[Bagian 5]

2.1K 378 35
                                    

Dapur di rumah Rayhan agak ribut karena aku dan Rayhan sedang memasak sarapan sekaligus makan siang. Ini adalah Minggu pagi. Dan itu artinya, nanti siang bunda akan pulang sehabis bekerja di Bandung dan menghabiskan akhir pekan bersama-sama dengan kedua anaknya, Rayhan dan Sharma.

"Ini garem nya berapa sendok lagi, yang?" tanya Rayhan. Kepalanya menoleh ke belakang sedangkan tangannya sibuk mengaduk sayur sop di atas panci dengan kompor yang menyala.

Aku yang sibuk mengupas bawang putih untuk bumbu ayam goreng mau tak mau beralih menatap ke arah pacarku yang tadi katanya ingin membantu memasak sayur sop.

"Kamu tambahin garem?"

"Iya, kan?" Rayhan berhenti mengaduk. "Kata kamu belom digaremin?"

"Astaga," aku melepas pisau sekaligus bawang yang tadinya ada di genggaman tanganku. Lalu dengan buru-buru aku menghampiri Rayhan yang masih setia di depan kompornya.

Rayhan lalu menyerahkan sendok sayurnya padaku dengan wajah tanpa dosa andalannya. Setelahnya, aku berusaha mencicipi seperti apa rasa sayur yang sejak tadi ia modifikasi sendiri bumbunya.

"Tuhkaaaaaan," kataku setelah aku mencicipi sedikit kuah sayur buatannya. "Ini berapa sendok?"

"Tiga."

"Yaampun, Rayhaaaaan.." Aku berkacak pinggang, menatapnya sebal. Hancur sudah sayur buatan kami. Sebenarnya masih bisa diakali agar nanti rasanya tidak terlalu asin. Tapi kan, sama saja bekerja dua kali.

"Lah emang tadi udah digaremin apa?"

"Udaaaah."

"Aku kan nggak tau." Rayhan menggaruk kepalanya dengan tangan kanan. "Orang tadi aku cobain masih kurang asin."

Aku menghela napas, "bilang kenapa sih kalo mau nambahin garem."

"Kan nggak tau."

"Kan bisa nanya."

"Kalo nambah sayang juga harus nanya dulu nggak?"

Aku memutar bola mata. Menahan senyum yang bercampur rasa kesal, lalu tanganku terjulur kearah puncak kepala laki-laki yang lebih tinggi dariku itu sebelum mengacak-acak rambutnya. "Sempet banget lo ya ngegombalin gue."

"Sempet dooooooong, ibu."

Aku menggelengkan kepala. Lalu kulirik sisa bawang yang belum sempat ku kupas tadi. "Udah sana ah, kupasin bawang aja."

"Terus sayurnya?"

"Dibuang."

"Dih gila lu," sahutnya reflek.

Aku tertawa kecil. "Enggak, enggak. Boong. Udah sana."

Selanjutnya sudah, lima menit setelah itu, aku sibuk mengupayakan agar rasa sayurnya tidak seasin tadi. Sementara Rayhan sudah sibuk dengan tugas barunya.

"Ribet banget ya rahman, ya rahim." Suara Rayhan yang mengeluh untuk ketiga kalinya membuat aku menoleh dan tertawa. "Nanti kalo sayurnya udah mateng, kamu bantuin aku ya. Aduhhh, mana pedes banget lagi, kampret."

"Ngeluh mulu lo, Sumiyati."

"Ini susah banget sih, Ai." Matanya menyipit. Tangan kanannya membawa pisau sedangkan yang kiri memegang bawang merah. "Sampe pedes banget mata gue, somplak."

"Ras manusia lemah."

"Lemah pala lu."

"Ye ngegas, tai."

Before We Were Stranger [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang