10. Nina Menyesal

2.8K 426 138
                                    

"Gini, Ma? Bagus nggak?" Beberapa bingkai foto berwarna broken white berukuran lima inci Nina bariskan secara acak di atas meja kecil yang ada di ruang tamu.

"Hm?" Arumi tampak berpikir. Malam ini adalah kali kedua Arumi menginap di rumah mereka.

"Gimana, Ma? Atau di kamar aja yah? Yang besar kan udah ada di sini," Nina melirik foto pernikahannya dengan Denis yang terpampang begitu jelas di dinding. Senyum Nina langsung mengembang. Perasaan hangat pun merambati hatinya. Dalam foto ia tersenyum lebar ke arah kamera, bertolak belakang Denis yang memasang wajah datar. Baginya tak masalah, lambat-laun ia pasti bisa mengubah ekspresi wajah itu menjadi tersenyum. Pasti! Nina menguatkan diri sendiri.

"Iya, lebih baik taruh di kamar aja."

"Hmm, menurut Kak Denis gimana?" Nina beralih pada Denis yang sejak tadi berdiam diri di sofa menatap lurus ke depan. Sepertinya, pikirannya sedang tidak ada di sini.

"Oh..terserah," jawab Denis datar.

"Kalau gitu di kamar Kak Denis juga, ya?" rengek Nina sambil mengedip-ngedipkan mata.

Denis melirik Arumi. Ingin sekali menolak mentah-mentah, tapi masih ada rasa segan di hatinya melihat Mama mertuanya di sana. "Boleh," jawabnya singkat. Nina memekik riang, langsung ditarik lengan Mamanya mengikutinya memasuki kamar Denis.

Denis menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Pikirannya tak pernah lepas dari Lolita. Bayang-bayang wajah Lolita selalu muncul di benak dan hatinya. Andai Lolita datang lebih awal sebelum ia bersedia menikahi Nina, semuanya tak akan jadi serumit ini. Ia akan bisa bersama Lolita karena wanita itu sudah resmi berpisah dari suaminya. Saat wanita itu di depan mata tak ada lagi yang memiliki, saat itu juga ia tak bisa meraihnya. Sial! Sungguh sial! Takdir benar-benar mempermainkannya. Rasanya Denis ingin menghancurkan apa saja yang ada di sekitarnya saat ini. Napas Denis memburu karena gejolak amarah dalam dirinya. Matanya langsung menyorot tajam pada foto pernikahannya dengan Nina yang terpajang di dinding.

Dalam waktu yang sama di kamar Denis, Nina menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur usai meletakkan beberapa bingkai fotonya. Nina menatap langit-langit kamar tampak memikirkan sesuatu. Arumi mendekat dan duduk di tepi. Diperhatikan Nina, "Bahagia?" tanyanya.

Nina menoleh, langsung sebuah senyuman terukir di bibirnya. "Tentu Ma, sangat!"

"Kalau Nina bahagia, Mama juga ikut bahagia."

"Makasih Ma...," Nina beringsut mendekati Arumi, meletakkan kepalanya di pangkuan sang Mama sambil memeluk erat pinggangnya. Arumi balas memeluk putri kesayangannya, mengelusi puncak kepalanya.

"Nina?"

"Ya, Ma?" Nina mendongak agar bisa melihat wajah Arumi.

"Nina sekarang bukan gadis kecil lagi. Nina udah jadi seorang istri yang harus bisa bersikap dewasa. Pernikahan bukan main-main. Bukan seperti pacaran, jika tidak suka tinggal pergi dan putus saja."

"Mama kenapa ngomong gitu? Nina tahu bukan main-main, maka itu Nina minta nikah sama Kak Denis bukannya pacaran."

Terdengar helaan napas Arumi. "Mama tahu gimana perasaan Nina sama Denis. Tapi Denis?" ucap Arumi menggantung.

Nina terdiam.

"Nina, ini pernikahan. Setiap pernikahan itu akan selalu diuji. Nina harus hadapi apa pun itu."

"Apa pun itu?" Nina mengernyit.

"Apa pun itu. Misalnya meributkan hal-hal kecil, jangan diperbesar. Memperdebatkan sesuatu, jangan diperpanjang. Nina, tidak menutup kemungkinan bisa saja ada wanita lain yang mencoba masuk dalam kehidupan kalian. Denis itu pria dewasa, tampan dan mapan yang menjadi incaran setiap wanita," jelas Arumi menundukkan kepalanya bersitatap dengan Nina.

Modern Fairytale (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang