Chapter 8 - Carmine

789 116 6
                                    

Platina dan Aren membuka mata lalu terkejut. Di hadapan mereka, tertata bukit-bukit berumput dengan pepohonan yang mengelilinginya. Cahaya matahari, yang sudah bersinar sepenuhnya, menyelimuti pemandangan di depan mereka. Mereka sudah melewati tembok kayu tanpa rasa sakit, rasanya hanya seperti melewati angin.

Platina menoleh ke belakang untuk mengecek tembok yang barusan dilewatinya. Platina ternganga dan menarik Aren--yang masih terpana--untuk menoleh. Tidak ada tembok kayu yang menjulang di belakang sehingga mereka bisa melihat hutan dan bagian belakang dua pria penjaga tembok.

"Ke mana perginya tembok kayu tadi?" tanya Platina.

Aren menggeleng tidak mengerti. "Tidak tahu tetapi ini hebat. Kejutan apalagi yang akan kita dapatkan di sini," jawab Aren sambil tertawa.

Platina ikut tertawa melihat temannya. Jantungku harus beristirahat, batinnya, sudah cukup aku terkejut dengan semua ini, saatnya untuk menikmatinya.

"Selamat datang di Carmine," seru Ruby ceria dari belakang mereka. "Ayo, ikuti aku. Kalian akan bertemu pemimpin Carmine. Kalian bisa menanyakan apapun yang ingin kalian tahu tentang Algaria."

Platina dan Aren berlari kecil menuju tempat Ruby berdiri bersama pria kembar. Ruby terlihat gembira dan untuk pertama kalinya terlihat santai ketika berada di sini. Mereka mengikuti Ruby menuju bukit tertinggi di Carmine dengan bangunan dari kayu yang menjulang di atasnya. Selama perjalanan ke sana, mereka tertarik mengamati keadaan sekitar.

Para pria mulai ke luar dari rumah kayu yang menyatu dengan dua pohon di samping kanan dan kirinya. Mereka mulai menimba sumur, memotong kayu, dan beberapa berjalan menuju bukit di sebelah utara. Para wanita juga ke luar dengan teriakan khas ibu-ibu untuk menyuruh anak-anak segera bangun. Platina tersenyum melihat pemandangan ini. Ia jadi teringat ibunya di rumah. Ia menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran sedih itu.

Mereka sampai di depan bangunan kayu terbesar di Carmine. Sekitar sepuluh batang pohon berdiri di sekelilingnya menyatu dengan bangunan kayu itu. Platina mengamati lebih jelas hubungan pohon dan bangunan itu. Ia menyadari bahwa pepohonan itu bukan hiasan tetapi pepohonanlah yang membentuk bangunan kayu itu tanpa melepaskan ikatannya. Dindingnya membentuk ukiran-ukiran dengan pinggiran tajam. Bangunan itu indah, atapnya mengilat terkena cahaya matahari, pintu depannya sangat tinggi dan kokoh.

"Bagaimana cara mereka membuat bangunan ini menyatu dengan pohon?" tanya Platina pada Ruby. Ia melihat Aren sudah mendekat ke arah bangunan itu dengan setengah berlari untuk mengamati lebih dekat. Namun, langkahnya terhenti karena dihadang oleh penjaga gerbang dengan gada terhunus.

"Para pengukir terbaik yang tinggal di sini membangunnya sambil bernyanyi bersama dengan pepohonan," jawab Ruby santai. "Tenang, dia bersamaku," seru Ruby pada para penjaga gerbang yang sekarang sedang melotot pada Aren. Aren nyengir senang mendengar seruan Ruby yang membuat para penjaga kembali ke posisinya dengan tatapan kesal.

Platina mengerutkan kening memikirkan jawaban Ruby. Ia memang pernah mendengar bahwa pohon bisa mengeluarkan suara seperti manusia tetapi tidak pernah mendengarnya satu kali pun. Ia memandang ke sekeliling, suasananya rindang, daun-daun bergerisik karena tertiup angin. Ranting-rantingnya bergerak seirama dengan arah angin yang membelainya.

Mereka berjalan masuk melewati pintu gerbang yang telah dibuka oleh para penjaga. Ruangan di dalam sangat luas, seperti aula besar. Di kanan dan kiri ruangan terdapat jendela-jendela besar yang menjadi jalan masuk sinar matahari untuk menerangi ruangan. Dua tangga melengkung besar terdapat di ujung ruangan menuju lantai dua yang memiliki banyak pintu. Semua ornamen di ruangan ini terbuat dari kayu. Bahkan sebuah singgasana di depan Platina sekarang, yang diduduki oleh seorang pria berkulit sawo matang, juga terbuat dari kayu yang terukir indah dengan warna cokelat tua mengilat.

Para Pendatang (The Outsiders)Where stories live. Discover now