Lima Belas

1.6K 98 6
                                    


           Aku percaya, takdir-Mu selalu indah, dan pilihan-Mu adalah yang terbaik.

                  - Keyra Aisyah Larasati -

                                       .
                                       .
                                       .

"Sekarang gimana keadaan Ustadz Syarif sama Dhani?" tanya Bunda pada Umi.

Beberapa menit yang lalu kami sudah sampai dirumah sakit, Bunda yang saat itu melihat Umi akan masuk ruang rawat langsung memberi salam pada Umi. Aku bahkan masih melihat hidung Umi yang memerah, matanya pun bengkak. Aku tau, Umi pasti sangat khawatir dengan suami dan anaknya itu.

"Dua duanya masih belum ada kemajuan kata dokter," kata Umi sambil memandang Abi dan Bang Dhani.

"Maya kemana, Umi?" tanyaku. Sedari tadi aku tidak melihat Maya.

"Tadi Umi suruh dia makan, mungkin kekantin, dari pagi belum makan dia, Key, nemenin Abi sama Abang."

"Keyra nyoba nyari Maya dulu ya Umi," kataku yang dibalas anggukan oleh Umi.

Kemudian, aku izin ke Bunda dan Ayah, Bunda yang duduk dengan Umi, sedangkan Ayah yang berdiri melihat keadaan dua orang yang masih terpejam itu.

Aku melirik sebentar ke Bang Dhani, dia masih terlelap. Bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mancung, alisnya yang tebal, dan bibirnya masih pucat.

Bangun, Bang. Katanya Abang mau taarufan sama, Key?  Abang belum tau kan kalo Keyra dijodohin?

Aku menutup pintu ruangan dengan hembusan nafas pelan, lalu berjalan lunglai menuju kantin, sambil sesekali melihat suasana rumah sakit yang nampak para petugas berlalu lalang.

"Kamu beneran nggak apa-apa, sayang?" Kata seseorang yang berjalan dibelakangku. Aku mengerutkan kening mendengar suara itu, terdengar sangat familiar ditelingaku.

Tidak mungkin itu dia, aku berusaha menepis fikiranku jika suara yang aku dengar tadi adalah suara milik seseorang yang pernah mengisi hatiku.

"Tadi kata dokter jangan capek-capek, kamu sih bandel, udah Mas bilang nggak usah beres-beres rumah lagi."

Suara dari belakang itu semakin nyaring ditelinga. Dan entah kenapa aku semakin yakin jika pemilik suara itu dia.

Dengan perlahan aku membalikkan tubuh, betapa kagetnya aku melihat pemandangan didepanku sekarang. Laki-laki yang pernah aku tunggu beberapa tahun yang lalu itu sedang berjalan dengan istrinya, jemari tanganya yang saling bertautan dengan jemari istrinya, raut khawatir jelas tergambar dalam wajah pria itu ketika memandang istrinya yang hanya tersenyum memandang suaminya.

Seketika dadaku terasa sesak.

"Bosen kalo diem dikamar terus, Mas." kata Dewi.

Aku memandang interaksi dua orang itu, sampai pandangan kami bertemu. Aku melihat Alfi mematung melihatku. Dewi menatap suaminya bingung. Namun, ketika Dewi melihat pandangan Alfi lurus kearahku, dia paham mengapa Alfi jadi berhenti berjalan.

"Lho? Mbak Key?" Dewi berjalan kearahku dengan wajah kagetnya.

Dan sekarang aku menyesal.

Harusnya tadi aku didalam ruangan saja.

Harusnya tadi aku tidak mencari Maya yang sedang makan dikantin.

Harusnya tadi aku tidak penasaran dengan pemilik suara itu.

Harusnya aku sudah melupakan kamu, Alfi.

Dan, harusnya aku sudah menghilangkan rasa ini pada pria yang sudah beristri itu.

Waiting For YouWhere stories live. Discover now