[Bagian 17]

1.6K 363 44
                                    

Jakarta hari ini begitu terik, UAS hari ketiga juga baru saja selesai. Aku memutuskan memakai kacamata agar kantung mataku tidak terlalu kelihatan hari ini. Sejak hari itu, aku jarang tidur. Jam istirahatku sangat berantakan. Aku tidur tidak sampai satu jam dalam sehari dan hal itu sudah berlangsung selama beberapa hari belakangan. Terhitung setelah hari dimana aku terakhir kali melihat Rayhan dengan mata kepalaku sendiri.

Teman-temanku bungkam. Tidak ada yang berani bertanya tentang apa yang sudah terjadi? Atau mengapa aku tidak lagi memakai cincin tunanganku? Atau mengapa mataku berkantung dan aku tampak lebih murung?

Kehilangan Rayhan betul-betul menjungkir balikkan hidupku. Aku kehilangan setengah dari diriku sendiri. Enam tahun sudah aku terbiasa dengan kehadirannya, enam tahun sudah setiap pagi aku lewati dari ucapan yang menyenangkan melalui pesan singkat dari Rayhan. Dan malamnya selalu ditutup dengan ucapan selamat tidur yang hangat dari orang yang sama.

Semua kebiasaan menyenangkan yang dulu kami miliki kini rasanya justru seperti bumerang yang dilemparkan secara berulang kearahku.

Kulirik ponselku. Tidak ada lagi pesan singkat dari Rayhan untuk sekedar menyemangti aku menghadapi ujian. Seperti yang sebelum-sebelumnya.

Sekarang keadaan sudah berbeda, kolom obrolan itu seperti rumah kosong yang sudah tak berpenghuni. Terakhir hanya ada pesan-pesan dari Rayhan yang tak akan pernah kubalas lagi.

"Ai?" Suara Lala membuat aku yang sibuk menatap ujung sepatu langsung menoleh dengan tampang linglung. Ku tatap perempuan yang hari ini memakai kemeja hitam dengan sedikit motif yang tidak mencolok. Lala tersenyum, entah apa guna senyumnya.

"Eh–" Aku agak tergagap. "K– kenapa, La?"

"Are you okay?" Lala menatapku hati-hati. Ia tanpa sadar meremas ujung bajunya, kurasa ia takut kalau-kalau aku tersinggung. "Gue nggak bermaksud ikut campur, cu–"

"Iya," potongku cepat. "I'm fine."

"Serius?"

"Iya," Aku mengangguk.

Lala diam. Ia menatapku dengan sedikit iba. Mungkin selebihnya merasa sedih sudah gagal membujukku untuk berbagi cerita. "Gue cuma khawatir liat keadaan lo kayak gini, Ai."

Aku tersenyum tidak lebih dari tiga detik lamanya. Masih berusaha meyakinkan bahwa aku baik-baik saja. Dan aku rasa, apapun yang terjadi padaku saat ini adalah suatu hal yang memalukan dan harus disimpan rapat-rapat sendirian.

"Nggak," Aku menggeleng. "Gue nggak kenapa-napa."

Lala menghela napas sekali lagi, "ya, i hope so."

"Thank you," kataku pelan, kuraih tangan Lala kedalam genggaman. Meminta dikuatkan secara tidak langsung. "Kalo ada apa-apa gue pasti bilang."

"Whenever you need me, just hit me up." Lala menepuk punggung tanganku dua kali. "Gue balik duluan ya, atau lo mau bareng?"

Aku menggeleng cepat. "Nggak, nggak usah. Gue bawa mobil."

"Yaudah," katanya seraya bangkit dari duduknya. "Gue duluan."

"Hati-hati, La."

"Oke, lo juga ya."

Kuamati punggung Lala yang mulai berjalan menjauhi bangku dimana tadinya kita berdua duduk bersebelahan. Aku menunduk lagi. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Satu kalimat yang barusaja diucapkan Lala beberapa menit lalu.

Just hit me up.

Haha, just hit me up, katanya.

Mendadak memori seperti film rusak yang diputar mundur dan muncul di kepalaku begitu saja.

Before We Were Stranger [Completed]Where stories live. Discover now