Chapter #24

30.5K 1.4K 146
                                    

"Kamu membencinya?" Suara lirih Radza membuatku menengok, sepanjang perjalanan saat menghantar Acha dan Nala pulang, perempuan ini hanya diam

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kamu membencinya?" Suara lirih Radza membuatku menengok, sepanjang perjalanan saat menghantar Acha dan Nala pulang, perempuan ini hanya diam. "Kamu bersikap sangat baik dengan kedua anak itu, Shaka. Lalu sikap apa yang kamu berikan pada putriku?"

Aku terdiam, tidak mengerti akan berkata apa. Menjelaskan pun rasanya tidak akan tergubris, anak itu tiba-tiba muncul dan menawarkan jasanya. Acha mengiyakan, sedangkan tubuhku malah membeku melihatnya.

"Kamu sejijik itu sama aku? Hingga memperlakukan putriku sedemikian rupa?!" Tubuhku tertarik ke samping.

"Jangan gila kamu, aku sedang menyetir!" Kuhempaskan kasar tangannya.

"Salah apa Alaia sama kamu?!" Perempuan itu berteriak, tangannya mulai merambat untuk menyakiti dirinya sendiri.

Aku mengembuskan napas pelan, memilih untuk menepi. "Apa yang kamu lakukan? Jangan kekanakan, Radza!"

"Kekanakan kamu bilang?!" Tawa hambar itu berdengung. "Kamu merendahkan anakku, Shaka!"

"Penderitaan apa yang kita berikan pada anak sekecil itu?!" ujar Radza bergetar, cairan bening mulai membasahi wajahnya. "Kita? Bukan,  tapi aku. Kamu tidak pernah salah, sedangkan aku selalu salah, iya aku salah."

Dengan cepat kutarik pelan tubuh ringkih itu ke dalam dekapanku. Hanya pelukan yang bisa menentramkan jiwa Radza, bahkan efek obat penenang pun tidak bisa mengalahkannya.

***

Aku membuka mata, ketika jam menunjukan pukul sembilan malam. Sedikit mengubah posisi, kupandang perempuan di sampingku yang terlelap begitu pulas. Radza memang sangat cantik, disaat tertidur sekali pun. Jamariku mulai terulur untuk menyingkirkan anak rambut yang sedikit menutupi wajahnya, mendengarkannya menangis lebih dari satu jam pun tidak masalah, asal setelahnya dia bisa setenang ini.

Bulan depan adalah tahun kedelapan pernikahan kami, tidak ada yang berubah. Semuanya tetap pada titik yang sama, seperti saat aku selesai mengucapkan Ijab Qobul beberapa taun silam. Nyatanya benar, tidak ada masa depan pada hubungan ini. Hanya ego dan perasaan angkuh yang sama-sama tinggi yang menjadi landasan. Pertengkaran adalah keseharian dan sex adalah penyelesaian, selalu seperti itu.

Semakin bertambahnya usia, entah kenapa aku malah merasa pertengkaran di antara kami juga semakin meningkat. Tidak ada kecocokan sama sekali, bahkan waktu selama itu tidak membuat kami memahami sifat masing-masing. Mungkin benar, perpisahan adalah jalan terbaik, walau nyatanya tidak pernah terbayang bagaimana hidup tanpa Radza. Tapi jika dipaksakan bersama, kami hanya akan saling menyakiti.

Perlahan aku turun dari ranjang, takut membangunkan singa betina ini. Menarik cepat selimut tebal untuk menutupi tubuhnya, senyumku kembali terbit hanya dengan memandangi damai tidurnya.

"Ini yang terakhir."

Aku mendekat, mengecup singkat bibir ranumnya. Perjanjian setelah sidang pertama sudah jelas, tidak ada kontak fisik, jadi mungkin ini untuk yang terakhir. Setelahnya, memilih turun dari ranjang lalu mengambil kunci mobil, malam ini aku butuh penyalur hasrat dan yang pasti bukan Radza yang akan memuaskan.

SELFISH (TERBIT)Where stories live. Discover now