Chapter #17

37K 1.8K 134
                                    

Aku mengumpat kesal sambil mengubah posisi tidurku yang benar-benar tidak nyaman

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku mengumpat kesal sambil mengubah posisi tidurku yang benar-benar tidak nyaman. Bagaimana bisa, hanya dengan beralasakan kasur lipat dengan dinding kayu rapuh seperti ini kenyamanan itu bisa hadir?

Melirik ke samping, kutemukan Radza yang tertidur sangat pulas. Sedikit mengubah posisi, kupastikan perempuan di sampingku ini tidak terbangun karena pergerakan yang kulakukan. Aku meringis, menatap wajahnya yang terlihat damai dan kukecup kilat bibir pucatnya.

Saat ingin kembali memejamkan mata, netraku tanpa sengaja melirik ke sebrang, anak piyik itu sama pulasnya dengan Radza, bedanya hanya pada alas yang dia tiduri, sebuah tikar lusuh berwarna pudar yang sudah bolong dibeberapa bagian.

Kuhembuskan nafas kasar, seorang pilot dan pengusaha sukses sekelasku, sudi menginjakan kaki di kawasan kumuh seperti ini? Bahkan parahnya menginap dan tidur dikasur rombengan yang seharusnya ada di tempat sampah.

Kalau saja jalan sialan itu tidak diberi garis kuning pasti akhirnya tidak akan semenyebalkan ini, tiga jam putar balik pun tidak ada hasil, jika nyatanya seluruh jalan menuju tol di tutup sementara karena ada perbaikan. Penginapan sekitar ikut penuh, ditambah bensinku yang menunjukan warna merah, itu merupakan perpaduan paling sempurna untuk kesialanku hari ini. Dan ternyata, menuruti ide konyol Radza untuk menginap di sini adalah pilihan yang sangat buruk!

Mendongak ke atas, kutelusuri setiap sudut tempat yang bahkan sangat tidak layak untuk disebut rumah ini. Hanya sebuah gubuk derita dengan lantai yang masih benar-benar tanah, bagaimana jika ada serangga yang masuk ke sini?

Tetesan berubi-tubi di kaki, seketika membuyarkan lamunku. Aku bangkit, menggeser pelan tubuh Radza, tidak ingin perempuan ini terbangun. Air apa ini? Tidak mungkin AC, karena listrik pun di sini tidak ada. Hanya ada sebuah lampu berminyak berwarna kuning yang ditaruh di dekat meja, itulah penerangan satu-satunya.Baru saja aku ingin berdiri untuk mengecek, Alaia menggeliat pelan dan setelahnya terbangun. Dan saat itu juga aku kembali berbaring, membatalkan semua niat yang tadi akan kulakukan.

Dengan langkah tidak normalnya, gadis itu berjalan menuju pintu keluar, seketika hembusan angin langsung menerobos pori-pori kulitku, dingin. Hampir saja aku mengumpat, ketika pergerakan perempuan di sebelahku kembali terasa, kuusap pelan pinggang Radza dan kunaikan selimut tipis yang membalut tubuh ringkihnya, berharap perempuan itu kembali pulas.

Setelahnya, dengan sedikit memincing, kuamati setiap pergerakan yang dilakukan Alaia. Gadis itu kembali masuk sambil menenteng sebuah ember, aku mengernyit ketika menyadari tubuhnya yang basah kuyub, jadi di luar hujan? Dan tetesan ini?

Kupejamkan mataku erat saat gadis itu tiba-tiba mendekat, hampir saja terlonjak ketika kurasakan seperti ada sebuah plastik yang membungkus kakiku, karena rasa penasaran kubuka sedikit mataku dan benar gadis itu berusaha menutupi kakiku dan Radza agar tidak terkena air bocoran, menaruh batu-batu besar di pinggiran plastik yang mungkin agar tidak tersingkap.

SELFISH (TERBIT)Where stories live. Discover now