Chapter 20 - Amortium

459 60 10
                                    

Platina duduk termenung di atas sebongkah batu yang berada di tepi hutan, sembari membersihkan luka akibat pertarungan dengan Molk. Beberapa luka sayat ia terima di lengan dan memar di beberapa bagian tubuhnya. Aren duduk di sebelah kanannya dengan pandangan menerawang sambil membersihkan pedangnya yang berlumuran darah Molk dengan daun Clord. Daun ini mampu membersihkan pedang dari kotoran apa pun untuk mencegah pedang berkarat. Ruby membersihkan pedang pendeknya dan mengisi ulang anak panahnya dari cadangan yang ia bawa. Corby dan Flavian berada di tepi sungai untuk membersihkan tangan dan kakinya dari darah kering yang melekat di kulit. Dave dan Derrick memandang hutan untuk berjaga-jaga apabila ada Molk yang kembali menyerang. Sedangkan Eryl, ia memandang bulan yang mulai tertutup awan dengan wajah tanpa emosi. Mereka semua telah sampai di tepi hutan dan sekarang sedang mengistirahatkan diri dari pertarungan yang melelahkan sebelum kembali berjalan menuju Pegunungan Amortium.

"Braz benar-benar sudah mati?" tanya Ruby pelan.

Platina mengangguk sedih. "Sihir sebesar itu bukanlah sihir yang mampu dilakukan oleh manusia bahkan penyihir sekali pun. Lunette memberitahu kami, pengguna sihir bisa mati bila energi yang dikeluarkan melebihi energi yang dimilikinya."

"Karena itu para penyihir dan kalian tidak menggunakan sihir sembarangan," kata Ruby. "Aku mengerti."

"Ada hal yang harus dikhawatirkan. Raja Nero jelas-jelas menginginkan kita," kata Platina. "Apa yang harus kita lakukan?"

"Tentu saja melawannya," sahut Aren. "Aku tidak akan membiarkannya menangkapku dengan mudah. Sudah takdir kita untuk mengalahkannya."

Ruby mengangkat bahu. "Melawannya bukan hal yang mudah. Pasukan Molk adalah contohnya. Mereka hanya satu pasukan dari ratusan pasukan yang Raja Nero miliki. Melawan semuanya adalah hal yang mustahil."

"Kita harus menjadi lebih kuat dulu. Memang butuh waktu yang lama. Bertarung seperti tadi saja aku sudah sangat kelelahan," ujar Platina sambil memijat lengan kanannya.

Aren tersenyum dengan percaya diri. "Aku yakin kita bisa. Lagipula, bukan hanya kita yang akan melawan," kata Aren sambil memandang anggota rombongannya yang masih melakukan kegiatannya masing-masing.

Eryl bersiul ke arah hutan dengan nada seperti nyanyian. Ia tetap berada pada posisinya sambil menatap ke arah hutan seperti sedang menantikan sesuatu. Belum sempat Corby bertanya, suara derapan kuda terdengar dari arah hutan. Kuda-kuda yang tadi melarikan diri, sekarang mendatangi mereka kembali. Aren menghela napas lega karena semua ransel dan perlengkapan yang mereka butuhkan tergantung di punggung kuda-kuda itu.

"Bersiaplah semuanya. Kita akan berangkat," seru Eryl tanpa mengalihkan pandangannya dari langit.

"Dengan berkuda?" tanya Dave sambil mendekati kudanya yang berwarna hitam.

Eryl menggeleng. "Bawa seluruh perlengkapan kalian. Mereka akan segera datang," jawabnya misterius.

Para anggota rombongan mulai menurunkan barang bawaan mereka dari kuda. Mereka meregangkan badan yang terasa sangat pegal. Beberapa meringis kesakitan merasakan luka dan memar di tubuhnya yang terasa kaku. Sebenarnya, mereka berharap bisa bermalam di tepi hutan malam ini. Namun, tampaknya Eryl berpendapat tidak bijaksana untuk berlama-lama di tempat yang dekat dengan bekas pertempuran, jadi mereka harus terus bergerak.

Eryl kembali bersiul dengan nada yang berbeda dengan siulannya di awal. Kuda-kuda tersebut mendengus dan meringkik lalu berderap pergi bersama-sama.

"Ke mana mereka pergi?" tanya Aren.

"Esmevere," jawab Eryl singkat. Ia sekarang berdiri di atas bongkahan batu lancip yang tingginya sekitar dua meter. Tubuhnya yang setengah pohon dan setengah penyihir, menciptakan siluet yang aneh di bawah sinar bulan. Eryl mulai bernyanyi.

Para Pendatang (The Outsiders)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang