Empat belas

1.6K 96 8
                                    

Setelah selesai shalat dzuhur dimasjid rumah sakit, aku izin pulang ke Umi dan Maya. Sedari tadi ponselku berdering, panggilan dari Bunda yang menyuruhku untuk pulang.

Kalau saja dirumah sedang tidak ada tamu, mungkin aku seharian dirumah sakit menamani Umi dengan Maya.

"Kamu udah makan?"

Aku menoleh sebentar pada lelaki yang kini sedang mengemudi, sekarang kami dalam perjalanan pulang.

"Belum," jawabku.

"Mau mampir buat makan dulu? Saya tau restoran didekat sini."

"Pulang aja, orang dirumah udah nungguin."

Rion mengangguk, setelah itu suasana kembali hening.

Benar kata Ayah, Rion itu orangnya sopan bahkan saat dia ingin memegang tanganku saja dia bertanya, tapi dia juga keras kepala menurutku. Jujur saja, aku kesal ketika dia menanyakan jika dia ingin memegang tanganku, saat itu aku langsung menatapnya tajam lalu berjalan mendahuli Rion yang sudah berteriak memanggilku, setelah itu dia langsung meminta maaf.

Mobil Rion sampai dipekarangan rumah, aku turun dari mobil setelah mengucapkan terimakasih pada Rion yang dia balas dengan senyum dan anggukan. Aku mendahuluinya masuk kedalam rumah, mengucap salam, Mas Rion berjalan dibelakangku.

Aku duduk disamping Bunda, sedangkan Mas Rion duduk disamping Papanya.

"Gimana keadaan, Dhani sama Ustadz Syarif?" tanya Bunda padaku saat aku baru duduk disebelah Bunda, kami sedang berada diruang tamu. Semua mata tertuju padaku, menanti jawaban, termasuk Pak Jeno dan Bu Rini, sedangkan Rion dia sedang mengancing lengan kemejanya.

"Abi sama Abang masih belum siuman," kataku.

Bunda memang pernah bertanya padaku siapa pria muda berkulit putih dirumah Maya, aku jawab dia kakaknya Maya pulang dari Mesir, Bunda kira pria itu adalah suami Maya, aku hanya tertawa mendengarnya. Padahalkan didepan rumah Maya janur kuning melengkung belum pernah terpasang.

"Yah, nanti sore kita kerumah sakit, ya, jenguk Ustadz Syarif," kata Bunda ke Ayah yang dijawab anggukan oleh Ayah.

"Jadi, Key. Kamu menerima perjodohan ini?" tanya Pak Jeno.

Aku tertegun.

Aku harus bagaimana?

Seperti tadi, semua mata tertuju padaku, menunggu jawaban. Ibu Rini sudah menatapku cemas, Pak Jeno terlihat santai namun tetap tegas, sedangkan Rion sudah menatapku dalam.

Rasanya aku ingin menghilang sekarang.

Usapan lembut dilenganku membuatku menatap Bunda, dia tersenyum.

"Key," tegur Ayah.

Aku menghela nafas sejenak, lalu menatap mereka secara bergantian, "Keyra nggak mau nyakitin Ayah, Bunda, dan juga nggak mau nyakitin, Bu Rini sama Pak Jeno. Tapi Keyra juga nggak bisa bohong dengan hati Key sendiri."

Aku menjeda sejenak, membuat mereka tambah penasaran dengan perkataan yang akan aku lanjutkan, "Maaf, Key nggak bisa menerima perjodohan ini. Bunda, Ayah... Keyra minta maaf, Bu Rini, Pak Jeno, Keyra juga minta maaf sama kalian," kataku menunduk.

Ayah melotot kearahku, sedangkan wajah orang tua Rion nampak kecewa atas apa yang tadi aku ucapkan.

"Keyra!" teriak Ayah yang membuatku kaget. "Kamu ini kenapa? Kamu mau jadi anak durhaka, hah?!"

Seketika suasana menjadi hening. Sampai suara Rion mengalun ditelingaku.

"Ma, Pa, Om, Tante. Rion izin bicara sama Keyra dulu, ayo."

Waiting For YouWhere stories live. Discover now