[Bagian 9]

1.8K 352 20
                                    

On Mulmed: Finding Hope - 3 AM

***

Aku berdeham sebentar, lalu menatap kearah Banny dan Ibnu yang saling menghujat demi mencairkan suasana. Sementara Haikal, duduk di antara Yunita dan Derry. Kuseruput lagi macchiato latte ku yang lima belas menit lalu baru saja datang.

Suara bel yang sengaja dipasang di atas pintu langsung membuat aku menoleh ke arah pintu kafe dekat kos Dhea.

Seorang laki-laki berbadan tambun masuk dengan seorang perempuan yang ukuran badannya tak jauh berbeda, rambutnya yang panjang dicat cokelat pada bagian ujungnya. Mereka berdua saling melempar tawa pada sesuatu yang baru saja mereka bicarakan sebelum masuk ke kafe ini.

"Eh," Ku tepuk bahu Ibnu sebentar seraya bangkit berdiri dari sofa warna toska yang kami duduki. "Bentar."

"Mau kemane?"

"Itu," Aku mengangkat daguku sebentar untuk menunjuk kearah meja dimana Pampam dan teman wanitanya mulai duduk. "Ada temen gue. Bentar yak."

"Siap."

Setelahnya, aku segera beranjak dari gerombolan teman-temanku dan berjalan kearah Pampam yang sepertinya belum menyadari kehadiranku di sekitarnya. Mungkin dikarenakan posisi duduknya menghadap ke jalan raya depan kafe sehingga ia membelakangiku.

"Pam!" sapaku bersamaan dengan tepukan pada bahu sebelah kanan. Lalu, yang kupanggil reflek menoleh, sama hal nya dengan perempuan bertubuh gendut di hadapan kami.

"Eh," Pampam langsung menyunggingkan senyum begitu ia melihatku. "Sama siapa, Ai?" tanyanya.

Aku menarik kursi kayu di samping Pampam seraya menjawab, "tuh sama anak-anak."

"Eh, kenalin nih," Pampam menunjuk teman perempuannya yang sedang tersenyum kearahku.

Kuulurkan tangan kananku bersambut dengan tangan kanan wanita itu. "Aida."

"Afra."

Oh, jadi namanya Afra? Jadi wajar saja jika beberapa waktu yang lalu, saat aku menemukan satu pesan dari perempuan dengan inisial TA di ponsel Rayhan, dan ia bilang itu adalah pesan untuk Pampam. Jadi TA itu Afra. Berarti saat itu aku sempat salah paham.

Setelah jabatan tangan kami terlepas, aku sontak melirik Pampam dengan pandangan menggoda. "Baru nih?"

"Apaan, njir?"

"Heleh," Ku dorong tubuhnya dan dua manusia yang kini duduk semeja denganku –dan kusimpulkan sebagai sepasang kekasih– kemudian tersenyum.

"Lo nggak sama Rayhan apa?" tanyanya mengalihkan topik pembicaraan. Kujawab dengan gelengan kepala. "Eh iya, Ra." Pampam menoleh kearah teman perempuannya yang bernama Arfa.

"Iya?"

"Ini Aida. Ceweknya si Rayhan." Pampam menunjukku dengan tangan kanan. "Kamu masih inget Rayhan temen aku itu kan?"

Yang ditanya mengangguk, kemudian beralih menatapku dengan pandangan seolah ia tidak percaya, "Oh, ini pacarnya Rayhan?"

"Iyaaaaaa," kataku memasang wajah gembira. Walaupun sejujurnya aku sedang tidak segembira itu.

"Cantik ih."

"Kan aku bilang juga apa," tambah Pampam.

"Bisa aja ya Allah," kataku sembari tertawa. Kemudian kutatap Pampam kembali. Dan yang kutatap seolah sudah mengerti bahwa aku ingin bicara dengannya dulu.

"Kemarin Rayhan ke kos gue, Ai. Bawa oleh-oleh." Pampam tiba-tiba memulai ceritanya sebelum aku sempat bicara. "Katanya dia abis dari Bogor."

"Oh, itu. Iyaaaa." Aku mengangguk. "Gue juga nggak tau dia ngapain aja ke Bogor."

Before We Were Stranger [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang