[Bagian 3]

2.4K 421 6
                                    

Ini adalah Hari Minggu. Seperti biasa, setiap akhir pekan, Rayhan akan datang kerumah. Ia dan Papa akan menghabiskan waktu untuk memancing bersama, main catur, futsal bersama, atau liburan bersama keluargaku.

Aku sendiri lupa sejak kapan Rayhan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap tamasya sederhana yang menjadi agenda rutin keluargaku setiap akhir pekan.

Papa dan Mamaku sudah menganggap Rayhan bagian dari keluarga kami. Mereka menyayangi Rayhan layaknya kerabat atau bahkan anak sendiri.

Ibu Rayhan tinggal di kota Bandung. Dan itu membuat Rayhan hanya bisa bertemu ibunya setidaknya seminggu dua kali. Sedangkan Ayah Rayhan sudah meninggal sejak Rayhan duduk di bangku sekolah dasar. Rayhan memiliki seorang adik perempuan yang saat ini duduk di bangku SMA.

Bunda Rayhan adalah seorang wanita berparas manis. Aku berani bertaruh Bunda pasti cantik sekali saat masih muda sehingga Ayah Rayhan jatuh hati padanya. Bunda juga orang yang baik, ramah, dan memiliki pribadi yang hangat.

Aku ingat saat Rayhan duduk di bangku kelas tiga SMA, Bunda menyuruh anak lelakinya itu untuk mengikuti bimbel tambahan untuk persiapan menghadapi UN. Tapi bukan Rayhan namanya jika langsung menurut.

Yang ada laki-laki itu justru menolak dan berkata ia tidak mau ikut bimbel apapun. Rayhan selalu punya caranya sendiri untuk mempelajari hal hal baru dan aku percaya itu.

"Aida masak apa sama mama?" tanya Papa memalingkan wajahnya dari televisi yang sedang menampakkan game PS yang tentu saja ia mainkan berdua dengan Rayhan di sisinya.

"Tinggal makan aja pake banyak nanya ya Mas kamu tuh," sahut Mama sedetik sebelum aku sempat menjawab pertanyaan Papa barusan.

"Ya allah, Mah. Untung Papa sayang sama Mama."

"Astaghfirullah, malu Pa udah tua. Udah ga pantes." Mama menggelengkan kepala. Pipinya sedikit merona walau tidak kentara.

"Kan biar mesra, Ma." Rayhan menimpali. Membuat Papa dan Mama sama-sama tersipu. Mungkin mereka teringat masa muda dulu. Saat masih berpacaran.

"Ayo Han, main lagi!" ajak Papa masih enggan mengakhiri permainan.

"Yah Pa, bosen Rayhan menang mulu." Rayhan nyengir, selalu begini. Seolah tidak ada lagi jarak antara keluargaku dengan Rayhan. Adegan saling ejek dan meledek bukan lagi santapan baru untuk Papa dan Rayhan setiap mereka memainkan sesuatu bersama.

Papa memanyunkan bibirnya dengan tampang meremehkan lalu ia melirik Rayhan sekilas. "Papa mah ngalah aja sama anak muda, biar kamu seneng."

"Alah, Papa," godaku. "Bilang aja kalah jago."

"Sembarangan ya kamu, Ai."

"Mas, makan dulu!" Mama mengingatkan.

Papa bergeming. Sibuk dengan stik PS warna hitam yang masih setia di dalam genggam. Aku sudah memposisikan diri di sofa yang letaknya ada di belakang Papa dan Rayhan. Mereka masih sibuk mencetak gol supaya dapat memenangkan pertandingan sepak bola virtual yang mereka mainkan.

"Mas!" ulang Mama. Suaranya meninggi beberapa oktaf menandakan bahwa ia mulai kesal karena suaminya tak kunjung memberi jawaban. "Rayhan udah ayo sini makan sama Mama sama Aida. Tinggalin aja itu kakek-kakek. Biarin main PS sendiri."

Rayhan langsung menoleh ke arah Mama lalu mengacungkan jempolnya di udara. "Siap, Ma."

Giliran papa yang menoleh kearah mama, "sebentar dong, sayangku. Lagi asik nih."

Ucapan papa barusan langsung mendapat cibiran dari mama.

"Cie papa," godaku. "Masih aja ya sayang-sayangan ke mama."

Before We Were Stranger [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang