[Bagian 14]

1.7K 335 10
                                    

Mobil Rayhan bergerak melaju meninggalkan rumah Ghirez. Udara kota Jakarta hari ini begitu dingin lebih dari malam-malam kemarin. Jaket parasut milik Rayhan sudah berpindah ke tubuhku. Menyisakan Rayhan yang malam ini hanya menggunakan kaos warna hitam polos favoritnya.

Kedua tangannya memegang kendali mobil. Kutatap cincin yang melingkar di jari manisnya. Senada dengan yang terpasang dijariku pula. Tanpa sadar aku tersenyum simpul. Menyadari bahwa lelaki ini lah yang kelak akan bersamaku sampai aku kehabisan waktu.

Aku diam saja, sampai akhirnya kusandarkan kepalaku ke bahu Rayhan. Laki-laki itu reflek mengecup puncak kepalaku. "Capek ya?" tanyanya.

"Lumayan."

"Masa si lumayan?" tanyanya menggoda. "Kamu kan belum tidur dari kemarin."

"Iya gak capek sih." Aku mengangkat kepalaku. "Cuma agak ngantuk aja."

Rayhan terkekeh. Lalu tangannya bergerak mengacak puncak kepalaku. "Yaudah tidur makanya genduuuuuut. Nanti aku bangunin."

"Enggak ah. Nanggung."

"Nanggung kenapa?"

"Nanggung aja," sahutku. "Udah mau sampe rumah."

"Iya deh. Suka suka Nyonya aja." Rayhan kemudian diam lagi. Fokus dengan jalanan yang mulai lenggang. Ia menyentir dengan tenang. Setidaknya sampai ponsel yang ia letakkan di paha kanan berkedip.

Rayhan berubah gelisah dan aku tidak tahu apa alasannya.

"Kenapa, Han?"

"Enggak." Rayhan menggeleng cepat. "Pampam kayaknya ngechat."

Kulirik layarnya yang menyala

Pampam's calling...

"Pampam telepon," kataku ringan. "Aku angkat ya? Aku bilang kamu lagi nyetir?" tawarku seperti biasanya. Saat ada temannya yang menelepon saat ia sedang sibuk, Rayhan biasanya memperbolehkan aku untuk mengangkatnya kalau-kalau ada hal penting.

"Gausah lah," sergahnya cepat. "Itu si Pampam pasti cuma ngajakin mabar PUBG."

"Oh?" Aku mengedipkan mataku dua kali. "Ya gak apa-apa kali aku bilang kamunya lagi nyetir?"

"Udah nggak usah. Biarin aja. Emang gabut tu orang."

Aku menurut kali ini. "Okey."

Rayhan menoleh kearahku dan tersenyum. Dan apa yang ia lakukan barusan membuat aku memiliki tanda tanya di dalam kepala. Kenapa tindakannya menoleh dan tersenyum barusan seperti meyakinkanku akan sesuatu yang sebetulnya sama sekali tak perlu ia lakukan?

"Kamu udah makan?" tanyanya kemudian.

"Belum."

"Mampir makan dulu, yuk?"

"Dimana?" tanyaku berubah antusias mengingat bahwa hawa yang dingin ini membuat aku kembali keroncongan.

"Tempat biasa?"

"Ih kan jauh dari sini?"

"No problem."

"ASIK!!"

"Ye dugong rawa. Kalo makanan aja langsung ceria."

***

Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Kurasakan cahaya lampu tidur yang berada di kamarku mulai masuk menembus retina. Lalu aku mendengus. Membalikkan posisi tubuh ke arah kanan. Dan meraih jam digital di nakas samping tempat tidur.

Sial, pukul setengah 3 pagi dan aku terbangun dari tidurku.

Aku menguap sekali sebelum mendudukkan diriku di atas tempat tidur. Kupijit sedikit tengkuk leherku yang terasa pegal. Kemudian, tanganku mulai mencari benda elektronik berbentuk persegi panjang yang tadi kuletakan di samping bantal.

Before We Were Stranger [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang