Hunter

202 48 12
                                    

Alun-alun desa mulai ramai. Para penduduk berkumpul bersesak di dekat pintu gerbang desa.

Seluruh desa Alvant dilindungi oleh dinding batu tebal yang sejak dulu selalu ada melindungi mereka. Hewan buas berkeliaran di luar seperti semut di sarangnya. Berkali-kali mereka mencoba masuk, namun dinding tebal itu mampu sampai saat ini melindungi.

Baja di balik gerbang kayu membengkok, mempersilahkan pintu itu terbuka lebar. Sudah 2 minggu para pemburu pergi dari desa untuk mencari persediaan musim dingin.

Di ujung tahun, badai salju selalu datang tak terkendali. Gunung pun semakin menjadi misteri. Jejak yang telah dilalui, tak akan kembali. Salju putih sekejap menutupinya tanpa sisa sama sekali.

Para penduduk yang bukan pemburu menunggu anggota keluarganya datang. Musim dingin adalah musim yang paling berbahaya untuk pergi keluar, karena itu para pemburu muda seperti Ruby dilarang ikut perburuan.

Ruby, Ibu dan Nenek yang sudah selesai berbelanja ikut di gerombolan itu. Berharap lelaki yang mereka sayangi kembali dalam keadaan selamat.

Bayangan kecil dan buram perlahan semakin dekat dan menjelas. Sekumpulan pria datang menuju pintu gerbang.

"Ayah...." Seorang anak kecil langsung memeluk salah satu pemburu yang berjalan paling depan.

Ruby tersenyum melihatnya. Dia ikut senang ayah dari keluarga anak itu selamat. Namun, dia sendiri tidak bisa berdusta. Jantungnya berdegup kencang. Matanya terus menerus memperhatikan para pemburu yang datang melewati gerbang tanpa berkedip.

"Puk...." Tangan Ibu yang lembut menepuk bahu Ruby. Mengusapnya pelan. "Tenang... Ayah pasti kembali." Ibu tersenyum.

Ruby pun mengangguk paham. Tangannya hanya bisa memeluk lebih erat lagi jubah merah yang baru saja ia dapat. Berharap dekapannya dapat membuat sesuatu di dalan dirinya itu tenang.

"Nah itu dia..." Tunjuk Ibu kepada seorang pria yang datang paling akhir di rombongan. Rusa dan hewan buruan lainnya terlihat paling sedikit di antara pemburu yang lain.

"Ayah!" Ruby melompat dan melambaikan tangan. Pria itu pun tanpa basa basi langsung mempercepat langkah menghampiri ketiga wanita yang cemas menanti.

Ayah menjongkok dan mencium tangan Nenek. Kemudian ia berpelukan dengan Ibu sangat erat dan lama sekali. Meghabiskan belasan detik dunia. Ayah mencium pipi Ibu dan mendekapnya erat.

"Ruby..." Setelah berpelukan dengan Ibu, Ayah pun memeluk Ruby. Tubuhnya ingin mengangkat anak semata wayangnya itu, namun saat ia mencobanya ia tersadar sesuatu.

"Ruby bukan anak kecil lagi Yah...." Ruby sedikit tersipu. Merasa sedikit malu Sang Ayah masih memperlakukannya seperti anak kecil.

"Haha, yah... Ayah baru sadar setelah memelukmu ternyata Ayah sudah tidak bisa mengangkatmu lagi. Hahaha." Pria itu tertawa.

"Jadi maksud Ayah, Ruby itu gemuk?" Ruby menggembungkan pipinya. Ayah semakin lama tertawa, Nenek dan Ibu malah sekarang juga ikut memperlihatkan giginya.

"Walau Ruby sudah tumbuh besar, Ruby tetap gadis kecil Ayah." Tangan pria itu mencubit kedua pipi Ruby. Memutarnya gemas. Meski sedikit sakit, tapi perasaan lega Sang Ayah telah kembali selamat dari perburuan membuatnya memaafkan perlakuan Sang Ayah.

"Ayo kita pulang. Kita masih punya pesta ulang tahun Ruby." Nenek mengangkat tongkatnya dan melangkah terlebih dahulu menuju rumah.

"Yeay~" Ruby bernyanyi riang. Keluarga Alvant yang lain pun juga sama. Langsung pulang ke rumah mengetahui anggotanya selamat dari perburuan.

Gerbang pun ditutup. Baja bergeser membelakangi pintu kayu. "Gerbangnya sudah ditutup?" Ruby bingung dan bertanya kepada Ayah.

"Iya. Karena semua pemburu yang berangkat telah kembali." Ucap Ayah sambil mengelus kepala Ruby.

"Semua? Baru kali ini perburuan terakhir di musim dingin tidak memakan korban." Ibu terkejut mendengar perkataan suaminya.

"Iya... Aku juga... Bagaimana ya, aku merasa aneh. Tapi... Yah syukuri saja, tidak ada yang harus bersedih dihari bahagia Ini." Ayah kembali mengelus kepala Ruby.

"Ayah... Hari ini Ruby sudah resmi lewat 17 tahun." Ruby mencengkram tangan Sang Ayah. "Ruby sudah bukan anak-anak lagi!" Ruby pun melempar tangan Sang Ayah dari kepalanya pelan.

"Hahaha..." Ayah tertawa.
"Kalau begitu terus Ruby bisa diejek sama teman-teman lain." Ruby membuang muka.
"Iya-iya maaf..." Melihat raut wajah Ruby yang serius, Ayah pun menurunkan tangannya yang mencoba mengelus kembali kepala Ruby.

"Wah bawaan Ayah banyak sekali!" Ucap Geth kencang. Sengaja menaikkan suaranya agar rival anak laki-laki itu mendengarnya. Ruby yang tahu maksudnya pura-pura tidak mendengar. Masa bodoh dengan anak itu pikir Ruby.

"Beda sekali dengan keluarga Crimson! Kalau rusanya sebanyak ini kita bahkan bisa hidup selama setahun! Bahkan lebih dari itu! Kita bisa menjadi yang paling kaya di desa!" Geth semakin menggebu-gebu mengencangkan suara. Tidak puas melihat ekspresi Ruby yang mengacuhkannya.

"Hei! Apa maksudmu Geth! Kau pikir aku tidak dengar!" Ruby berhenti dan melotot ke arah Geth dan keluarganya. Geth tersenyum, tentu saja ia tersenyum. Ia telah berhasil memancing Ruby.

"Sudah Ruby..." Ayah menepuk pundak Ruby. Ruby pun mengepalkan tangannya sangat kuat. Menghembuskan nafas panjang. Bahunya naik dan turun. Setelah cukup tenang ia pun melanjutkan langkahnya.

"Hahaha, pecundang! Dapat satu ekor rusa saja sepertinya karena kebetulan!" Geth tertawa lepas. Ayah Geth hanya diam. Dia terlalu sibuk dengan berat buruan yang harus ia bawa. Sang Ibu di sampingnya juga tidak mendengar apa-apa. Sibuk menghayal berapa banyak uang yang akan mereka dapat ketika hewan-hewan buruan suaminya itu mereka jual kepada Istana.

Setelah menjauh dari mereka, Ruby akhirnya angkat bicara. "Ayah... Ruby yakin, Ayah adalah pemburu terbaik yang saat ini dimiliki Alvant. Tapi kenapa Ayah setiap berburu selalu hanya membawa pulang buruan seadanya?" Suaranya pelan. Pertanyaan ini sudah ada di benak gadis pirang itu selama bertahun-tahun. Merada tidak enak menanyakannya setiap kali Sang Ayah kembali.

Tapi hari ini memang berbeda. Terlihat sangat aneh di mata hijaunya. Para pemburu lain membawa pulang hasil buruan yang melimpah ruah. Memang beberapa bulan terakhir buruan Sang Ayah selalu lebih sedikit dari pemburu yang lain.
Namun, kali ini perbedaanya sangat mencolok. Membuat rasa penasarannya tidak mamapu terbendung lagi.

"Ruby... Kita sebagai pemburu harus menghormati alam. Alamlah yang menyediakan hewan buruan ini, semata-mata demi kelangsungan hidup kita. Tidak lebih dari itu. Setiap jiwa hewan yang kita bunuh merupakan anggota keluarga dari hewan yang masih hidup. Kita harus menghormati jiwa mereka. Jangan ambil nyawa mereka hanya demi kejayaan." Ayah memegang bahu Ruby.

"Ambillah apa yang kau butuh dariku, tapi ingatlah aku bukan hanya untukmu." Ruby tersenyum bangga. Bangga akan Sang Ayah dan prinsip berburunya.

"Ya, itulah nasihat dari Ibu tanah ini kepada leluhur kita para pemburu. Bagus kalau kamu masih mengingatnya. Jangankan mengingat, jaman sekarang ada pemburu yang memperhatikan nasihat itu saja sudah syukur." Ibu menggerutu kesal. Nampaknya dia juga ikut kesal akan ucapan Geth tadi.

"Makanya, Ruby, anak kita, memang yang paling spesial." Ayah mengelus kepala Ruby.

Ruby tertawa kecil membiarkan tangan Sang Ayah yang sedikit mengalami luka gores itu di kepalanya.

Langit musim dingin menggelap dan kehilangan cahaya lebih cepat dari musim lainnya. Senja berwarna biru gelap melatari mereka berempat pulang ke rumah sederhana mereka.

The Wolf Is ComingWhere stories live. Discover now