Bab 10 - Tahu Diri

214 25 0
                                    

"Maaf, Mba. Lampunya mati...." Mendengar pernyataan penjaga warnet, membuat Nadira memutar bola mata ke setiap sudut ruang berbentuk kubus di depannya.

"Aku butuh laptop aja, dan ... wireless pake punya aku." Nadira menunjuk laptop yang tersimpan rapi di etalase kaca.

"Maaf, Mba, ini punya Mas...." Tanpa tedeng aling-aling Nadira merampas laptop yang sebenarnya bukan milik penjaga warnet. Nadira terlalu terburu hingga mengabaikan apa yang baru saja dikatakan oleh Edo.

Melihat sosok pria yang kini berdiri di belakang Nadira, Edo hanya bisa memberi senyum paksa. Bibir Edo hendak berkata, memanggil nama orang di sana. Tapi pria yang memiliki nama lengkap Muhamad Azam itu segera mengarahkan jari telunjuk ke bibir.

Tidak mau kalah, kali ini giliran Edo membalas, jarinya menunjuk laptop yang digunakan Nadira. Tak lama Edo melihat pemilik laptop menjulurkan leher, mengintip apa yang sedang dilakukan oleh Nadira.

Azam kini mengangguk memberikan isyarat kepada Edo untuk membiarkan perempuan di depannya memakai laptop. Di depan sana Edo mengangkat tangan, menyatukan jari telunjuk dan jempol membentuk lingkaran dan menyisakan tiga jari yang terbuka.

Nanti aku ke sini lagi. Azam segera memutar badan setelah memberi pesan tersirat kepada Edo. Ia tidak ingin mengganggu juga tidak ingin bertemu Nadira untuk saat ini bisa dibilang Azam tidak mau melihat orang yang ternyata bermuka dua.

Nadira terlalu fokus mengerjakan tugas tanpa memerdulikan sekitar. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit perempuan berparas cantik itu sudah selesai mengirim file kepada dosen pengajar. Tentu saja jurus copy paste dan the power of kepepet turut andil dalam proses pembuatannya.

"Beres." Nadira menekan ikon turn off yang tertera di laptop. Perasaan sudab sangat lega, tidak ada beban tugas lagi yang bersarang di pundaknya.

"Jadi berapa bayarnya?" Nadira mengeluarkan dompet dari tas ransel, hendak membayar jasa pemakaian laptop kepada Edo. Alih-alih menutup laptop dan membayar, Nadira malah dibuat salah tingkah dengan stiker nama yang tertera di sana.

"A- Azam," ujar Nadira lantas membuat Edo mengangguk pelan.

"Nggak usah bayar, Mba. Tadi Mas Azam ke sini dan kasih izin buat pake laptopnya," jelas Edo membuat Nadira memasukkan kembali dompet ke dalam tas dan mengembalikan laptop yang ia pakai sebelumnya.

Edo menerima dengan senyum terbuka, sementara Nadira terlalu sulit membalas senyum. Perempuan itu masih terlalu tidak tahu malu, karena meminjam paksa barang yang ternyata bukan milik penjaga warnet. Segera Nadira meninggalkan bilik kecil tersebut.

Sepanjang perjalanan pulang, Nadira semakin menyalahkan diri. Berulang-ulang ia menepuk dahi hingga meninggalkan bekas kemerahan.

"Bego banget sih! Kenapa juga nggak tanya dulu!" Nadira merocos membuat beberapa mahasiswa menoleh kepadanya. Meski demikian Nadira tak pernah peduli, fokusnya hanya berjalan pulang, sebelum Ko Steven menelepon.

****

Suasana kantin saat ini sangat ramai, dipadati mahasiswa dan beberapa dosen yang berburu menu santap siang. Pun dengan Azam yang saat ini menunggu pesanannya tiba.

Duduk di meja berbentuk persegi panjang, Azam dan pengunjung yang lain tampak sangat sabar menunggu penjual memasak hidangan. Mereka tampak akrab mengobrol satu sama lain, begitu juga Azam yang turut andil berbicara saat diberi pertanyaan.

"Bulan depan kita mau magang di Sonora aja, Kak. Lebih enak jadinya kalau ada yang kenal," ujar pemuda yang duduk berhadapan dengan Azam.

Azam memberi selembar kertas berukuran tujuh kali lima sentimeter, dengan logo Radio Sonora kepada adik tingkatnya. Di sana tertera nama Esy Armisi yang menjabat sebagai program direktur.

Lantun Cinta TaarufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang