Tujuh

4.4K 237 7
                                    

   Malam ini langit kembali menjatuhkan hujan kebumi, hujan tidak perduli jika ia terus dibuang oleh langit namun hujan tetap kembali lagi. Lalu, adakah selain hujan yang rela jatuh berkali-kali?  

Dalam gelapnya malam, aku menenggelamkan tubuhku didalam selimut. Malam ini benar-benar dingin. Aku mencoba untuk memejamkan mata, namun tetap aku tidak bisa tidur, fikiran dan hatiku benar-benar tidak karuan. Aku ingin menangis.

Jam didinding sudah menunjukan setengah satu. Lebih baik aku melaksanakan Qiyamul Lail.

Aku beranjak dari tidurku menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu, dingin yang menerpa kulitku tidakku hiraukan. Setelah selesai berwudhu, aku segera melaksanakan sholat lail.

Pernahkah kalian merasakan ingin menangis dan menumpahkan semua air mata yang terbendung, namun kalian tidak ingin ada yang muram ketika melihat kalian menangis. Lalu kalian memilih jalan lain, menangis dan mengadukan pada-Nya disetiap akhir sujud kalian. Dan sekarang, aku tengah merasakannya.

Aku berdoa semoga Allah memberikan hidayah untuk kedua orang tuaku, semoga Allah membuka hati mereka, dan semoga Allah memberikan aku jodoh yang baik dari yang terbaik. Permudahkanlah segala urusanku Ya Rabb, dekaplah aku dengan kasih sayangmu ketika aku sudah merasa lemah, Engkau yang maha pembolak balik hati, teguhkanlah hati ini diatas agamamu.

Allah maha baik, Allah sebaik baiknya tempat curhat. Ternyata bukan bahu yang dibutuhkan menjadi sandaran dalam menghentikan isak tangis. Tapi sajadah dan air wudhu yang akan membuat air mata yang jatuh terhapus karena bercampur dengan bergugurnya dosa karena disakiti tanpa bisa membela diri, dan hanya Allah yang mampu menyembuhkan segala luka hati.

                      °°°🍃°°°

Detik berganti detik, menit berganti menit, jam berganti jam, dan hari berganti hari. Semuanya dengan cepat berlalu, hingga tidak terasa hari ini adalah hari dimana aku harus mengikhlaskan cinta pertamaku.

Satu jam yang lalu, aku dan Maya menuju acara resepsi pernikahan Alfi, aku tidak datang diacara akadnya, sekarang aku tengah berada disebuah gedung minimalis yang disulap sedemikian rupa.

Melihat pemandangan didepanku, rasanya aku ingin bereriak pada sepasang pengantin yang tengah tersenyum kearahku yang menyalami mereka, aku lelah menyimpan perasaan ini, aku ingin mengungkapkannya, aku ingin berteriak tepat ditelinga Alfi kalau aku mencintainya.

Percayalah, waktu itu aku sedang tidak baik-baik saja. Aku begitu rapuh dengan semua impian yang kini mulai runtuh. Mimpi-mimpi yang dulu pernah kita rangkai seketika hilang dengan kepergianmu yang tak kunjung pulang. Aku pikir kamu ingin menetap namun hanya hadir sekejap, aku menyesal telah menjatuhkan hati begitu dalam, dan kini meninggalkan luka yang sulit padam.

Jika bukan diriku yang kau harapkan, aku merelakannya. Sebab, jodoh takkan mungkin salah hinggap dihati para hamba-hambanya.

Aku mencoba sekuat tenaga untuk tidak mengeluarkan air mataku. Jika berkedip saja pasti air mataku langsung lolos. Aku tersenyum getir kearah mereka.

"Aisy... Alhamdulillah, terimakasih kamu udah datang," kata Alfi dengan senyumannya. Bahkan dia memanggilku dengan panggilan sayangnya.

Aku juga terima kasih Al, atas lukanya.

Aku hanya mengangguk, tanganku bergetar ketika menyalami istrinya. Wanita itu begitu cantik, anggun, senyumnya yang menawan, pantas saja Alfi menyukainya.

"Makasih Mbak udah dateng, Mas Alfi cerita banyak tentang Mbak loh ke saya," ucap istrinya Alfi yang aku tahu daru undangan, namanya Dewi.

"Sama-sama," kataku. Aku melirik Alfi, dia tengah memperhatikanku. Apa kamu tidak merindukanku, Al? Apa kamu lupa semua kenangan dulu yang telah kita buat?

