Yang Tersisa, Yang Tertinggal

151 34 15
                                    

Sinar matahari akhirnya berhasil menembus awan. Tumbuhan-tumbuhan beramai-ramai membuka lebar daunnya, menyambut hangat yang telah lama mereka rindukan.

Awan salju telah pergi. Menghabiskan semua bawaannya di ujung musim dingin yang telah berakhir.

"Ugh! Ugh!" Seorang pria tua mengayunkan kapaknya. Menghancurkan kayu-kayu besar menjadi bagian-bagian kecil.
Rokoknya menyala membara. Sesekali angin musim semi yang tiba, berhembus membawa abu rokok itu mengenai jenggot hitamnya yang telah beruban sebagian.

Pria itu berada di pinggir sungai bersama gubuknya. Suasananya sejuk. Hanya terdengar kicauan burung dan gemericik air yang mengalir.

Setelah kayu-kayu itu telah terpotong kecil dan terkumpul cukup banyak, ia menancapkan kapaknya ke sebuah batang pohon. Memutuskan untuk menyudahi mengumpulkan kayu bakar.

Sambil menyalakan sebuah batang rokok baru dia melangkah masuk ke dalam gubuknya.

"Masih belum sadar juga huh?" Ucap suara beratnya sambil menatap sosok gadis cantik berambut emas yang terbaring di dalam gubuk itu.

Gadis itu tidak sadarkan diri. Berbaring di atas kasur kayu buatannya. Dengan gaun putih kebesaran melindungi tubuhnya, gadis cantik itu terlihat tidur dengan damai.

"Buburmu lagi-lagi terbuang." Pria itu kemudian kembali mengangkat mangkuk dan berniat membuang bubur yang telah ia siapkan andai saja gadis itu terbangun.

"Fuuuuhh...." Asap rokok yang telah memenuhi mulut dibuang ke udara. "Sebenarnya apa yang telah mereka lakukan padamu dan orang-orang itu..."

"Uhuk! Uhuk!" Tiba-tiba gadis berambut pirang itu sadarkan diri. Pria itu kembali mengambil bubur yang hampir saja ia buang. Membawanya ke meja di sebelah gadis itu berbaring.

"Hei! Kau tidak apa-apa? Pelan-pelan..." Tangan tua itu pun membantu gadis itu mendudukkan diri.

"Pelan-pelan. Kau baru saja terbangun dari koma berbulan-bulan..." Pria itu pun segera membuang rokoknya. Menyeret kursinya lebih dekat kepada Sang Gadis.

"Ini... Dimana?" Gadis bermata hijau itu membuka matanya pelan. Dengan lemah dia mencoba melihat sekeliling. Gubuk kayu yang sesekali mengeluarkan suara ketika angin terlalu kencang meniuplah yang dilihatnya.

"Ini di daerah Vahniir... Ini minum dulu." Pria itu menyodorkan segelas air putih yang langsung habis seketika diminum Sang Gadis.

"Vah...niir?" Gadis itu terlihat bingung.
"Ya... Beberapa puluh kilometer dari selatan Alvant. Tempatku menemukanmu."

"Al...vant?" Gadis itu memegang kepalanya. Penglihatannya masih belum sempurna. Matanya masih terlalu lemah untuk terbuka sepenuhnya.
"Namaku Hans. Apa kau ingat namamu?" Hans mengambil bubur dan menawarkannya kepada Sang Gadis.

"Nama.... Nama...." Gadis itu menunduk dan memejamkan mata. Menggelengkan kecil kepalanya. Berusaha kuat untuk mengingat.
"Sudah tidak perlu dipaksa. Ini makan dulu bubur ini selagi masih bagus." Hans menaruh bubur itu di pangkuan Sang Gadis.

"Ruby..." Ucapnya pelan.
"Hmm?" Hans tidak mendengarnya dengan jelas. Suara gadis itu terlalu kecil dan lemah.

"Ruby... Namaku... Ruby." Ruby pun mengangkat kepalanya. Memandang Hans. Sosok pria besar beruban yang ada di hadapannya.

"Ruby? Kau ingat namamu? Bagus. Apa kau mengingat hal yang lain?" Hans pergi dari kursi sambil membawa gelas kosong. Berniat mengisinya kembali dengan air putih.

Ruby tertunduk. Rambut emasnya sedikit berantakan terurai ke bawah. Dia menggeleng kecil. "Aku tidak ingat apa-apa lagi..."

"Begitu? Ya sudah. Sepertinya kau perlu istirahat sedikit lagi untuk dapat kembali beraktifitas."

The Wolf Is ComingWhere stories live. Discover now