Chapter 1 - Universitas Ethernal

2.1K 210 27
                                    

Hari yang cerah di awal bulan September menandakan dimulainya kembali rutinitas yang panjang dan melelahkan bagi remaja-remaja yang berkuliah di Universitas Ethernal. Universitas ini terletak di tengah kota besar yang dikelilingi pegunungan. Sebagian besar remaja yang tumbuh di kota ini akan melanjutkan pendidikan di sini. Orang-orang yang sedang melewati bagian tengah kota untuk berbelanja atau sekadar berjalan-jalan, tidak mungkin melewatkan bangunan universitas yang menjulang tinggi kokoh bahkan terkesan angkuh ini.

Bangunan mirip kastil dari abad pertengahan--dengan sentuhan modern-- akan menarik mata siapa pun yang melewatinya. Taman-taman berumput indah dan terawat mengelilingi bangunan ini. Pohon-pohon tinggi besar dan rindang terletak di sekeliling pagarnya. Dua menara beratap lancip terlihat menonjol di antara hijaunya rerimbunan daun. Bangunan ini berbentuk persegi panjang dengan area taman kosong di tengah, yang digunakan sebagai tempat serbaguna bagi para murid. Universitas ini terbagi menjadi dua gedung utama di timur dan barat, satu gedung kantor dosen serta bagian pengurusan administrasi di utara, serta satu gedung serbaguna di selatan.

Para murid laki-laki dan perempuan dipisahkan di sini namun hanya saat perkuliahan di dalam kelas saja. Murid perempuan berada di gedung sebelah timur dan laki-laki di barat. Saat jam istirahat, mereka biasa berkumpul di area kantin yang terletak di gedung serbaguna atau sekadar duduk santai menikmati cuaca cerah di taman tengah.

Suara-suara melengking khas perempuan dapat didengar di bagian timur gedung ini. Mereka sedang membicarakan sesuatu yang berbeda di setiap sudut yang kosong dalam ruang kelas. Saat ini sekitar jam sebelas siang ketika Platina dan tiga teman perempuannya sedang mengobrol santai di ruang kelas.

"Musim murid baru datang. Pantas akhir-akhir ini banyak angin dan udara terasa dingin walaupun langit sedang cerah," kata Platina kepada teman-temannya seraya mengibaskan rambut hitam sebahunya ke belakang.

Teman-temannya terkikik.

"Memang ada hubungannya?" tanya Adele, teman sebangkunya yang berkacamata dan bertubuh bongsor serta selalu ceria.

"Memang setiap tahun begini, bagaikan cuaca tahu bila ada bibit-bibit baru datang menempati kursi kosong yang ditinggalkan di sini." Debra berkata seperti membacakan puisi.

Teman-temannya tertawa terbahak. Debra selalu berusaha berbicara seperti sajak atau puisi yang dianggapnya keren. Dulu, ia tidak mengerti mengapa orang-orang selalu menertawakannya bila ia bicara. Teman-temannya sudah berusaha memberitahunya tetapi ia tetap tidak mau mengubah gaya bicaranya. Sekarang, ia sudah terbiasa melihat reaksi orang yang tersenyum bahkan tertawa mendengar caranya berbicara.

Chloe menyahut, "Lihat, yang kalian bicarakan sudah datang." Ia menunjuk taman tengah melalui jendela disebelahnya.

Murid-murid didik baru dengan jumlah sekitar dua ratus orang mulai memasuki taman tengah dari pintu depan. Mereka terlihat bingung dan gelisah bahkan bila dilihat dari atas oleh Platina dan teman-temannya. Sekarang, setiap murid yang lebih tua di semua kelas sepertinya sedang melihat mereka. Mereka berjalan dalam kelompok-kelompok kecil. Beberapa berjalan sendirian dengan pandangan lurus ke depan. Ada yang saling menoleh ke sekeliling dan berpandangan dengan teman-temannya yang lain. Namun, mereka kompak tidak melihat barisan kakak kelas, yang berdiri di kedua sisi barisan para murid baru.

"Kalau diingat-ingat tampang kita dulu juga seperti mereka," kata Adele, "masa yang sulit tetapi lebih sulit masa yang sekarang."

Mereka meringis mendengar perkataan Adele. Tiga tahun setelah hari masuknya mereka ke universitas, bukan menjadi tahun yang menyenangkan, justru makin melelahkan.

"Tugas menumpuk, bagus sekali," kata Debra, "untung saja kampus kita ini memiliki bangunan yang unik. Kalau kita bosan dengan tugas-tugas ini kita masih bisa berjalan ke sekeliling kampus dan melihat hal-hal menarik." Teman-temannya mengangguk setuju.

Mereka berempat sering berjalan-jalan menyusuri tiap sudut kampus terutama ketika sedang jenuh. Mereka sudah pernah melihat sudut tergelap dari gedung sebelah utara yang ternyata hanyalah gudang tempat menyimpan barang-barang tak terpakai. Mereka juga pernah pergi ke halaman belakang yang sepi dikunjungi mahasiswa karena tempatnya yang jauh dari ruang kelas. Halaman belakang sangat teduh, banyak pohon besar dan biji-biji yang berjatuhan dari pohon. Di sana juga ada sebuah kolam ikan dan angsa.

"Aku ingin segera pulang dan tidur. Kelopak mataku berat sekali," kata Adele.

"Kau bolos saja, tidur di klinik mahasiswa. Aku dengar ada dosen baru tampan yang berjaga di sana," goda Platina.

"Tidak mau, aku malu," kata Adele, "aku tidur di sini saja. Bangunkan aku jika sudah waktunya pulang."

Ketiga temannya terkikik bersamaan. Adele memang tukang tidur. Ia bisa tidur di mana pun dan kapan pun ia mau.

"Masuklah ke alam mimpi, tempat kau bisa mengendalikan segalanya," ujar Platina sambil tersenyum.

Para Pendatang (The Outsiders)Where stories live. Discover now