10. Parfum

3.1K 694 63
                                    

Perasaan gelisah seperti tiga minggu yang lalu muncul lagi tatkala aku menunggu Mas Irshad. Lebih panik lagi karena dia akan ke sini sendirian. Ya, dia benar-benar akan ke sini. Seperti biasa, ibuku yang paling antusias akan hal ini.

"Na, udah jam segini kok Irshad belum sampe sini ya?" tanya ibuku sembari berjalan ke arahku.

"Jangan-jangan dia nyasar Bu karena rumah kita di pelosok," candaku sembari mengulum senyum.

"Sembarangan kamu Na. Orang Irshad juga udah beberapa kali main ke rumah Tante Qori masa iya jalan ke sini bisa lupa?!"

Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan Ibu.

"Halah Bu engko lag wayahe teko lag yo teko. Ora usah gupuh." Ayah ikut bergabung bersamaku dan Ibu di ruang tamu.

Benar kata Ayah, nanti kalau sudah waktunya sampai juga sampai. Lagipula ini masih jam empat lewat beberapa menit. Mas Irshad bilang akan ke sini sekitar jam empat.

"Bene to, Yah. Orang lagi nunggu bakal mantu. Doni nanti suruh libur dulu aja Na lesnya. Kan Irshad mau ke sini."

Bakal mantu? Aku menatap ibuku tak habis pikir. Bukankah ini terlalu cepat untuk meyebut Mas Irshad sebagai calon menantunya? Bahkan aku saja masih belum begitu yakin. Ayolah kami baru kenal beberapa minggu. Dan lagi isi chat kami tak ada yang istimewa. Ya walaupun kadang jantungku kerap kali berdetak begitu cepat ketika mendapat notif pesan darinya yang termasuk jarang. Memang jarang, kami tidak intens berhubungan.

"Na?"

"Huh? Iya Bu?" Aku sedikit terperanjat ketika Ibu menginterupsiku.

"Doni nanti dibilangin nggak usah les dulu aja. Udah belum? Bengong aja kamu tuh."

"Doni kan lesnya jam tujuh sih Ibu. Ya kali Mas Irshad sampe jam tujuh malem di sini."

"Ya kan siapa tau. Nggak enak juga kalo Irshad masih di sini terus Doni datang ke rumah minta dikasih les."

"Iya wes iyaaa.. Aku manut ae sama Ibu."

"Buk, wes sholat? Ayo sholat dulu," sela Ayah di tengah perdebatanku dengan Ibu.

"Hayoloh Ibu belum sholat ashar. Udah jam berapa nih? Hoho Ibu belum sholat itu, Yah."

Ibu hanya mencibir pelan menanggapi godaanku sembari pergi ke belakang diikuti oleh Ayah. Nyatanya Ibu memang belum sholat ashar karena kebiasaan ibuku selalu menunggu Ayah untuk diimami. Semoga aku kelak bisa seperti itu dengan suamiku, selalu bisa sholat berjamaah dengan dia sebagai imam.

Seperginya Ibu dan Ayah aku sendirian di ruang tamu. Aku melirik ponselku. Haruskah aku bertanya apakah Mas Irshad sudah berangkat? Atau sebaiknya aku tanyakan Mas Irshad jadi ke sini atau tidak? Ah, tidak perlu. Aku akan terlihat sangat mengharapkannya kalau aku lakukan hal itu. Lagipula aku tidak peduli dia jadi ke sini atau tidak. Ya, aku tidak peduli.

Aku memilih mengambil ponselku sembari menunggu. Bukan untuk menghubungi Mas Irshad, bukan. Aku tidak akan melakukan hal itu. Aku mengambil ponselku hanya untuk mengurangi kebosanan. Beberapa aplikasi seperti instagram atau wattpad aku rasa bisa sedikit mengurangi kejenuhan. Hingga suara mesin motor matic berhenti di depan rumah menginterupsiku. Rasanya jantungku ingin melompat dari tempatnya. Sengaja pintu rumah aku buka karena memang akan ada tamu jadi aku bisa melihat sosok pemilik motor matic putih itu.

Aku masih tidak beranjak dari kursi ruang tamu dan masih memerhatikannya dari sini. Kalian pasti tau siapa sosok di balik helm merah dan jaket merah pemilik motor matic putih itu. Ya, dia Irshad Maulana Adi.

