Chapter 17 - Pulang

558 69 18
                                    

"Kami akan kembali," seru Platina. Akhirnya, suaranya bisa ke luar. Ia ingin mengatakan itu pada Ruby tetapi tidak yakin pesannya terdengar. Rasa dingin yang menusuknya mendadak menghilang. Ia membuka mata perlahan dan pandangannya jatuh pada rak buku dengan beberapa figurin superhero di atasnya. Platina terkesiap lalu menoleh pada Aren—yang tampak terkejut—di sampingnya.

"Kita pulang, Pat," ujar Aren lirih. "Ini kamarku."

Keadaan kamar Aren sama persis dengan keadaan ketika mereka meninggalkannya menuju Algaria. Tatanan kamarnya tidak berubah, bahkan kerutan bed cover di kasur Aren tetap sama seperti saat mereka pergi.

Perasaan bingung menguasai Platina. Mereka dibawa ke Algaria dengan mendadak lalu dengan mendadak pula mereka bisa pulang. Platina baru menyadari bahwa ia membawa ransel dan pedangnya ke dunia nyata.

Aren membungkuk dan mengambil figurin serigala yang terletak di lantai. "Apakah kita bisa kembali ke Algaria? Bagaimana nasib Ruby? Hanya ia satu-satunya pendatang di sana sekarang, tidak mungkin kita membiarkannya melawan Raja Nero sendirian," ujar Aren hampir berteriak frustasi. "Semua ini terjadi terlalu tiba-tiba. Baru saja kita tahu pasti peran kita di Algaria dan sekarang kita sudah ada di rumah. Sial. Apa sih maumu Lupus?" Aren menggertakkan gigi sambil mengguncang figurin serigala di tangannya.

"Aren, tenangkan dirimu. Nanti kita pikirkan cara kembali ke Algaria," ujar Platina menenangkan walaupun perasaannya sama berkecamuknya dengan Aren. "Sekarang, kita perlu memikirkan cara menjelaskan kepada ibuku dan ayahmu tentang kita yang sudah berhari-hari menghilang. Kau ada ide?"

Aren menggelengkan kepala kesal dan meletakkan—dengan kasar—figurin serigala di atas rak bukunya. Ia mati-matian menahan keinginannya untuk melempar figurin itu ke lantai tetapi khawatir hal itu akan membuat figurinnya rusak sehingga mereka tidak dapat kembali ke Algaria. Aren memandang jam digitalnya yang terletak di sebelah kumpulan figurin miliknya. Ia menyipitkan mata agar bisa melihat lebih jelas tulisan di jam itu. Sinar matahari ingin masuk ke kamar Aren tetapi terhalang oleh korden di jendela sehingga hanya terlihat seperti cahaya kuning yang buram.

"Pat, coba kau lihat ini," kata Aren dengan nada mendesak.

Platina mendekat dan memandang jam digital yang ditunjuk temannya itu. Ia mengernyit bingung. "Aren, aku tidak mungkin salah ingat. Tanggal di sini menunjukkan tanggal tepat keesokkan harinya setelah kita dibawa ke Algaria. Padahal kita sudah berapa lama di sana? Sekitar sembilan atau sepuluh hari, kan?"

Aren mulai merasa bersemangat dan tersenyum pada Platina. "Kita dibawa ke sana pada jam 20.37," ujarnya sambil memandang jam tangan yang sudah dikeluarkannya dari ransel. Jam tangan itu sekarang kembali bergerak. "Sekarang waktu menunjukkan pukul 06.37. Tepat sepuluh jam. Ini sesuai dengan hari kita berada di Algaria." Aren berseru dengan penuh semangat.

"Maksudmu, satu hari di Algaria sama dengan satu jam di dunia kita?" tanya Platina ingin meyakinkan teori Aren.

"Tentu saja, penjelasan apalagi yang kita punya," ujar Aren sambil terkekeh. "Kita tidak menjadi anak hilang di sini, Pat. Kita tidak perlu khawatir ayahku dan ibumu akan mencari kita. Teman-teman sekolah pun tidak akan sadar kalau kita pergi berhari-hari ke Algaria karena kenyataannya kita hanya pergi selama beberapa jam. Kita bisa menjalankan peran kita di Algaria dan di dunia nyata."

Platina mengerutkan kening. "Kita harus membuktikannya," kata Platina ragu. Ia membuka gesper pedangnya lalu duduk di kasur sambil merogoh bagian bawah ranselnya untuk mengambil handphone. Handphone-nya sudah menyala sekarang bahkan dengan sinyal penuh dan menunjukkan tanggal yang sama dengan jam digital Aren. Platina mencari kontak nomor telepon temannya—Adele. Ia mendengar nada sambung dari seberang dan menunggu temannya itu mengangkat telepon. Platina menekan tombol pengeras suara agar Aren bisa mendengar percakapan mereka.

Para Pendatang (The Outsiders)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt