[Epilog]

2.7K 416 47
                                    

Terik cuaca di luar sana seolah dikalahkan dengan dinginnya AC di supermarket yang letaknya tidak jauh dari rumah. Di sampingku sudah ada troli yang isinya penuh dengan belanjaan bulanan dan di lengan tangan kananku sudah tergantung tas ala ibu-ibu komplek sosialita.

Walaupun faktanya, kini usiaku baru hendak menginjak umur dua puluh lima tahun.

Mataku menjelajah, terus mengamati deret buah-buahan yang tampak sepanjang mata memandang. Pilihanku jatuh pada buah semangka yang letaknya ada di paling ujung.

Sudah, tanpa basa-basi kudorong troli berisi belanjaan itu dengan santai menuju buah favoritku sejak kecil. Sampai ponsel yang kugenggam ditangan kiri bergetar dua kali. Dengan gerakan yang cepat, aku menekan tombol power sampai layar benda itu menyala dan aku bisa melihat pesan yang masuk di sana.

Farizal: Otw dari Lubuk Linggau

Aku tersenyum, jelas aku tahu apa yang diketik Farizal adalah sebuh candaan bodohnya yang sehari-hari sudah menjadi santapanku selama satu tahun terakhir.

Oh iya, waktu cepat sekali berlalu dan kabar baiknya adalah, Aku dan bosku —yang sekaligus berstatus sebagai teman-tapi-bangsat nya Adam kakakku— memutuskan untuk menjalin hubungan.

Ya bukan hubungan juga, sih. Ah, nanti deh kapan-kapan kalau sempat aku akan bercerita bagaimana bodohnya Farizal dalam usahanya mendekatiku.

Aida: Bodo amat Iyem.

BRAK!

Sialan. Troli yang kudorong menabrak sesuatu. Apalagi kalau bukan kotak berisi setumpuk jeruk mandarin dengan warna oranye yang menggoda. Dengan sigap aku langsung membungkuk, memunguti buah yang berjatuhan dan menggelinding ke lantai supermarket.

Setelah kurasa semua buah yang terjatuh sudah kupungut dan kuletakkan ditempat semula aku mengangkat kepalaku lurus kearah depan.

Di detik yang sama, suara itu akhirnya masuk lagi. Lewati telingaku, memasuki rongga-rongga indera pendengaran, diterima dengan sempurna oleh gendang telinga. Mataku bahkan tidak bisa berkedip saat orang itu kini berdiri selangkah di hadapanku.

"Aida?"

Caranya memanggil namaku masih sama seperti dulu. Aku menahan napas, tanpa kusadari tanganku berubah dingin karena aku mencengkram troli terlalu kuat sampai buku-buku jariku memutih.

Rasa sakit itu muncul lagi.

Aku beku.

Kutahan napasku sejak beberapa detik yang lalu. Wajah itu masih setia di sana. Ia tidak banyak berubah. Hanya saja, tubuhnya tampak sedikit lebih kurus daripada saat terakhir kali aku melihatnya.

Malam itu. Malam dimana ia mengemis untuk mendapat kata maaf dariku.

Dadaku sesak sekali, rasa sakit yang kukira selama ini sudah lenyap dan hilang nyatanya masih kurasakan begitu aku bertemu dengannya lagi tanpa sengaja.

Tapi anehnya, air mata yang dulu seolah tidak bisa kuhentikan, hari ini tidak lagi keluar membasahi pipi. Bahkan sampai aku mulai menghirup oksigen dalam-dalam dan mulai berusaha menelan ludah dengan susah payah, air mata itu tak kunjung muncul walaupun rasa sesak dan nyerinya masih kurasakan sampai keulu hati.

Lalu, beberapa detik setelahnya. Bibirku terbuka.

Kuucapkan lagi nama yang selama bertahun-tahun tak pernah kusebut lagi sama sekali.

"R–" Aku berdeham. "Rayhan..."

***

Rayhan menunduk. Menatap pada gelas plastik berisi lemon tea yang es nya sudah mulai mencair dan gelasnya berembun. Aku jelas tidak akan pernah lupa apa yang selalu dipesan Rayhan jika ia ingin minum sesuatu yang dingin.

Before We Were Stranger [Completed]Where stories live. Discover now