Tristan

120 23 9
                                    

Krak....
Pintu gerbang sebesar 5 meter terbuka perlahan. Di belakangnya para ksatria-ksatria yang sedang bertugas jaga memutar katrol menarik pintu itu.

Tubuh mereka berkucuran keringat. Butuh hingga 6 orang agar katrol itu bisa diputar.

Teng! Teng! Teng!
Bel besar di sebelah katrol penarik gerbang digoyang. Sebilah kayu balok besar dihantamkan menggetarkan.

Para penduduk di dalam serentak segera menoleh ke arah pintu gerbang.
Para wanita yang sedang berbelanja di pasar bersama penjualnya menghentikan proses jual beli.

Anak-anak yang biasanya tidak pernah mendengarkan ketika ditegur akan keributannya menghentikan permainan kejar-kejaran.

Beberapa ksatria-ksatria yang sedang berpatroli mengelilingi jalan segera bersiap. Berdiri di depan gerbang.

Wajah mereka semua terlihat kacau. Berita pembantaian tiga desa yang telah terjadi menjalar menyebar dengan cepat. Tidak ada satu pun penduduk Ibu Kota yang tidak mengetahuinya.

Terutama semenjak tragedi Blood Crimson yang menimpa Alvant. Raja langsung mengutuk kejadian itu dan memberikan hari peringatan khusus untuk mengenang Alvant.

Desas-desus dengan adanya pasukan serigala yang ingin memangsa manusia membuat seluruh manusia Ibu Kota menjadi paranoid.
Tidak ada yang berani pergi keluar gerbang. Bahkan pedagang-pedagang yang biasanya membeli barang dagangan ke desa lain memilih untuk kehabisan stok daripada pergi keluar gerbang.

Tentu saja ini membuat kekacauan situs ekonomi. Tidak adanya stok, terutama stok hewan buruan karena Alvant telah hancur lebur membuat Raja memberikan kebijakan.

Ksatria-ksatria yang biasanya dipakai untuk berperang dan melindungi Ibu Kota bisa dipinjam untuk ikut melindungi para pedagang yang hendak berpergian keluar Ibu Kota.

Tentu saja, jumlah ksatria-ksatria itu tidak mencukupi. Mungkin cukup jika hanya satu ksatria mengawal satu pedagang. Tapi para pedagang tentu masih tidak merasa aman jika hanya dikawal oleh satu ksatria.

Hal ini membuat para mercenaries, para tentara bayaran mendapatkan permintaan jasa yang meningkat.
Orang-orang berkemampuan tempur namun tidak terikat dengan kerajaan seperti Hans, hilir mudik di jalanan Ibu Kota merupakan hal yang dipandang biasa sekarang.

Dan sekarang para tentara bayaran itu juga ikut menanti apa yang datang di balik gerbang baja.

"Selamat datang di Ibu Kota! Selamat datang di Tristan!" Angela membuka jendela kereta kuda.
Ruby ikut di sebelahnya mengintip keluar.

Mata hijau itu berbinar bercahaya. Mulutnya sedikit terbuka takjub. Memang ingatannya tidak bisa dia akses, tetapi dia yakin sekali kalau ini pertama kalinya dalam hidupnya dia menjajakkan kaki di Tristan.

Bangunan-bangunan bersusun mewah. Di setiap rumah selalu ada serambi, lengkap dengan tanaman hias berwarna-warni.

Pasar adalah tempat pertama setelah gerbang itu terbuka.
Banyak pedagang-pedagang yang menjual barang-barang unik yang tidak pernah dilihat Ruby sebelumnya.

Berbagai senjata dengan bentuk aneh terpajang. Satu senjata yang sempat menarik perhatian gadis pirang itu. Sebuah sabit besar sebesar kapaknya.

Tap Tap
Ksatria-ksatria berbaris rapi membuat jalan  untuk kereta kuda mereka. Meroka semua menghormat kepada Rucard. Menundukkan kepala dan menancapkan pedang ke tanah.

Anak-anak segera bergerombol berdesakan. Saling mendorong ingin melihat kereta kuda yang datang.
"Pangeran Rucard! Selamat datang!"
"Yang mulia!!!"
"Bagaimana keadaan diluar Yang Mulia?"

Teriakan para penduduk bergemuruh bercampur aduk. Rucard hanya tersenyum menatap mereka. Tetap lanjut memacu kudanya lebih jauh memasuki pemukiman, melewati pasar yang sangat ramai menyambut.

"Kakakmu pangeran?" Ruby menoleh ke arah Angel. Angel pun mengangguk menjawab.
"Berarti kamu.... Seorang Putri?"
"Hmmmm...." Angel hanya tersenyum.

Ruby langsung berlutut. "Maaf Tuan Putri. Saya tidak tahu kalau...." Belum sempat Ruby menyelesaikan perkataannya, tangan lembut Angel sudah menyentuh pipinya lebih dahulu.

"Sudah... Tidak usah begitu. Anggap saja aku temanmu..." Ruby pun mengangkat kepalanya. Angel masih tersenyum. Kepalanya bergerak sedikit mengisyaratkan kepada Ruby agar gadis itu segera berdiri. Meski beberapa detik ragu, akhirnya Ruby mendirikan dirinya kembali.

"Sekarang kita akan menemui kepala penyihir Ibu Kota. Kamu sudah siap?" Tanpa ragu, Ruby pun langsung mengangguk menjawab.

Kereta kuda berhenti. Rucard memanggil Angel dan Ruby untuk segera turun. Di depan mereka bangunan tua menyendiri di tengah kota. Pohon-pohon tua yang sudah mulai gundul kehilangan daunnya tumbuh mengelilingi.

Pintu masuk rumah itu bulat. Seperti biskuit. Gagangnya melengkung seperti awan, dengan bau besi berkarat yang menyengat. Dinding rumahnya ditumbuhi lumut-lumut. Benar-benar jauh terlihat lebih tua dan berbeda dibanding bangunan lain di sekitarnya.

Knock... Knock... Rucard mengetuk pintu.

"Silahkan masuk Ruby." Suara pria tua serak menyahut dari dalam. Ruby dan yang lainnya terkejut Sang Penyihir sudah mengetahui nama Ruby bahkan sebelum Ruby masuk ke dalam.

Pintu terbuka sendiri. Alahngkah terkejutnya mereka, melihat apa yang mereka temukan di dalam. Bukanlah ruangan-ruangan yang ada di dalam rumah itu, melainkan halaman padang rumput yang luas tanpa ujung. Jauh lebih besar dibanding ukuran rumahnya yang hanya seberapa. Seolah-olah mereka sudah berpindah tempat ke suatu tempat, bukan masuk ke dalam rumah.

Sebuah pohon sendirian di tengah padang rumput itu. Sesosok bayangan bungkuk duduk menyender disana.
Jaraknya lumayan jauh. 15 menit Ruby dan lainnya berjalan hingga akhirnya sosok itu terlihat jelas.

Rucard dan Angel duduk membungkuk. Menghormati sosok pria berambut putih di hadapannya.
Telinganya lancip, matanya bersinar terang hingga bola matanya tak terlihat.
Lingkaran-lingkaran sihir berterbangan di belakang punggungnya.

"Kakek Greyfar... Kami meminta bantuanmu."
"Tentu cucuku Angel. Kamu memintaku untuk menolong gadis berambut emas di belakangmu kan? Kemarilah gadis cantik. Tidak perlu takut...." Tangan Greyfar memanggil Ruby. Ruby menoleh ke arah Angel, Angel pun mengangguk. Mengisyaratkan bahwa dia bisa mempercayai Greyfar.

Tangan Greyfar terbuka di depan dahi Ruby. Lingkaran sihir yang dari tadi berputar di belakangnya bergerak cepat menuju jari jemarinya. Bersusun berjajar di depan kepala Ruby.

Lingkaran-lingkaran itu pun serentak bersinar. Tiba-tiba langit siang yang ada di padang rumput itu berubah menjadi langit malam.
"Ini..." Guman Greyfar.
"Ruby... Redhood... Alvant..." Lingkaran sihir mulai berputar mengelilingi Ruby.

"Ingatanmu tertampung, seperti air di dalam sebuah wadah... Sekarang aku akan membukakan kerannya sedikit demi sedikit..." Tangan Greyfar berputar, seperti memutar bola lampu.
Geh! Ruby merasa seolah ada sebuah jarum-jarum yang sudah ditarik dari kepalanya. Sakit, tapi sakit itu segera reda ketika jarum itu dicabut.

Air mata Ruby keluar. Matanya kosong tak berisi. "Sungguh malang nasibmu nak... Ingatanmu tentang keluargamu, meski pahit... Tetap kebenaran itu harus tetap kusampaikan."

"Ibu...... Nenek..... Aku mengingat semuanya...." Ucap Ruby sambil terisak-isak. Tangannya gemetar memeluk dirinya sendiri. Angel lalu berdiri di sampingnya, memegang tangan Ruby yang dingin dan gemetar. Bibirnya ikut mengkerut melihat ekspresi wajah Ruby yang begitu hancur

"Selanjutnya..." Greyfar memutar tangannya lebih jauh, berniat memutar dan menggali ingatan Ruby lebih dalam lagi. Namun...
Duar!
Bunyi ledakan besar menggetarkan tanah. Padang rumput itu menghilang dan berganti menjadi gunung salju dengan badai yang bertiup kencang.

"Woofang!?" Greyfar terbelalak dan terpental jauh. Sebuah sihir yang lebih kuat telah melemparnya jauh.

The Wolf Is ComingWhere stories live. Discover now