Lalu untuk apa kamu memintaku menunggu jika pada akhirnya kamu hanya membuangku begitu saja, tanpa rasa bersalah, tanpa perasaan kamu melukai hatiku.

"Kalo gitu saya permisi Mbak, Al. Semoga keluarga kalian sakinah, mawaddah, dan warrahmah," ucap ku menatap mereka bergantian. Dewi dengan tersenyum dia mengaamiinkan doaku, sedangkan Alfi dia terus memperhatikanku.

Kemudian, aku berlalu dari hadapan mereka karena masih banyak tamu yang ingin mengucapkan selamat atas pernikahan mereka. Aku menghembuskan nafas pelan. Tenang Key... Tenang...

Tanpa sengaja air mataku jatuh kepipi. Ya Allah, beginikah rencana-Mu? Bimbinglah aku untuk bekajar ikhlas ya Rabb.

Maya menghampiriku, dia melihatku iba, "Ayo pulang," katanya. Aku mengangguk.

Kami berjalan menuju tempat parkir kemudian masuk kedalam mobil, sesampainya dimobil tangisku langsung pecah, aku menutupi wajahku dengan kerudung.

Maya langsung menarikku kedalam pelukannya, aku semakin menangis. Akan aku pastikan ini terakhir kalinya aku menangisi mu, Alfi.

"Ssst.. Udah, Key udah... Aku bilang juga apa kemarin, mending kamu nggak usah dateng," ucap Maya sambil mengelus punggungku.

Aku terus terisak didalam dekapannya. Seseorang mengetuk pintu mobil, aku menghentikan tangisku, namun hanya isakan kecil yang keluar dari bibirku.

"Key..." Maya memanggilku pelan.

"Keyra... Alfi, Key," ucap Maya sambil melerai pelukan kami. Aku menghapus air mataku, kamudian berbalik badan. Betapa terkejutnya aku ketika Alfi sedang mengetuk kaca mobil yang berada disampingku.

"Keluar Key, aku rasa dia pengen ngomong sesuatu," ujar Maya. Aku menggeleng. Maya terlihat menghela nafas. Akhirnya, dia yang turun dari mobil kemudian menghampiri Alfi.

Aku tidak habis fikir, kenapa dia malah kesini disaat didalam sedang banyak tamu?

Aku melihat mereka berbicara serius, Alfi menangkupkan tangannya seolah memohon, tapi Maya menggeleng. Alfi melepas Jas putihnya menyisakan kemeja berwarna biru, kemudian dia langsung berlari kearah mobil. Dia langsung membuka pintu mobil, duduk dibelakang kemudi.

"Apa-apaan kamu, Al!" teriakku.

Aku mengalihkan pandanganku kearah kaca, aku kaget ketika Maya malah memasuki gedung tempat resepsi pernikahan.

"Maafin aku, Ai," katanya.

Aku diam tak bergeming. "Dulu, aku pergi--"

"Udahlah Al, itu dulu. Nggak usah dibahas-bahas lagi," potongku cepat. Bohong kalau aku tidak butuh penjelasannya, sungguh, aku benar-benar ingin tau apa sebabnya dia meninggalkanku. Tapi aku sudah terlalu muak dengan Alfi.

"Kamu tidak merindukanku, Ai?"

Aku menahan nafas saat dia mengajukan pertanyaan itu.

"Sekarang kamu terlihat lebih cantik," katanya sambil menatapku. Aku mohon pipiku jangan memerah sekarang. 

"Mending kamu keluar Al, nggak baik berdua-duaan, kita ini bukan mahram. Seharusnya kamu didalem nyambut tamu sama istri kamu," kataku.

"Aku nggak akan keluar sebelum kamu dengerin penjelasan aku dulu," katanya tegas.

"Nggak! Aku nggak mau dengerin apa-apa lagi." Wanita dan gengsinya. "Kalo kamu nggak mau turun, oke aku yang bakal turun dari mobil!" Aku langsung membuka pintu mobil.

"Tunggu dulu!" Alfi menahan lengan bajuku.

Aku menengokkan kepalaku kearah Alfi, apa-apaan dia? Kenapa malah tersenyum.

"Dia emang istriku Ai, tapi bukan dia yang ada dihatiku. Cuma kamu Ai, percayalah, cuma kamu." Dia mengungkapkannya dengan serius. Kepalaku pusing mendengar perkataannya. Hatiku bergetar, sebenarnya drama apa yang sedang kamu buat, Al? "Aku mohon Ai.., tunggu aku."

                               ***

Waiting For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang