Chapter #21

37K 1.7K 158
                                    

Aku mengerjab, ruangan serba putih menyambutku, selalu seperti ini, bukan? Sampai aku hafal jika sedang berada di rumah sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku mengerjab, ruangan serba putih menyambutku, selalu seperti ini, bukan? Sampai aku hafal jika sedang berada di rumah sakit. Berusaha bangkit dari ranjang tapi nyatanya tidak mampu, perih di sekitar perut membuatku akhirnya terbaring kembali.

Suara pintu yang terdorong berhasil mengalihkan fokusku, seorang suster masuk dengan mendorong troli berisi obat-obatan. Aku berdecak kesal, memandang nanar berbagai macam pil penyambung nyawa itu.

"Berapa hari saya tidak sadar?" Aku bertanya ketika suster itu mulai mendekat.

"Tiga hari." Tangan terampilnya mulai melepas infusku yang mulai menipis dan menggantinya dengan yang baru. "Bu Radza bisa istirahat kembali, satu jam lagi makan siang, perlu saya hubungi suaminya?"

"Tidak!" Nadaku meninggi. "Kalau dia inget saya, pasti juga ke sini."

Suster cantik itu tersenyum kikuk. "Kalau begitu saya pamit keluar, Bu."

"Silahkan."

Setelah perempuan muda itu resmi menghilang, aku kembali memejamkan mata. Merenung tentang hidup apa yang sedang berlangsung ini. Bolehkah aku mengeluh? Bahkan rahim saja aku sudah tidak punya, sangat menyedihkan.

Egoiskah jika aku ingin mati saja? Walau nyatanya warasku sadar bahwa di akhirat kelak, penyiksaan yang akan kudapatkan akan lebih menyayat, tidak mungkin, bukan, perempuan sehina diriku akan mencium indahnya surga?

Aku meremas kuat rambutku menyalurkan seluruh kekesalan akan kehidupan ini. Sampai sebuah tangan merengkuh, membawa tubuh lemahku kedalam pelukan hangatnya, dengan perlahan tangan itu melepaskan jemariku yang berusaha mencengkram kuat surai hitamku.

"Alby...."

Tanpa membuka mata aku sudah tau, aroma mint yang merasuk ke dalam indra penciumanku sudah menjawab semuanya. Wangi yang selalu menenangkan jiwaku dan menyejukan ragaku.

Kecupan pada pucuk kepalaku berhasil membuka mataku. "Jangan seperti ini aku tidak suka."

"Kamu tau aku di sini?" Tanpa mau melepaskan kehangatan itu aku mulai bertanya.

"Shaka yang memberi tau, dia berkata ada urusan penting yang tidak bisa di tinggal. Makanya dia memintaku menemanimu."

Aku terdiam, berusaha mengabaikan perkataan itu. Tapi hati mana yang bisa diajak mendusta? Perasaan menyayat itu tetap saja menyebar, bodoh memang berharap Shaka akan berada di sampingku ketika mata ini terbuka!

"Dia berjanji akan ke sini sore atau malam, jangan sedih." jemari Alby merangkak ke rambutku dan mengacaknya sekilas.

Aku tertawa paksa. "Ada atau tidaknya lelaki itu tidak ada pengaruhnya untukku."

"Mulut kamu bisa berbicara seperti itu Radzana, tapi sorot mata tidak akan bisa berbohong." Skakmat. Lelaki ini memang seperti cenayang, bisa mengerti tanpa aku beri tau.

SELFISH (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang