[Bagian 1]

4.3K 486 27
                                    

"Hm?" sapaku lemah. Gila saja. Ini masih pukul empat subuh dan ponselku sudah seperti benda yang kerasukan roh jahat karena sejak tadi berdering tidak tahu aturan. Dan lagi-lagi nama Rayhan lah penyebab dari segalanya.

Tapi ini tidak sepenuhnya kesalahan Rayhan. Karena lima jam lalu, tepatnya sebelum aku berpamitan tidur awal dan Rayhan mencibirku "lemah", aku memang berpesan padanya untuk membangunkanku untuk salat Subuh. Dan sudah dipastikan, pasti Rayhan belum tidur sama sekali. Seperti malam-malam biasanya.

"Iya, iya ini di dengerin kok." Aku manggut-manggut masih dengan mata terpejam karena mengantuk dan tubuhku bahkan masih terbalut rapat dengan selimut warna cokelat susu. "Iya sayaaaaaaaang. Ini udah bangun... hm... iyaa iyaa... bawel... yaudah kalo kamu ngomong mulu ga salat-salat nih aku... iya iya... siap... kamu juga salat! Iyalah... awas aja kalo nggak... hehe... love you too... TAPI BOONG!"

Setelah berkata demikian, aku memutuskan sambungan telepon sepihak dan reflek cekikikan sendiri. Mataku sudah terbuka walaupun dengan sinyal-sinyal yang masih redup. Aku masih berusaha mengumpulkan nyawa sampai sebuah pesan dari Rayhan kembali memenuhi layar ponsel.

Rehan-jink: Yeh muka tapir

Aku kembali terkekeh begitu membaca pesannya. Pasti ia kesal karena kalimat terakhir yang kuucapkan adalah 'tapi boong'. Padahal aku sudah menggunakan kalimat itu bertahun-tahun. Dan itu adalah tipuan jadul yang seharusnya Rayhan bisa menebak kapanpun aku ingin melakukannya. Tapi tetap saja respon yang ia berikan tetap sama. Seolah guyonan itu tidak pernah terlalu basi untuk diulang berkali-kali.

Seperti mahasiswi smester enam pada umumnya, rutinitas pagiku terbilang sangat monoton. Bangun, ibadah, mandi, sarapan, lalu berangkat ke kampus untuk menjalankan kewajiban seorang mahasiswi.

Seusai menyantap telur mata sapi buatan Mama, aku meraih lagi ponsel yang tiga menit lalu ku letakkan di samping gelas berisi air putih hangat.

Rehan-jink: Makan jangan lelet kaya siput

Satu pesan dari Rayhan lagi-lagi membuatku mengerucutkan bibir.

Aida: Bacut lu

Rehan-jink: Eh kamu nih, ngomongnya ya sama calon ga boleh begitu

Aida: Geli han, asli
Aida: Tidur gih

Rehan-jink: Hilih
Rehan-jink: Ntar ah, abis pacar tercinta berangkat ngampus baru deh aku tidur

Aida: Uuutayank😗

Rehan-jink: Sumpah, Ai.. 6 taun lo gabosen apa ngetik uuutayank? Wkwk

Aida: Bodo amat wleee

Rehan-jink: Wkwk dasar
Rehan-jink: Berangkat kuliah sama siapa?

Aida: Sama selingkuhan aku lah

Rehan-jink: Gih dah
Rehan-jink: Kayak ada aja yang mau sama lu. Gue aja kepepet

Aida: Woi anjink
Aida: Gue block lu ya, Han

Rehan-jink: Serius ah berangkat sama siapa?

Aida: Sama Papa

"Yuk, Ai. Papa udah telat." Suara Papa langsung membuatku mengangkat pandangannya yang sejak beberapa menit lalu terpancang pada kolom obrolan dengan Rayhan.

"Oke, Pa!" Aku menyambar tasku yang hanya ku isi dengan binder, tempat pensil, dan liptint warna merah cherry yang kata Rayhan membuatku seperti hantu kuyang yang habis memangsa darah bayi.

Seraya berjalan mengekor di belakang punggung papa, aku kembali mengetikkan pesan kepada Rayhan yang sudah meninggalkan dua pesan baru yang belum sempat kubaca tadi.

Before We Were Stranger [Completed]Where stories live. Discover now