Bab 6 - Satu itu berarti

220 20 7
                                    

Hampir satu jam Azam di perpustakaan. Kali ini ia mendapatkan hasil yang cukup banyak sebagai tambahan revisi skripsi. Buku-buku sengaja dikembalikan ke tempatnya semula demi meringankan tugas penjaga perpustakaan. Azam mematikan laptop dan segera merapikan buku catatan yang sudah terisi dengan coretan daftar pustaka.

Sebelum meninggalkan perpustakaan Azam mengambil buku dan berniat untuk meminjam. Buku tersebut berhasil menarik perhatian saat Azam sedang mencari referensi untuk skripsinya.

Muhammad Al Fatih 1453
Panglima terbaik yang telah diramalkan oleh Rasulullah saw. Sang penakluk konstantinopel.

Azam mengantre, menunggu giliran mendata diri sebagai peminjam buku. Saat sedang berdiri, ia meraih ponsel di saku celana dasar hitam cantungnya untuk mengecek pesan.

Pesan masuk dari Dias menjadi sorotnya saat ini. Azam membuka aplikasi whatsapp dan merasa aneh dengan isi pesan yang dikirim Dias. Dahinya berkerut, dadanya bergemuruh, pikiran Azam saat ini sudah ke mana-mana. Apa yang ia rasakan kemarin rupanya bukan hanya kejanggalan semata.

Dias Penyiaran 2017
Tia, Nandes udah konfirmasi ikut. Fakhri sama Ghaisan katanya ikut, cuma datang telat karena kerja dulu.
Nadira? Ini anak nggak ada kontaknya, jadi belum ada konfirmasi.

Setelah membaca pesan untuk kedua kalinya, kedua jempol Azam kini beradu membalas pesan kepada Dias.

Di mana posisi?

Pesan Azam belum dijawab Dias. Ia tampak gelisah sambil menunggu bukunya. Tak butuh lima menit, wanita di depannya memberi buku kepada Azam.

"Makasih, Bu," ucap Azam sembari menekan ikon panggilan kepada Dias.

"Ya, Azam?" jawab Dias melalui sambungan telepon.

"Di mana?" tanya Azam.

"Di sekret. Oh iya, aku udah aku kirim konfirmasi yang belum daftar, terus berkas proposal sudah aku taruh di meja. Aku mau nemuin ibu--" Belum selesai Dias menjelaskan, lawan bicaranya dengan cepat memotong.

"Tunggu, aku mau ke sana sekarang." Azam mematikan sambungan telepon sepihak lalu melajukan motornya menemui Dias.

"Beneran deh si Azam, suka-sukanya dia aja. Kalau udah A langsung deh, nggak peduli lagi yang lain. Egois atuh," rutuk Dias yang sudah sangat siap untuk pergi, tapi dengan terpaksa menaruh kembali tas ranselnya di dalam.

"Yakin kamu nggak tahu Nadira? Kok kontaknya bisa nggak ada?"

Suara yang baru saja terdengar sontak membuat mata Dias membulat. Suara bass yang sudah tidak asing di telinga juga sering megusik dirinya. Dengan perlahan Dias membalikkan badan. Degup jantung seakan terhitung mundur memastikan sosok yang sepertinya sudah berdiri sangat dekat.

Aliran darah Dias meluruh, ketegangan yang dirasa sudah mencapai titik puncak, membuat wajahnya sedikit puncak. Telapak tangan Dias bahkan berubah atmosfer dingin.

"Se- se- sejak kapan kamu di situ?"

Azam tak menanggapi. Ia sibuk mengecek file di laptop dengan judul file penyiaran 2017. Rasa penasarannya terjawab sudah saat menemukan nama Nadira berada di dalam daftar mahasiswa angkatan 2017.

Ternyata di sini. Tapi orangnya yang mana? Kok kayak nggak pernah ketemu.

Saat Azam sibuk dengan pemikirannya. Rupanya Dias sudah dapat mengembus napas lega. Berulang kali ia mengatur napas saat tau jika teman satu kelasnya itu tidak mendengar apa yang dia katakan sebelumnya.

"Tunggu, tapi kok bisa HMJ Penyiaran nggak punya data tentang mahasiswanya? Waktu itu aku dipaksa sama kating buat cantumin." Lagi Azam memrotes kinerja BEM fakultas sebelumnya yang dirasa kurang memuaskan.

"Tuh liat datanya. Cuma ada nama sama tahun angkatan, nggak ada nomor hape." Azam menggeser laptop dan memastikannya kepada Dias.

"Namanyanya juga manusia, kan nggak luput dari kesalahan. Mungkin kakak tingkat kita lupa tanya nomor kontak Nadira. Atau Nadira terburu-buru dan nggak sempat catat nomor."

