Chapter 19 - Penyergapan

460 67 19
                                    

Aren menggerutu kesal sambil berusaha mengarahkan kuda yang ditungganginya. Ia merasa kuda cokelat itu tidak mau menuruti keinginannya. Baru pertama kali ia menunggangi kuda dalam perjalanan jauh dan langsung merasa tidak terlalu nyaman dengan cara berpergian semacam ini. Setelah ke luar dari Esmevere, Eryl memberikan kuda pada masing-masing anggota rombongan. Dari rombongan itu, hanya Aren dan Platina yang belum pernah menunggangi kuda.

Aren menoleh pada Platina yang sedang berlari kecil di sebelah kanannya. Temannya itu ingin meregangkan badan setelah duduk lama di atas kuda. Platina menyadari tatapan Aren kemudian balas memandangnya dengan tatapan tanya.

"Sangat tidak enak di atas sini," ujar Aren sambil menunjuk tempatnya duduk.

Platina terkekeh melihat ketidaknyamanan Aren. Ia juga merasa tidak enak menunggangi kuda sehingga lebih memilih untuk sering turun dari kuda lalu berjalan atau berlari.

"Hei, Aren."

Aren menoleh ke belakang saat mendengar namanya dipanggil. Ia memandang si kembar dan Corby yang sedang menyeringai jahil. Firasatnya mengatakan ada yang tidak beres.

"Hei, dari tadi kau sedang memandangi siapa?" bisik Corby sambil mendekatkan kudanya ke kuda Aren. Ia berbisik agar tidak didengar siapa pun selain Aren dan dirinya. "Platina atau Ruby?"

Jantung Aren langsung berdetak lebih cepat karena tidak menyangka akan ada orang yang tahu dirinya sering menatap wanita di depannya. "Aku tidak memandangi siapa-siapa. Memangnya kenapa?" jawab Aren gugup.

"Kelihatan jelas, tahu. Katakan saja padaku." Corby berbisik dengan tetap mempertahankan cengirannya.

Aren melirik perempuan di depannya lalu beralih ke perempuan yang sedang berlari kecil bersama kuda. Ia menoleh pada Flavian yang berkuda di sebelahnya untuk memastikan lelaki itu tidak mendengar ucapannya nanti. Flavian tampak menoleh ke arah yang berlawanan dari Aren dan Corby seakan tidak peduli dengan kegiatan mereka berdua.

Aren menghela napas. "Entah kenapa perempuan berambut merah itu menarik perhatianku."

Corby tertawa mendengar jawaban Aren. Ia menepuk pundak lelaki itu lalu melambatkan laju kudanya agar bisa sejajar dengan si kembar. Aren memandanginya dengan bingung lalu melihat Dave menyerahkan sekeping koin kepada Corby yang melambaikan tangan padanya.

Sial, aku dijadikan taruhan, batin Aren.

Sinar bulan menerangi langit yang bersih tanpa awan. Rombongan itu telah berjalan menerobos hutan selama hampir dua hari. Selama perjalanan, mereka hanya menyempatkan diri untuk beristirahat sebanyak dua kali untuk tidur dan dua kali makan setiap hari. Platina dan Aren menyadari bahwa Braz ternyata adalah penyihir yang sangat ramah dan mudah melemparkan lelucon—walaupun dengan gagap—sehingga dengan cepat Braz menjadi sangat disukai oleh semua anggota rombongan. Penyihir ini sangat berbeda dengan penyihir-penyihir lain yang Platina dan Aren kenal karena biasanya para penyihir cenderung lebih dingin.

Sedangkan Eryl, tentu saja, sangat berkebalikan dengan Braz. Ia tetap memasang wajah tanpa emosi selama perjalanan bahkan ketika Braz memberikan lelucon padanya. Ia hanya melambaikan tangan kesal diikuti dengan tawa dari anggota rombongan yang lain. Eryl memang tidak pernah tertawa mendengar lelucon Braz, tetapi fakta bahwa Braz masih diizinkan ikut bersamanya—walaupun sering merasa risih dengan lelucon—membuat Aren yakin mereka berdua lebih dekat daripada yang orang lain sadari. Saat akhir dari malam kedua, Eryl berkata bahwa mereka hampir sampai di tepi hutan.

Braz mendadak menghentikan laju kudanya sambil mengangkat tangan kiri. Rombongan di belakangnya langsung menarik kekang kuda mereka sebagai tanda untuk berhenti. "Darksmile da ... datang," ujarnya lirih. "Satu ... Dua ... Ti ... tidak. Lebih ba ... banyak." Braz turun dari kudanya diikuti oleh yang lain.

Para Pendatang (The Outsiders)Where stories live. Discover now