Chapter 7 - Datang

757 108 7
                                    

Aren terbangun kaget karena mendengar suara melengking tinggi dari kejauhan. Ia segera duduk dan mendapati Ruby sudah bangun di sebelahnya. Atau mungkin dia tidak tidur, pikirnya.

Ruby menempelkan telunjuk pada mulut, mengisyaratkan Aren supaya tidak mengeluarkan suara. Aren mengangguk dan membenarkan posisi duduknya supaya nyaman. Ia menoleh pada Platina yang masih tidur di sebelahnya seakan tidak terganggu oleh suara aneh ini. Kemudian, ia memerhatikan Ruby, yang sekarang sedang melihat ke arah sumber suara di kejauhan.

Aren kagum dengan kedewasaan perempuan itu, apalagi dua pria kembar yang menyertai mereka sepertinya selalu mengikuti perintah Ruby. Wajahnya yang percaya diri menunjukkan ia memiliki banyak pengalaman di hutan ini. Aren yakin, bila Ruby terlibat dalam suatu pertempuran, perempuan itu pasti bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Mungkin suatu saat, aku yang akan menyelamatkannya, batin Aren.

Suara lengkingan masih terdengar dari tempatnya berasal. Semakin lama frekuensinya semakin tinggi memekakkan telinga. Kemudian, suara itu berhenti begitu saja. Keheningan malam kembali terjaga. Tiba-tiba, Ruby menoleh memandangnya. Aren, yang tidak siap dengan tatapan Ruby, menggosok matanya kikuk dan berpura-pura menguap.

"Aku masih mengantuk. Sudah berapa lama aku tidur?" tanya Aren sambil berusaha mengalihkan pikirannya yang konyol, bagaimana bisa ia berharap menyelamatkan perempuan asing yang baru dikenalnya ini?

Ruby mengerutkan kening. "Sekitar satu jam, aku rasa itu cukup, setelah Platina bangun, kita akan berjalan lagi," jawab Ruby.

"Baiklah, sepertinya aku harus membangunkan Platina," kata Aren. Baru satu jam ia tidur, membuat Aren memahami rasa pegal pada kakinya yang belum hilang. "Oh ya, suara lengkingan apa tadi? Kenapa kita tidak boleh bicara saat ada suara itu?" tanya Aren penasaran sembari menepukkan tangannya ke pundak Platina agar temannya itu bangun.

"Itu adalah suara Lible yang sedang melahirkan," jawab Ruby santai. "Hewan itu bulat, sebesar satu kepalan tangan, berbulu di sekujur tubuhnya, memiliki empat kaki kecil yang juga berbulu. Matanya kecil dan warnanya tidak sama setiap spesiesnya. Mulutnya juga kecil. Lible tidak pernah mengeluarkan suara kecuali saat melahirkan anaknya. Kita tidak boleh mengeluarkan suara ketika mereka melahirkan karena suara manusia bisa membunuh anaknya bila suara itu berjarak kurang dari lima ratus meter," tambah Ruby ketika melihat wajah kebingungan Aren mendengar nama Lible disebut.

Aren terpana mendengar penjelasan Ruby. Hewan-hewan di hutan ini bentuknya benar-benar berbeda dari dunia nyata.

"Aku mengerti," jawab Aren sambil terus menepuk pundak Platina yang hanya menggeliat kecil tidak mau bangun. "Astaga, anak ini tidak bangun juga." Kemudian, Aren nyengir saat muncul ide di kepalanya. "Hei, Pat, bangun, terjadi peperangan di sini," seru Aren di telinga Platina.

"Woah, perang, mana perang? Kita harus apa sekarang? Cepat sembunyi? Atau melawan? Atau ..." kata-kata Platina terputus saat menyadari Aren hanya bergurau. Ia melihat Aren tertawa terbahak-bahak dan Ruby tersenyum di sebelahnya.

"Ya ampun, Aren. Tidak adakah cara membangunkan yang lebih normal?" gerutu Platina. Ia akhirnya bangun sepenuhnya dan duduk sembari menyisir rambut dengan jari-jari tangannya. Badannya terasa pegal-pegal karena tidur di tanah dengan alas seadanya. Namun, ia tidak mengeluh. Bukan sifat Platina untuk mengeluh ketika ada kesulitan.

Ruby berdiri dan meletakkan busur serta anak panah di punggungnya. "Ayo, berangkat, kita harus tiba sebelum fajar," kata Ruby sambil berjalan menuju semak-semak tempat Dave dan Derrick berjaga.

Aren memandang Platina yang baru selesai menyisir rambutnya dengan tangan. "Bagaimana keadaanmu?"

"Lumayan," jawab Platina. Ia berdiri dan membereskan alas tidurnya. Aren mengikuti yang dilakukan Platina tepat saat Ruby dan pria kembar menghampiri mereka.

