Chapter 3 - Figurin*

1.1K 142 21
                                    

*semacam ukiran atau cetakan berbentuk seperti hewan atau manusia

"Sulit sekali tugas ini. Kenapa kita harus mengerjakannya?" tanya Platina. Tidak ada yang menjawab pertanyaannya. Hanya suara pisau dari dapur yang menemani kesunyian di ruang keluarga tempatnya mengerjakan tugas. Ia berulang kali membalik lembaran buku-buku di depannya untuk mencari jawaban namun yang didapat tidak memuaskan. Platina menghela napas sambil meletakkan kepalanya di meja. Kedua kelopak matanya perlahan menutup, siap mengantarkan pemiliknya ke alam mimpi.

Mendadak, terdengar suara pintu terbuka dengan keras. Platina memekik kaget diikuti suara sendok-sendok jatuh dari arah dapur yang menandakan ibunya juga terkejut sampai menjatuhkan barang yang dipegang.

Platina menoleh dan melihat Aren berdiri di pintu depan dengan mata membelalak dan kilatan semangat. Namun, ada kekhawatiran yang tampak samar dari raut muka Aren. Kegelapan berdiri di belakangnya, hanya ada samar-samar lampu jalan yang menyusup dari balik punggung Aren.

"Siapa itu, Pat?" tanya Esmerada, Ibu Platina, sambil berjalan ke ruang tamu sambil mengelap sendok-sendok makan.

"Hanya Aren, Bu," kata Platina.

Esmerada memakai baju rumah selutut berwarna ungu. Rambut dan bola matanya yang hitam diwariskan kepada Platina. Ia tersenyum memandang Aren--yang sedang nyengir untuk berusaha menyembunyikan semangat yang menggebu-gebu--lalu memintanya untuk masuk dan duduk di ruang tamu.

"Ayahmu belum pulang, Nak?" tanyanya ramah.

Aren dan Platina adalah teman sejak kecil sehingga sudah biasa bagi Aren untuk ke luar masuk rumah ini seperti rumahnya sendiri.

"Belum, bu. Sepertinya ayah kerja lembur lagi malam ini." Aren tersenyum dan duduk di kursi ruang tamu. Ayahnya bekerja sebagai pegawai perusahaan tekstil di kota sebelah.

"Baiklah, kalau begitu lebih baik kau makan saja di sini dan nanti bisa kau bawa sebagian makanannya untuk makan malam ayahmu." Sambil berkata begitu, ia berjalan kembali ke dapur untuk menyelesaikan masakannya.

"Kau kenapa, sih? Jangan bilang kau takut gelap dan sendirian di rumah jadi buru-buru ke sini?" tanya Platina sambil memandang Aren galak. Ia kesal dengan kemunculan Aren yang mengejutkan tadi.

Aren menggelengkan kepala tetapi semangatnya kembali muncul. Ia tersenyum penuh rahasia pada Platina. "Tidak, tidak. Maaf atas pintu yang tadi terbuka keras. Aku tidak sabar menunjukkan sesuatu padamu."

"Apa itu?" Platina mengernyit penasaran sambil mengedikkan kepala meminta penjelasan.

"Tidak bisa di sini. Kita harus ke kamarku sekarang," jawab Aren agak berbisik sambil melirik ke arah dapur untuk memastikan tidak ada yang mendengarnya berbicara selain Platina. "Aku bertaruh kau tidak akan memercayai ini."

"Tidak bisa sekarang. Kita harus makan malam dulu. Bisa mati kita nanti kalau tidak makan masakan Ibu."

Mereka berdua menahan tawa. Ibu Platina terkenal keras kalau tentang makanan. Ia tidak akan mengizinkan Platina pergi ke mana pun kalau tidak makan dulu masakan buatannya.

Aren terdiam berpikir kemudian berkata, "Baiklah kalau begitu, sepertinya ini bisa menunggu."

Kemudian, masakan datang dan mereka makan malam bertiga. Masakan yang terdiri dari semur daging dan kentang, serta wortel dan buncis rebus, menjadi menu mereka malam itu. Setelah makan banyak, beramah-tamah, dan bercanda sopan, Platina meminta izin untuk pergi ke rumah Aren. Ibunya mengiyakan dan berkata bahwa ia akan tidur lebih dulu karena lelah dengan pekerjaan di rumah sakit hari itu. Ibu Platina adalah perawat yang bekerja di Rumah Sakit Ethernal milik Universitas Ethernal.

Para Pendatang (The Outsiders)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang