Part 6

14.6K 2K 87
                                    

Sepertinya, hentakan kaki berderap Mason, sudah menjadi sebuah moment yang dirindukan oleh Pita akhir-akhir ini. Pita menajamkan pendengarannya tanpa bergeming. Suara-suara bersahutan Mason yang menyapa Ibunya di lantai bawah membuat bibir Pita sedikit tertarik ke atas membingkai senyuman. Oh...Mason dengan jiwa mudanya yang tengah bingung. Bukan tidak tahu, Pita sudah tahu dari dulu. Tentang kebingungan Mason akan perasaannya.

Pita mendongak setelah menekuri ujung jemari kakinya yang bertelanjang. Telapak kakinya hangat menyentuh lantai marmer balkon rumahnya.

Senja sudah mulai turun. Bukan orange atau jingga seperti keindahan yang ditunggu-tunggu oleh banyak manusia. Tapi kelabu. Kelabu yang akan sangat sempurna saat nanti malam menjelang dan bulan mengintip di balik awan.

"Pemuda itu? Seseorang yang dekat denganmu sekarang? Lalu...bagaimana denganku?"

Pita memundurkan kepalanya dan memasang wajah heran.

"Tentang kemungkinan aku adalah jodohmu Paquita."

"Jodohku bisa siapa saja, Mason. Kau bahkan belum mencari tahu."

"Kau memutus usahaku untuk tahu, Pita. Kau bilang kau dekat dengan pria itu."

"Dekat bukan berarti dia jodohku bukan?"

Mason terpaku.

"Dia nampak...aneh buatku. Hmm...seperti dia sangat kuat di balik tampilannya yang misterius seperti itu."

Pita berjalan pelan. Sambil menumpukan siku di telapak tangannya, Pita berputar mengelilingi Mason. Perlahan. Sangat perlahan hingga terlihat Mason yang menahan napasnya.

"Sejak kapan kau memata-mataiku? Itu tidak baik Mason. Sangat tidak baik."

Mason tertegun saat Pita berbisik tepat di telinganya.

"Aku tidak memata-mataimu, Pita. Aku...itu salah satu usahaku mencari tahu."

"Dan kau menyimpulkan semuanya dalam sekali tatap?"

"Karena kau dan pemuda itu terlihat...serasi. Aku bahkan seperti melihat hal yang sama mistisnya ada di antara kalian."

Pita bergerak lagi. Dia berjalan menghampiri sofa dan menghempaskan bokongnya perlahan. Pita menepuk dadanya perlahan. Apapun yang dikatakan Mason, Pita merasakannya sebagai sebuah marabahaya yang menghampirinya, berjam lalu bahkan sebelum Mason mengatakan sesuatu yang aneh seperti tadi.

Pemuda itu...menyimpan bahaya yang berpendar kuat di sekeliling dirinya. Aaric Bentley. Tiba-tiba saja Pita mengingat nama pemuda itu.

Bahu Mason luruh. Dia berjalan menghampiri Pita dan ikut duduk dengan gadis itu. Mereka berdua terdiam.

"Aku merasa tidak akan bisa tenang kalau sesuatu yang buruk terjadi padamu."

"Sejak kapan?"

Mason yang bersandar di sofa menoleh menatap Pita saat mendengar Pita mengajukan pertanyaan. Dan Pita tertegun. Rasanya dia ingin melemparkan dirinya ke dada Mason yang bidang. Merasai setiap permukaannya yang tak rata. Mengusap perut Mason yang...

"Aku yakin sebentar lagi kau akan meneteskan air liurmu."

Pita mengerjap dan memukul dada Mason perlahan. Sekuat tenaga dia menyembunyikan rasa malunya. Mason benar. Mungkin saja sebentar lagi dia akan berliur.

"Tentu saja tidak."

Mason menyugar rambutnya perlahan. Dia tak beranjak dari sandarannya. Mason menatap Pita yang mengarahkan pandangannya lurus ke depan. Pita bergerak canggung. Sesuatu menusuk dadanya karena tatapan Mason yang menghunjam. Rasa nyaman yang membuai. Hatinya tiba-tiba merasa hangat dan tenang. Seperti sesuatu yang pernah Ibunya ceritakan padanya. Ketika Ayahnya menatap Ibunya dalam diamnya, maka rasa seperti yang Pita rasakan saat ini akan merayapi Ibunya perlahan. Sama persis seperti yang dijabarkan Ibunya bertahun lalu.

"Berhenti menatapku Mason."

Pita menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. Punggungnya membentur lengan Mason yang berada di belakangnya. Lalu...seperti dalam novel-novel yang sering di ceritakan oleh sepupu-sepupunya yang bau kencur--anak-anak Bibi Elena dan Paman Ansell--bahwa ketika dua orang mempunyai perasaan cinta, maka dua orang itu akan merasakan listrik statis saat mereka bersinggungan.

Keduanya, reflek mengangkat kaki mereka dan meletakkannya di meja di depan mereka. Dalam hening mereka terdiam. Menatap bentang langit yang memberikan warna yang semakin kelabu.

"Sepertinya akan turun hujan."

Dengan tangan kirinya Mason menunjuk ke langit.

"Tidak."

"Kau yakin?"

Pita hanya mengangguk dan ikut memandangi langit. Awan menipis tersapu angin. Melayang menyisih ke sisi lain.

"Kau cantik dengan dress putih seperti ini."

"Aku selalu cantik."

"Aku tahu."

"Apa pemuda itu yang memintamu?"

"Aku melihat Nenekku menangis dan memeluk baju-baju masa kecilku. Nenekku merindukan aku yang berwarna-warni."

Dan mereka terdiam lagi.

Hingga malam menjelang dan bulan yang belum sempurna di atas sana mengintip dari balik awan. Mason menggeliat pelan dan merasakan beban yang membuat tangan kanannya terasa kebas. Wajah Mason membentur kepala Pita yang terkulai di bahunya. Wangi shampo anak-anak membuat Mason tersenyum dan membauinya berulangkali.

"Mason..."

Mason menoleh dan mendapati Ibu Pita menatapnya dengan tatapan lembut.

"Bisa kau angkat Pita ke kamarnya?"

"Tentu, Aunty."

"Setelah itu diamlah dulu di sini."

Mason mengernyit.

"Ada seseorang mengawasi rumah ini dari balik pohon besar di sisi jalan."

Mason mengangkat Pita dengan keheranannya karena ucapan Ibu Pita. Perlahan Mason melangkah dan menjangkau ranjang. Merebahkan Pita dan menyelimutinya hingga sebatas bahu.

Mason menoleh dan tak menemukan Ibu Pita di manapun. Dan Ibu Pita meminta dia untuk singgah sesaat. Mason berjalan cepat kembali ke balkon. Dia melayangkan pandangannya ke pohon-pohon besar yang berdiri sejajar di sisi jalan. Dan Mason terhenyak. Benar apa yang dikatakan oleh Ibu Pita. Seseorang tengah mengarahkan tatapannya ke arah rumah kediaman Jefferson. Seseorang dengan baju hitam. Mantel hitamnya seakan semakin menegaskan betapa misteriusnya dia. Pria itu terlihat bersandar di sebuah pohon besar di dekat lampu jalanan yang tengah rusak. Lampu temaram yang mati dan menyala bergantian itu menyamarkan sosok pria misterius itu. Tatapan Mason beradu dengan pria itu.

"Dia pria yang berbicara dengan Pita tadi siang. Aku yakin. Tapi apa maksudnya mengawasi kediaman Jefferson ini?"

Dan pria itu beranjak. Menghilang ke balik pohon besar. Mata Mason memicing menegaskan. Dan pria itu memang sudah pergi. Mason melangkah masuk. Sejenak dia berdiri di sisi ranjang Pita yang sudah berbalik membelakanginya. Pita yang tertidur nyenyak. Pita yang nampak lelah. Pita yang akan selalu mempunyai banyak misteri bagi Mason.

Mason berbalik dan melangkah menjangkau gagang pintu lalu membukanya. Helaan napas Mason mengiring pintu yang tertutup perlahan.

Angin menghempas tirai putih yang melapisi pintu dobel yang mengarah ke balkon kamar Paquita. Lampu temaram di balkon menyamarkan siluet seorang pria yang tengah berdiri di depan pintu.

Pria dengan mantel hitam.

---------------------------------------

---------------------------------------

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

👑🐺
MRS BANG

MY SEXY CENAYANG GIRLFRIEND ( SUDAH TERBIT )Where stories live. Discover now