"Baiklah. Ayo, jalan," Ruby memimpin jalan masuk ke hutan. Pria kembar kembali membawa alas tidur yang dipakai mereka tadi.

"Kita mau ke mana?" tanya Aren pada Ruby.

"Sebentar lagi kalian akan tahu," jawab Ruby sambil terus berjalan. "Di sana kalian juga akan mendapat penjelasan, jadi jangan bertanya apapun dulu, masih belum aman di sini."

Platina dan Aren mengangguk. Mereka semua terus berjalan menembus kegelapan kabut malam. Belum pernah Aren berjalan sejauh ini, membuatnya berkali-kali harus mengusap keringat yang muncul di dahinya walaupun hutan itu dingin. Ia menoleh pada Platina, yang keadaannya tidak jauh berbeda, keringat membuat rambut panjangnya menempel pada wajahnya dan berkali-kali tangan Platina harus menyibakkannya kembali ke belakang, bahkan napasnya terdengar terengah-engah.

Aren mencoba menoleh pada Dave dan Derrick untuk melihat keadaan mereka. Pria kembar itu sama sekali tidak berkeringat, napas mereka tetap teratur. Ia mengamati Ruby dari belakang, sepertinya Ruby pun tidak tampak lelah. Aren tersenyum pada dirinya sendiri, ia harus mulai menerima bahwa hidup di hutan tidak semudah yang ia baca di buku novel. Mereka harus berjalan sangat jauh untuk menuju ke tempat tertentu.

Mereka terus berjalan sampai sinar fajar akhirnya mulai menerobos ranting pepohonan. Burung-burung mulai berkicau walaupun wujudnya tidak bisa mereka lihat. Kabut mulai menghilang dari hutan sehingga pepohonan bisa terlihat jelas sekarang. Aren memfokuskan mata. Ia melihat sebuah siluet hitam tinggi menjulang di depan mereka.

Siluet yang Aren lihat adalah kayu yang menjulang setinggi pepohonan di hutan itu. Kayu itu melebar ke kanan dan kiri, Aren mencari-cari ujungnya, tetapi tidak terlihat. Mereka semakin mendekati kayu raksasa itu kemudian berhenti. Ada dua pria penjaga di depannya. Mereka memakai jubah tanpa lengan dengan bros berbentuk ukiran kayu tersemat di dada. Ruby menghampiri para penjaga itu dan berbisik mengatakan sesuatu sambil menunjuk Platina dan Aren. Para penjaga mengangguk dan membisikkan sesuatu pada Ruby. Aren berusaha mencuri dengar tetapi kicauan burung-burung yang ramai membuatnya tidak dapat menangkap sepatah kata pun dari mereka.

Ruby kembali menghampiri mereka. "Kita sudah sampai. Aren, Platina, kalian harus mengucapkan kata ini agar bisa masuk. Owod peno. Ini sandi kami, jangan sampai orang lain tahu apapun yang terjadi atau kalian akan membahayakan kami semua di sini," bisik Ruby tajam.

Platina dan Aren berpandangan penasaran dan memilih untuk mengiyakan Ruby. Sebentar lagi mereka akan mendapat penjelasan di dalam tembok kayu ini. Apapun yang ada di dalamnya, harus bisa menjelaskan semua pertanyaan yang ada di pikiran mereka.

Ruby maju mendekati tembok kayu diikuti oleh pria kembar. Platina dan Aren mengikuti dan berdiri berjajar di samping mereka. Tembok itu menggentarkan. Rasanya dunia telah tertutup oleh kayu. Aren menghirup napas untuk menenangkan diri.

Aren mendengar Ruby mengucapkan sandi di sebelah kanannya. Ruby melangkah menuju tembok seperti hendak menabraknya. Dalam sekejap mata, Ruby sudah menghilang menembus tembok kayu. Aren melongo. Sesaat, ia menyangka tembok itu akan terbuka ketika kata sandi diucapkan tetapi bukan itu yang terjadi.

Dave dan Derrick menoleh pada Aren dan tersenyum pada Platina. "Semoga berhasil," kata mereka bersamaan. Mereka membisikkan kata sandi dan melangkah ke balik tembok lalu menghilang.

Platina mencengkeram lengan Aren. "Mereka menghilang? Seperti di novel saja, " bisik Platina gugup. Aren mengangguk menyetujui.

"Kita harus masuk juga. Ini akan menyenangkan," tawa Aren.

Platina dan Aren mengucapkan kata sandi bersamaan. Mereka menarik napas dan melangkah bersama. Rasanya aneh, seperti mendekatkan wajah ke tembok kayu yang halus dan dingin. Mereka memejamkan mata rapat-rapat, menunggu rasa sakit menabrak tembok kayu menyerang mereka.

Para Pendatang (The Outsiders)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora