Bagian 14

948 104 22
                                    

Dinginnya pagi yang menusuk kulit lambat laun membuat [name] bergerak gelisah dalam tidurnya. Tangannya hendak meraih selimut untuk membalut tubuhnya lagi. Ia tahu benar fajar sudah lewat dan tak semestinya ia tidur kembali, akan tetapi telinganya yang sensitive menangkap suara pria yang sedang marah-marah. Daya tarik ranjang seakan mulai melemah, ia dirundung kesal.

“Oh, astaga.” [Name] merubah posisinya menjadi duduk seraya mengusap kedua matanya. “Siapa yang marah pagi-pagi begini, aku baru ingin tidur lagi.”

Ia beranjak, membuka pintu kamar, lantas bertemu pandang dengan Akashi Seijuro yang berwajah masam. [Name] mengangkat alis kirinya, heran dengan raut wajah pria merah itu.

“Selamat pagi, [name]. Kuharap suara Daiki tidak mengganggumu tadi,” ujar Akashi santai, pria merah itu tak sedikitpun merasa tak bersalah, padahal [name] dengan jelas mendengar suara Akashi yang naik darah pula.

“Oh? Aku memang terganggu. By the way, selamat pagi. Ada berita apa dari Pak Polisi itu?” ujar [name] sembari melangkah menuju dapur, sekadar membuat morning tea untuk dirinya dan juga Akashi—ia masih sadar bahwasanya ia hidup menumpang karena tak ingin mendapat terror kembali—guna membuat suasana lebih rileks.

Akashi memijat keningnya sejenak. “Susa, pria di gedung yang bertanggung jawab atas penculikanmu, mengatakan bahwa bosnya ingin bermain denganku setelah dikorek oleh Daiki. Aku memarahi Daiki karena informasi ini tidak penting dan menyuruhnya berjaga-jaga. Apalagi pertemuan dewan diadakan hari ini.”

“Sebaiknya kau tidak begitu. Kalau bos dari bos kriminal ingin bermain denganmu, berarti akan ada yang dalam bahaya, bukan?”

[Name] dengan terampil menyeduh english breakfast tea yang ia ambil dari lemari dapur Akashi, lalu memberikannya pada Akashi yang tengah duduk dengan santai bak raja.

“Aku hanya menemukan biskuit dan teh untuk sarapan, tak masalah?” tanya [name] sembari netra [eye colour]-nya melihat ke sekeliling. “Midorima mana?”

“Terima kasih. Ah dia ... membuat keterangan hasil visum Kobori Koji pada kepolisian,” jawab Akashi. Matanya menangkap gelagat tak baik dari [name], sehingga tangan kanannya dia ulurkan untuk mengusap bahu perempuan itu.

“Aku turut berduka, sekarang Kobori Koji sudah tenang, tak seharusnya kau berlarut dalam kesedihan,” bisik Akashi.

[Name] menundukkan kepala. Misteri terus memberi tanda tanya dalam hidup, sementara ia hanya memiliki petunjuk kecil. Semesta seakan memberi teka-teki pada [name], tapi [name] enggan bermain. Setelah ini siapa yang mati? Dirinya? Kakaknya?

[][][]

Gedung Parlemen Jepang pagi itu tak seperti biasa, tampak beberapa jurnalis dari berbagai media massa sudah bersiap di spot terbaik mereka untuk mengambil gambar. Terlihat banyak anggota legislatif shugi-in dari pihak Demokratik Liberal dan Komeito yang mendukung pemerintah, juga pihak Demokratik Konstitusional yang menjadi oposisi berdatangan. Tak biasanya pertemuan dibuka untuk pers, tetapi masyarakat juga berhak mengetahui perihal kondisi politik di negaranya. Anggota kepolisian juga bersiap apabila diperlukan, khawatir akan terjadi hal yang tidak diinginkan, bukan?

Akashi Masaomi adalah salah satu tokoh dari pihak oposisi yang fenomenal, tetapi tak kunjung dilihat batang hidungnya. Akashi yang mengira sang ayahanda akan hadir menjadi korban pertanyaan para wartawan.

.
.
.

Huh? Kau hendak ke mana?” Midorima melepas jas dokter yang semula melekat di tubuhnya kala tiba di apartemennya. Netra hijaunya terkejut melihat Akashi yang sudah rapi dengan setelan jasnya.

RED FATEOù les histoires vivent. Découvrez maintenant