"Assalammualaikum.."

Suara Mas Irshad mengalun dari ambang pintu. Aku langsung beranjak dari tempat dudukku kemudian menuju pintu.

"Waalaikumsalam.. masuk Mas."

Mas Irshad pun berjalan mengikutiku menuju kursi ruang tamu.

"Ayo Mas silahkan duduk," ujarku yang ia balas dengan anggukan dan senyuman canggung.

Subhanallah wanginya. Bahkan bau parfum Mas Irshad tercium dari jarak dua meter. Bau parfumnya sangat lembut. Sepertinya aku akan langsung hafal dengan aroma parfum ini.

"Ibu sama ayah di mana?" tanya Mas Irshad.

"Ada Mas di dalam masih sholat."

Ia hanya mengangguk sambil ber'oh ria'. Susana saat ini benar-benar canggung. Kami sama-sama terlihat bingung harus bagaimana dan membicarakan apa.

"Ngg.. Mas tadi nggak nyasar kan?" tanyaku sambil tersenyum creepy.

Mas Irshad menggeleng juga dengan senyuman creepy lalu menjawab, "enggak kok."

Mas Irshad saat ini sudah duduk sedangkan aku masih berdiri dekat meja ruang tamu. Jarak kami sekitar dua meter lebih tapi aku masih bisa mencium aroma parfumnya yang lembut. Aku jadi penasaran sebanyak apa dia memakai parfum.

"Mas, aku ambilin minum dulu ya.."

Mas Irshad yang tadinya duduk sembari menunduk langsung mengangkat wajahnya hingga mata kami bertemu beberapa saat. Pertemuan mata dengan mata itu sama sekali tidak baik untuk jantungku. Aku pun langsung pergi ke belakang tanpa menunggu respon darinya.

"Irshad udah datang to Na?" tanya ibuku yang baru keluar dari tempat sholat.

"Udah, Bu. Ini aku mau ambilin minum."

Lalu aku langsung berlalu menuju dapur. Sedangkan Ibu menuju ruang tamu diikuti oleh Ayah menemui Mas Irshad.

Ketika aku kembali ke ruang tamu sudah ada Ayah dan Ibu yang duduk bersama Mas Irshad. Aku ketakkan teh dan sepiring kue yang tadi siang aku buat. Mencoba resep kue memang hobiku, jadi ini bukan serta merta karena Irshad Maulana Adi aku membuat kue.

"Ayah sama Ibu kamu gimana Le? Sehat semua kan?" tanya Ayahku.

"Alhamdulillah sehat semua, Yah?" jawab Mas Irshad sembari tersenyum.

Ayah? Sejak kapan ayahku juga ayahnya?

"Ayah sama Ibu pripun? Sehat juga kan nggih?"

"Haha ya gini Le sehatnya orang yang udah tua," jawab Ayah.

"Ya kemaren itu Ayah sama Ibu sempet batuk. Atsna juga, semuanya batuk," timpal Ibu.

"Anginnya lagi nggak bagus juga soalnya, Bu. Musim pancaroba."

Aku hanya diam menyaksikan mereka bertiga berbincang. Lagipula aku juga bingung mau bicara apa. Jadi ini sebenarnya dia ke sini karena ingin bertemu denganku apa orangtuaku? Aku pikir sepertinya dia lupa kalau di sini juga ada aku.

"Kamu kerjanya sampe Sabtu, Le?"

"Nggih Yah, masuk terus dari Senin sampai Sabtu."

"Pulangnya juga sampai sore?"

"Hehe nggih, Bu."

Kemudian tiba-tiba suasana menjadi canggung. Sepertinya mereka kehabisan topik pembicaraan. Jadi di sini semuanya diam tidak ada yang angkat bicara, benar-benar canggung. Bahkan aku lihat Mas Irshad kini tengah menunduk sembari memainkan jari-jarinya. Sepertinya dia juga gugup.

"Ayo Bu ke dalam biarin Irshad sama Atsna ngobrol," ujar ayah sembari berdiri. "Le, Ayah tinggal dulu ya."

"Na, Masnya ditemenin."

Aduh!

🐥🐥🐥

M A R R I E D ?  ?  ? Where stories live. Discover now