Sebenarnya analisa yang dipaparkan Dias masuk akal. Tapi Azam tidak peduli akan penjelasannya. Azam justru merasa gelisah, khawatir acara tidak akan berjalan dengan sukses jika ada mahasiswa yang tidak hadir.

"Lagian cuma Nadira yang nggak ikut. Nggak masalah kan kalau satu mahasiswa nggak ikut, lagian acara tetap akan berjalan tanpa dia." Dias mengambil kesimpulan yang malah dihadiahi tatapan tajam dari Azam.

Alih-alih setuju dengan kesimpulan wakilnya, Azam justru berdiri dari tempat duduk. Ia tidak ingin menyesal dan merasa bersalah karena menzalimi seseorang.

"Mau ke mana, Zam? Ini udah selesai 'kan bahasnya? Mau nemuin Bu Muzay." Dias mengiring langkah Azam, tetapi sesaat kemudian Azam justru berbalik membuat Dias berhenti mendadak.

"Satu? Satu itu berarti. Kalau nggak ada satu, angka 99 nggak akan jadi seratus," jelas Azam membuat Dias semakin membelalak. "Dan ini juga bukan tentang egois tapi tentang melakukan kewajiban," lanjut Azam sebelum benar-benar meninggalkan Dias.

"Laporannya gimana?" Dias meneriaki Azam yang sudah berada cukup jauh. Meski suaranya terdengar sayup, rupanya Azam cepat menanggapi pertanyaan dengan mengirim pesan kepada Dias.

Azam Ketua BEM
Bilang Viona untuk print proposal seminar, kecuali nama peserta. Aku ke TU minta data Nadira.

****

Lima belas menit Azam menunggu di lobi TU. Tak lama Bu Seli pun ke luar dari ruangan dan menemuinya.

"Ini datanya, Azam." Selembar kertas disodorkan Bu Seli setelah lima belas menit Azam menunggu. Sebelum berhasil meraih kertas, wanita yang menjabat sebagai staf kepegawaian di TU melontarkan pertanyaan kepada Azam.

"Emang ada apa dengan Nadira?"

"Nggak apa-apa kok, Bu. Ada urusan yang mau diselesaikan." Azam tersenyum menjawab pertanyaan. Perasaannya menjadi lega, tergambar dari raut wajah yang tampak semringah.

Bu Seli mengangguk. Ada hal tersirat yang ia tangkap dari raut wajah Azam saat ini. "Oh begitu ya, sepertinya Ibu tahu urusan kamu. Semoga sukses urusannya, Azam."

"Iya, Bu. Terimakasih banyak, Bu." Azam mengatupkan kedua tangannya di depan dada dan berpamitan kepada Bu Seli yang sudah membantunya.

"Kalau sukses jangan lupa undang Ibu." Bu Seli menambahkan sebelum Azam pergi dari hadapannya.

"Iya, Bu. Insya Allah semua dosen dan staf fakultas komunikasi akan diundang ke acara."

Lain Azam lain pula Bu Seli. Ternyata keduanya memiliki pemikiran yang berbeda. Selepas kepergian Azam Bu Seli justru tersenyum malu mengingat mahasiswanya barusan.

"Azam benar-benar berani. Semoga hubungan mereka bisa sampai ke pernikahan."

****

Empat jam sudah Azam menunggu balasan pesan Nadira. Ia bahkan menelepon Nadira untuk mengonfirmasi kehadiran. Namun, sudah lebih dari dua puluh kali Azam menghubungi, tak satu pun panggilannya diangkat, pesan yang dikirim melalui chat whatsapp pun masih centang dua. Azam sangat ingin menyerah, rasanya usaha yang ia lakukan dirasa percuma.

"Ya sudah, Azam. Mungkin emang Nadira nggak mau ikut acara ini," celetuk Dias saat melihat jemari Azam bolak-balik mengecek ponsel.

"Kalau pun nggak ikut, setidaknya dia konfirmasi. Ini aja belum di-read." Azam menunjukkan ponsel kepada Dias dan langsung ditanggapi macam-macam.

"Serius nggak ada foto? Last seen off? Nama dan info cuma tanda setrip? Kayaknya fake account nih," cerocos Eko mempertanyakan keabsahan kontak Nadira.

"Suudzon aja, habis disemprot Bu Muzay?" Azam mengalihkan pembicaraan, takut jika pembahasan akan menjadi semakin menyudutkan Nadira.

"Aku cabut duluan, asalamualaikum." Tanpa sepengetahuan Dias, rupanya Azam sudah menghubungi Yovan yang juga satu kelas dengan Nadira.

----

To be continued

Jangan lupa tinggalkan jejak ya, ditunggu vote, komentar, kritik dan sarannya.

Selamat membaca dan salam sayang selalu
Elinaqueera

Lantun Cinta TaarufWhere stories live. Discover now