14. Wanita Gampangan?

3K 562 27
                                    


Sebenaranya yang paling dibutuhkan wanita adalah perhatian. Sebuah perhatian sederhana niscaya mampu meluluhkan hati seorang wanita. Rasanya seperti lupa semua dengan kekesalan-kekesalan terhadap si pemberi perhatian.

Mas Irshad
Yaudah kalau gt. Jgn lupa makan nanti. Semoga pamannya cepat sehat.

Pesan sederhana itu berhasil membuat sudut bibirku sedikit terangkat. Padahal aku sempat ragu apakah dia benar-benar serius denganku, menghubungiku saja jarang. Bukankah kalau dalam masa pendekatan harusnya lebih intens berhubungan?

“Na, ayo turun. Kok malah bengong?”

“Oh iya Bu..”

Aku, ayah, dan ibu baru saja pulang dari menjenguk Paklik Khozin adiknya ayah. Ngomong-ngomong soal menjenguk, tadi ibu sempat membuat heboh. Saat tadi banyak keluargaku di sana dan menggodaku tentang kapan menikah tiba-tiba ibu nyeletuk cerita tentang perkenalanku dengan Mas Irshad.

“Ibu tadi ngapain sih cerita-cerita soal Mas Irshad? Padahal belum tentu juga aku jadi sama dia,” ujarku sembari turun dari mobil dan menyusul ibu.

Ibu menghentikan langkahnya lalu menghadap ke arahku. Membuat aku turut menghentikan langkah.

“Kenapa sih, nduk? Kamu masih belum yakin sama dia?”

Aku terdiam dan menunduk. Aku merasa masih ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku. Tidak munafik, lagipula siapa yang bisa menolak pesona seorang Irshad Maulana Adi? Tapi aku merasa semua ini terlalu cepat dan sedikit terburu-buru bila berbicara soal perasaan. Aku dan Mas Ardha saja dulu kenal tiga tahun baru kami memutuskan untuk menjalin kasih.

“Dia juga udah bilang sama ayahmu kalau dia memang berniat serius sama kamu. Tante Qori bilang katanya orangtua Irshad mau ke sini lagi. Katanya sih minggu-minggu ini.”

“Hah?  Ngapain?”

“Ya nanyain kamu beneran mau nggak sama anaknya..”

“Bu, Atsna aja nggak tau dia suka sama Atsna beneran apa enggak. Dia nggak pernah bilang apa-apa sama Atsna. Masa iya tiba-tiba orangtuanya langsung mau nanyain Atsna kayak gitu?”

”Kata Tante Qori, Irshad udah suka banget sama kamu. Ibunya cerita ke Tante Qori.”

“Itu kan kata Tante Qori,” jawabku ketus. Aku juga tidak tau kenapa aku malah jadi bertengkar dengan ibu. Aku jadi merasa tak enak. “Maafin Atsna, Atsna nggak bermaksud marah-marah sama ibu.”

“Kamu kenapa sih, nduk? Hari ini kayak ada yang beda sama kamu.”

Ibu terlihat kecewa dengan sikapku tadi. Aku jadi semakin merasa bersalah.

“Ibu nggak maksa. Tapi ya Irshad kurang apa sih, nduk? Kamu mau cari yang kayak gimana lagi?” tambah ibu karena aku masih saja terdiam.

“Atsna cuma butuh waktu, Bu. Ini terlalu cepat buat Atsna.”

“Kenapa sih kok nggak buru masuk rumah? Malah debat di garasi mobil?” interupsi ayah. Ya, sedari tadi aku dan ibu memang belum masuk rumah.

Aku dan ibu bungkam tak menjawab pertanyaan ayah. Lalu aku pun memilih masuk ke dalam rumah duluan.

“Atsna masuk dulu..”

Di dalam rumah, tujuanku langsung ke kamar. Sudah sejak sore tadi aku ingin merebahkan tubuhku di kasur. Sejak sampai rumah tadi aku hanya sempat mandi dan ganti baju karena ayah sudah buru-buru mengajak berangkat ke rumah sakit menjenguk adiknya.

Sembari merilekskan punggungku aku membuka ponselku sekedar mengecek pesan yang masuk. Aku seketika membelalakkan mataku ketika melihat pesan dari Mas Ardha, sudah lama sekali sejak kami putus ia tak pernah mengirimiku pesan.

M A R R I E D ?  ?  ? Donde viven las historias. Descúbrelo ahora