Chapter 22 - Tawanan

444 62 30
                                    

"Tangkap mereka!"

Suara perintah itu bagaikan alarm yang berdenging di telinga Platina. Jantungnya mulai berdebar lebih cepat saat para prajurit mulai merangsek maju untuk menangkap mereka. Dave dan Derrick—yang berada paling depan—sudah merobohkan empat prajurit yang memaksa untuk masuk. Namun, puluhan prajurit lain siap menggantikan tempat prajurit yang roboh kesakitan karena luka di kaki atau pundak mereka.

"Lewat sini," kata Ruby sambil menggamit lengan Platina.

Platina melihat para kurcaci sudah tidak ada di ruangan itu dan kaki Adolf tampak menggantung di jendela.

"Cepat," kata Eryl. Ia menebas prajurit yang berlari ke arahnya dalam sekali tebasan mematikan ke leher.

Platina mengikuti Ruby yang sudah lebih dulu ke luar jendela. Ia menyerahkan gesper pedangnya lalu duduk di bingkai jendela dengan kepala di luar. Ia mencengkeram pinggiran atap kayu kemudian menarik dirinya untuk berdiri dan berusaha mengangkat tubuhnya melewati bingkai jendela. Ia menjatuhkan tubuhnya di atap yang datar dan menggenggam tangan Ruby yang terulur padanya. Platina segera memasang gesper pedangnya kembali di pinggang.

Aren, Corby, dan Flavian juga sudah berhasil naik ke atap. Mereka berlima berlari melewati atap-atap bangunan yang datar. Mereka melompati setiap bukaan sempit yang menjadi pemisah antar bangunan. Corby melongok ke bawah lalu melihat puluhan prajurit mengejar mereka sambil menunjuk. Flavian menariknya tepat waktu sebelum anak panah menyasar pundak Corby. Ruby merendahkan kepala sambil memasang panahnya pada busur. Ia mengarahkan senjatanya pada tiga prajurit terdepan. Tiga anak panah dilepaskan oleh Ruby dengan cepat, tepat mengenai paha masing-masing prajurit yang berteriak kesakitan.

"Berpencar," ujar Flavian. Ia berlari ke arah kiri diikuti oleh Corby.

Ruby berlari ke arah kanan sambil melepaskan anah panahnya yang keempat dan kelima. Aren dan Platina mengikutinya. Prajurit yang mengejar mereka terpisah menjadi dua rombongan, masing-masing berusaha menangkap targetnya.

"Atap selanjutnya terlalu jauh," seru Aren khawatir.

Platina melihat jarak antar atap yang harus mereka lompati dan langsung yakin kalau mereka tidak mungkin bisa melewatinya. Ruby menoleh ke kanan dan kiri mencari pintu loteng yang terbuka.

Seorang penduduk muncul membawa tumpukan pakaian basah ke atas loteng. Ruby melihatnya membiarkan tingkap pintu kayunya terbuka. Ia melesat maju menuruni tangga sambil berkata, "Permisi, bu. Kami izin lewat."

Perempuan itu terkejut melihat Ruby, Aren, dan Platina—yang mengucap maaf tanpa suara—berlari melewatinya.

Mereka bertiga turun dan keluar melalui pintu belakang rumah itu, mengabaikan teriakan protes dari seorang pria yang sedang mengasah kapak. Mereka berlari melewati jalan sempit berkelok-kelok tanpa mengurangi kecepatan. Platina hanya berfokus pada rambut merah Ruby yang berlari di depannya. Rumah-rumah penduduk di kanan dan kirinya tidak dihiraukan. Jantung Platina terus memompa darah untuk memberikan suplai oksigen pada seluruh bagian tubuhnya. Dadanya terasa berdebar kencang karena adrenalin yang meningkat dan keinginan agar tidak tertangkap.

Mereka terengah ketika melewati jalanan kota yang ramai. Aren menoleh untuk melihat keadaan mereka dan tampak beberapa prajurit masih mengejar di belakang.

"Mereka masih mengejar," desis Aren pada teman-teman di depannya.

Mereka terus berlari menyusuri jalan itu lalu mengubah arah ke kiri menuju sebuah jalan kecil. Mereka berbelok beberapa kali mengikuti jalan itu. Di akhir belokan, mereka menemukan tembok tinggi yang menghalangi jalan.

"Buntu," kata Platina cemas, "ayo, kita cari jalan lain."

Mereka berbalik untuk kembali ke jalan sebelumnya tetapi gagal ketika melihat puluhan prajurit sudah memenuhi jalan kecil itu.

Para Pendatang (The Outsiders)Onde histórias criam vida. Descubra agora