnya sambil memandang cermin di toko kecil itu.

------------------------------------------------------------------

Cerita ini terinspirasi dari dongeng Red Riding Hood dan Ruby Mobile Legends.
Cerita ini nantinya akan berjalan berbeda dari kedua cerita di atas.
Kesamaan nama tokoh memang disengaja untuk menghormati mereka.

Ditunggu vommentnya ya...

The Wolf Is ComingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang