Chapter #8

49.6K 2.3K 81
                                    

"Aku hanya ingin kamu tau, walau lisanku sangatlah tajam, tapi hatiku tulus menyayangimu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Aku hanya ingin kamu tau, walau lisanku sangatlah tajam, tapi hatiku tulus menyayangimu." ~ Shaka

***

Aku terdiam, sambil menatap tajam perempuan yang sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Kuamati secara rinci wajah pucat yang tidak terdapat polesan make up sama sekali. Radza tetap terlihat cantik, sekali pun tidak menggunakan alat perias.

Tujuh tahun bersama, tidak menjamin aku untuk mengetahui semua tentangnya. Di balik sifat angkuh yang dia miliki, ada setitik luka yang membuat Radza begitu lemah. Perempuan itu sakit dan bodohnya aku tidak tau. Selama bertahun-tahun dirinya menyimpan beban itu sendiri, tanpa mengeluh sedikit pun.

Mengacak kasar rambutku, kembali kutatap perempuan itu dalam diam. Radza adalah perempuan yang menemaniku dari nol, bahkan dia tidak bergerak sedikit pun, disaat hidup membawaku ke roda paling bawah sekali pun.

Jakarta,Okt,2011.

"Apa ini?!" Aku membisu, ketika papa melempar sebuah kertas berlogo rumah sakit tepat di depan wajahku.

"Shaka, apa kamu sudah gila?" Tatapan terluka mama seperti menguliti tubuhku.

"Kamu bisa menjelaskannya, Nak?"
Ayah menepuk bahuku pelan, lalu mengajaku duduk di sofa ruang tamu.

"Radza, apa kamu hamil?" Suara bergetar milik bunda terdengar begitu nyaring.

"Jangan sentuh aku!" Radza menghindar ketika tangan ringkih bunda akan membelai surai hitam miliknya.

"Radza!" geramku, ketika perempuan itu hampir saja mendorong wanita yang telah melahirkannya ke dunia.

"Apa? Jangan ikut campur!" jawabnya bruntal.

"Radza, dia suamimu, dan mereka orang tuamu, di mana sopan santunmu sebagai anak?!" Mama ikut menimpali.

"Peduli setan."

"Kamu!" teriakku muak melihat semua kelakuan Radza.

"Apa?!" balasnya menantang.

"Sudah kalian!" teriak Ayah. "Tolong jelaskan tentang surat perjanjian aborsi ini."

"Iya, aku hamil," jawab Radza mantap. "Dan aku ingin menggugurkannya malam ini."

Sebuah tangan mendarat mulus di pipinya. Aku terperangah melihat ternyata tangan besar ayah pelakunya. "Di mana otak kamu?"

Radza terkekeh lalu mengusap pelan pipinya yang memerah. Aku masih terdiam, lebih tepatnya terkejut, dan apa kata Radza tadi? Dia akan menggugurkannya malam ini? Bahkan aku yang membuat perjanjian dengan dokter tanpa sepengetahuannya, surat itu aku yang membawanya, tetapi karena ceroboh akhirnya ayah menemukannya di ruang tamu.

SELFISH (TERBIT)Where stories live. Discover now