[Bagian 13]

1.6K 336 6
                                    

Kupandangi pantulan diriku pada kaca rias yang ada di kamar. Hari ini, wajahku terlihat sedikit lebih cemerlang dari biasanya. Penata rias yang ku ketahui bernama Mba Erna sudah keluar meninggalkan kamar sejak setengah jam yang lalu karena tugasnya untuk mendadaniku sudah selesai. Aku menyelipkan anak rambut ke belakang telinga sekilas sebelum akhirnya menghela napas dan menyunggingkan senyuman pada diriku sendiri.

Okay, Aida.. Ini waktunya. Ini saat nya. Satu langkah kedepan menuju masa depan!

Oh iya, hari ini, aku mendapatkan dua kabar gembira sekaligus. Yang pertama, karena hari ini adalah hari dimana Rayhan akan datang ke rumah dan melamar. Yang kedua, datang dari Ghirez, karena setelah menjalani masa kritisnya dan koma selama lebih dari seminggu, pagi buta tadi aku mendapat kabar dari orang tuanya bahwa keadaan laki-laki itu membaik.

Aku mengulum bibirku sekilas, melupakan bahwa hal itu mungkin saja merusak lipstik yang menempel di atasnya. Kutegapkan posisi tubuh, apalagi mengingat sepuluh menit yang lalu, Mama sudah masuk ke kamar dan memberitahu bahwa Rayhan, Bunda, Sharma adik Rayhan, dan beberapa orang dari keluarga besarnya sudah datang dan menunggu di ruang tamu.

"Ai?"

"IYA?!" sahutku reflek. Kuangkat pantatku dari kursi rias bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka lebar. Setengah tubuh mama muncul beserta lambaian tangan yang mengisyaratkan aku untuk segera keluar karena acara harus segera di mulai.

"Yuk?"

***


Mataku tidak bisa lepas menatap laki-laki dengan kemeja putih dan jas hitam. Di sebelah kanan Rayhan sudah ada bunda dan di sebelah kirinya ada adik dari Bunda Rayhan yang juga baru datang dari Bandung. Kusapu seluruh ruang tamu yang sudah di tata sedemikian rupa, di tempat ini lah keluargaku dan keluarga Rayhan bertemu.

Acara segera dimulai dari pembukaan yang dibawakan oleh ayahku sampai kalimat pembuka dari pihak Rayhan yang secara terang-terangan meminta untuk mengikatku kearah yang lebih serius.

Saat ini, Rayhan berdiri di hadapanku, senyuman lebar yang terpancar di sudut bibirnya, sorot mata cokelat hazel yang menembus iris mata hitamku, rasanya masih belum cukup membuatku merasa bahwa saat ini memanglah waktunya.

"Kamu satu-satunya, Aida. Aku mau hidup sama kamu. Aku mau menikah sama kamu."

Demi Tuhan, aku tersenyum saat ini. Tetapi tanda tanya di dalam kepala rasanya semakin besar dan aku belum bisa mendapatkan jawabannya. Bahkan dari cincin yang disematkan Rayhan di jari manisku dua detik yang lalu.

Ku pandangi lelakiku, priaku. Orang yang sudah bersama ku sejak enam tahun lalu. Sebelum kuraih cincin yang lain dari dalam kotak. "Just prove it,"

Baiklah, aku tahu mungkin ungkapanku sebagai balasan dari perkataan Rayhan sama sekali tidak seperti yang diharapkan semua orang yang hadir. Terutama Rayhan. Tapi.. Rasanya ada yang salah. Seperti sesuatu tidak pada tempatnya. Seperti, ada hal lain dalam diriku yang masih ragu. Entah atas dasar apa. Akupun tidak tahu.

Rayhan kemudian mendaratkan kecupannya di atas keningku sekilas, diiringi tepuk tangan dan ucapan hamdallah karena malam ini, aku dan ia resmi bertunangan dan itu tanyanya, pernikahan kami tidak lebih jauh dari jarak ketika kami menyebut aamiin.

***

Aku tahu, seharusnya aku bisa mendeskripsikan momen ini lebih baik dari yang sudah tertulis. Tetapi, sekali lagi, hatiku masih bimbang. Apakah benar, ia tempatku akan pulang?

Suara dentingan sendok garpu yang beradu dengan piring terasa memenuhi ruangan. Seusai acara pertunangan ini, keluarga besar kami berdua melanjutkan acara dengan makan malam bersama.

Before We Were Stranger [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang