Chapter 16 - Masa Lalu

586 79 17
                                    

Pagi di Esmevere berbeda dari pagi yang biasa Platina alami. Cahaya matahari yang masuk melalui sela-sela pepohonan membuat ilusi cahaya yang indah dipandang. Suara cuitan burung-burung terdengar saling bersahutan. Aroma embun pagi hari bercampur tanah hutan tercium melalui jendela dari rumah pohon.

Platina, Aren, dan Ruby sedang duduk di ruang tengah sambil memakan roti dan selai yang sudah disediakan di keranjang. Saat bangun pagi tadi, Platina menemukannya sudah ada di atas meja. Ia melihat kepala Corby dan si kembar yang tampak dari jendela. Tiga lelaki itu berada di luar untuk meregangkan badan. Lima lelaki dalam satu ruangan yang tidak begitu luas semalaman cukup membuat mereka sulit bergerak bebas. Sedangkan Flavian berdiam diri di kamar dengan pintu tertutup.

"Roti ini enak," ujar Aren dengan mulut penuh. "Tidak seperti roti yang biasa kita makan. Terbuat dari apa ya ini?"

"Telan dulu makananmu, baru bicara." Platina mengernyit kesal melihat tingkah laku temannya itu. Aren hanya mengangkat bahu dan melanjutkan melahap roti sebanyak yang ia bisa. Platina baru saja akan menggigit potongan roti keduanya ketika Corby membuka pintu depan bersamaan dengan Flavian ke luar dari kamar.

"Renee datang. Saatnya untuk pergi," kata Corby.

Platina buru-buru menghabiskan roti keduanya dan mendapat lirikan jahil dari Aren. Ia berusaha memukul temannya itu tetapi gagal karena Aren berkelit berdiri sambil tertawa. Ruby tersenyum melihat mereka berdua lalu berjalan ke luar diikuti oleh Flavian yang hanya melirik kesal.

Saat Platina dan Aren membuka pintu, Renee dan rombongan sudah mulai melangkah menjauhi rumah. Platina dan Aren berlari kecil untuk mengejar mereka.

Platina memandang ke sekelilingnya. Esmevere di malam hari berbeda dengan saat ini. Tidak ada cahaya jalan atau bunga-bunga yang menyala. Hanya cahaya matahari yang menerangi segalanya. Bau embun pagi—yang membasahi seisi hutan—menyeruak ke hidung Platina. Pepohonan dan daun-daun berkilauan diterpa sinar matahari. Jalan setapak abu-abu kusam yang Platina lewati tampak seperti jalan berbatu biasa tetapi ia yakin batu itu yang bercahaya saat malam hari

Aren menyenggol bahu Platina yang sedang asik mengamati jalan setapak. Platina menoleh ke arah yang ditunjuk Aren. Di sebelah kanan mereka, ada sekitar lima penyihir yang sedang mengelilingi satu pohon besar. Kelima penyihir itu memakai jubah berwarna cokelat tua dan berambut perak panjang. Mereka mengangkat kedua tangan bersamaan dengan telapak menghadap ke arah pohon di depannya.

"Apa yang sedang mereka lakukan?" tanya Platina. Tanpa sadar ia menghentikan langkahnya dan sekarang memberikan perhatian penuh kepada lima penyihir itu. Anggota rombongan yang lain juga tertarik untuk ikut melihat.

Salah satu penyihir mulai mengeluarkan suara yang mengalun lembut. Kemudian, disambut dengan nada harmoni dari penyihir yang lain sampai akhirnya suara mereka berlima bersama-sama membentuk sebuah nyanyian. Platina merasa nyanyian itu mengandung kekuatan sihir. Ia melihat sulur-sulur pohon mulai bergerak sedikit demi sedikit mengikuti gerakan tangan para penyihir. Akar, daun, dan kulit pohon itu perlahan mulai saling melepaskan diri hanya untuk kembali saling melilit tetapi dengan bentuk yang sama sekali berbeda. Para penyihir itu membentuk jalinan akar dan daun menjadi sebuah jendela dan pintu.

"Mereka sedang membuat rumah," ujar Ruby terpana.

"Itulah yang sedang mereka lakukan. Prosesnya bisa memakan waktu berjam-jam dan kita tidak memilikinya," kata Renee dingin. "Ayo, kita ada janji dengan Seleca."

Rombongan itu kembali berjalan mengikuti Renee. Platina masih memandang kagum pekerjaan yang dilakukan oleh para penyihir itu selama beberapa saat kemudian segera berlari menuju teman-temannya. Mereka berjalan selama beberapa menit hingga sampai ke sebuah pohon tua yang berdiri dengan kokoh.

Para Pendatang (The Outsiders)Where stories live. Discover now