Chapter #20

45.1K 1.8K 156
                                    

"Apa masih sakit?" tanyaku khawatir, jam sudah menunjukan pukul dua dini hari dan perempuan ini masih saja merintih

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Apa masih sakit?" tanyaku khawatir, jam sudah menunjukan pukul dua dini hari dan perempuan ini masih saja merintih. "Ke rumah sakit, ya?" tawarku tapi tetap tidak dijawab.

Aku mendekat, mengusap keringat di kening Radza yang mulai bercucuran. Setelahnya, kuambil tubuh mungil itu ke dalam gendonganku. "Aku tidak butuh jawabanmu, mau atau tidak, kamu harus ke rumah sakit."

"Maaf selalu merepotkanmu," ucap Radza lirih membuatku semakin mengeratkan pelukan ke tubuhnya.

*

"Kita tidak bisa memulai operasinya, bu Radza butuh darah," ujar dokter paruh baya itu membuatku menghembuskan napas kasar. "Keadaannya sungguh mengkhawatirkan, pihak rumah sakit masih mengusahakan darah dari PMI. Tapi ada baiknya anda menghubungi orang tua atau saudara kandung pasien."

Penjelasan dokter ber-name tag Nindah ini malah semakin membuat kepalaku berdenyut. Jika saja aku tau keberadaan keluarga Radza, sudah pasti aku akan ke sana, mengabaikan hubungan masa lalu yang terlampau buruk. Tidak mungkin mereka akan menolak untuk memberikan darahnya pada putri tunggalnya, bukan?

"Apa Pak Shaka mendengarkan perkataan saya?" Dokter itu menaikan nada suaranya.

"Saya akan mencarikan darah itu, tapi pihak rumah sakit juga harus mengusahakannya!" tegasku dan diangguki oleh sang dokter.

"Dia sudah sadar, jika Bapak ingin menemuinya." Tanpa menjawab, aku segera berlari ke ruang inapnya.

Saat langkah kakiku mulai memasuki ruangan bernuasa putih itu, pemandangan pertama yang kulihat adalah Radza yang terbaring lemah di atas brankar. Bibirnya yang biasa berwarna peach berubah menjadi pucat pasi. Tatapan penuh intimindasi yang selalu terpancar dari kedua bola matanya, berubah menjadi kosong dan tak terarah.

Aku terdiam beberapa saat, mengamati wanita yang telah bersamaku lebih dari lima tahun itu. Walau kita tidak pernah akur tapi dengan waktu selama itu, ada sisi di dalam hatiku yang ingin selalu melindunginya. Melihat Radza tak berdaya seperti ini, sama saja seperti mencincang separuh jiwaku.

Apa aku terlihat jahat, jika harus menceraikannya dalam keadaan seperti ini? Baru beberapa jam yang lalu kami bergulat penuh nafsu, menyalurkan kebutuhan biologis yang memang harus dituntaskan. Tapi siapa sangka, setelahnya perempuan ini ambruk tak berdaya.

"Kenapa ke sini?" Radza berusaha bangkit dari brankar. "Sepertinya perceraian kita dibatalkan saja, lebih baik menjadi duda karena istrinya meninggal, bukan? Masyarakat akan memandang kamu suami setia, yang mau merawat istrinya yang penyakitan sampai napas terakhir."

Aku tidak menggubris perkatannya, memilih menarik kursi di samping ranjang dan duduk sambil memandanginya yang terus saja berceloteh.

SELFISH (TERBIT)Where stories live. Discover now