Bab 8 - Cinta? Nggak butuh!

202 26 2
                                    

Suasana di gedung aula kampus UIN Raden Fatah tampak riuh rendah, beberapa muda-mudi yang merupakan panitia pelaksana hilir mudik bergantian. Mereka tengah mempersiapkan, mendekor, menyusun, dan menyulap gedung agar terlihat lebih indah di acara seminar besok.

Di bagian sayap kiri podium, Viona duduk sembari memerhatikan laptop dan membenarkan laporan yang sudah dikoreksi Azam kemarin.

"Luar biasa banget, mantranya Azam beneran ampuh nih," celetuk Dias saat membuka lembaran absensi mahasiswa hadir.

Viona mengernyitkan alis, mencerna apa yang dikatakan Dias barusan. "Ma- mantra?" tanya Viona tak percaya jika sosok Azam memakai mantra. "Serius Azam pakai mantra?" Pikiran Viona semakin kemana-mana, tidak mungkin Azam baca mantra, bukankah itu adalah perbuatan syirik?

"Mantra kun fa yakun." Sebuah suara membuat Viona dan Dias segera menoleh. Keduanya mendapati Azam sudah berdiri di belakang mereka. Viona tampak salah tingkah dan mengalihkan topik pembicaraan.

"Itu kursi disusun kayak begitu, gak pa-pa?" Pertanyaan Viona lantas membuat Azam melirik bagian podium dan merasa ada yang kurang di atas sana.

"Terlalu rapat." Azam menuju podium diikuti Dias dan Viona. "Moderatornya perempuan, jangan sampai jadi gosip," tambah Azam.

Dengan sigap Dias memberi kembali jarak antar dua kursi yang sebelumnya sudah ia susun. "Takut dihujat netizen," celetuk Dias yang akhirnya dihadiahi getok oleh Azam.

"Aduh...." Dias menggosok pelan dahinya, lumayan sakit juga.

"Hadiah untuk doorprize udah dibeli?" Azam menoleh Viona yang sedari tadi merapikan bunga di meja.

"Udah dibungkus, Azam, tuuh...." Viona menunjuk meja di samping podium membuat Azam dengan refleks mengikuti.

Gladi resik berjalan lancar, kursi peserta sudah tersusun rapi, podium acara tampak mengagumkan dengan tampilan backdrop merah hati juga banner pembicara yang masih dirahasiakan. Azam yakin acara kali ini berbeda dari seminar pada umumnya, semua sudah terbayang di kepala Azam.

Dias yang memerhatikan Azam senyam-senyum sendiri, malah menyimpan kekhawatiran. Pasalnya sejak meminta data diri Nadira di TU, Azam belum bercerita perkembangan berikutnya.

"Beneran yakin si Nadira bakal dateng?" Pertanyaan Dias membuat Azam sadar dari lamunan. Senyum Azam yang perlahan memudar membuat Dias sadar jika Azam bisa saja tidak berhasil membujuk Nadira.

Memegang bahu kiri Dias, senyum Azam kembali mengembang. "Jangan gitu, Nadira pasti dateng, aku udah ketemu dia di ka-" Azam menjeda cerita, menggeleng sesaat kemudian mengangguk. "Yakin. Kita harus yakin dia dateng."

****

Lantun syair dari grup nasyid Raihan bergema dengan merdu, gedung aula yang mampu menampung hampir lima ribu orang itu perlahan mulai dipadati mahasiswa. Meski merupakan seminar jurusan Penyiaran, tetapi ada beberapa orang yang turut hadir dari jurusan lain yang juga termasuk di fakultas komunikasi.

Jarum jam kini menunjuk angka delapan lebih empat puluh lima menit. Masih ada lima belas menit sebelum acara resmi dimulai.

Berdiri di sisi kiri podium, manik mata Azam terus mencari sosok Nadira. "Pak Kusnadi dan Bu Sumaina sudah mau otw ke sini," bisik Rangga, menyebut tamu penting acara.

Setelah Rangga berlalu, kali ini Dias datang menghampiri Azam yang sibuk membaca secarik kertas. "Semua udah ready."

09.00 WIB

Nasyid yang sedari tadi bergema dimatikan. Suara riuh rendah mahasiswa yang asik mengobrol perlahan menghilang. Semua mengalihkan atensi kepada sosok pria dengan setelan jas dan celana hitam yang berjalan menaiki podium.

Lantun Cinta TaarufWhere stories live. Discover now