Still H-14

32.4K 3.2K 330
                                    

Jeno mengidap Thalassofobia. Dia phobia pada kedalaman air laut. Umur 7 tahun Jeno pernah tenggelam. Tubuh kurusnya terbawa ombak. Melahapnya begitu kuat. Sementara Jeno berteriak. Kaki menendang kehampaan. Air laut memenuhi paru-parunya.

Gelap. Hanya gelap yang ia liat. Semua dingin. Beku. Jeno tidak bisa bernafas.

Jeno sering kali merasa phobianya kambuh kala ia pergi ke kolam renang atau melihat bak mandi panjang nan lebar yang suram. Semenjak saat itu Ibunya menggusur kolam renang di belakang rumah mereka, tidak ada bak kamar mandi di rumah mereka. Jeno hanya berani mandi dengan pancuran air shower.

Dan kali ini, Jeno seakan kembali merasakan phobianya muncul ke permukaan. Bukan karena melihat dalamnya air laut, tapi karena ucapan Jaemin.

Ia tidak bisa bernafas. Jari-jarinya gemetar. Kakinya lemas. Jeno luar biasa merinding. Padahal AC di mobilnya dimatikan, namun ia begitu kedinginan.
Kaget. Jeno beku. Jarinya ngerat di kemudi. Pelan banget, dia noleh. Hadapain mukanya ke Jaemin.

Cowo itu sama bekunya kayak Jeno. Ia bales natap Jeno.

"Ulangi," Jeno berharap ia tuli dalam sekejap saat mendengar kalimat itu kembali diucapkan oleh Jaemin; di depan matanya

"Putus, No. Aku mau putus."

Atur nafas. Jeno narik nafas. Bibirnya dingin. Jarinya gemeter. Jaemin serius. Matanya serius. Jarinya gemeter, sama kayak dia.

"Dua minggu lagi, Na." Jeno bersuara lemah. "Kamu jangan main-main."

"Ya, makanya sebelum dua minggunya makin pendek aku ucapinnya sekarang."

"Jangan gila," suara Jeno keras. Mulai marah. "Kamu kira nikah main-main?"

"Lebih main-main mana dari kita tetep nikah tapi akunya ga mau?" Jaemin sama kerasnya sama Jeno kalau dia mau.

"Kenapa?" Putus asa. Suara Jeno penuh putus asa. Sebatas bisikan.

"Gatau."

"Jangan kasih aku alasan itu!"

"Ya gatau!" Jaemin balas teriak.

"Na Jaemin." Tekan Jeno bengis. "Kenapa?"

Jaemin ngedik bahu. Matanya merah.

"Udah gak cinta, mungkin."

Diem. Jeno diem. Tenaganya hilang. Kepalanya berdenyut nyeri. Otaknya kalut. Jeno gabisa mikir apa-apa lagi. Kosong.

"Kalau kamu lakuin ini cuma buat bercanda, mending berhenti deh. Ini ga lucu sama sekali. Gedungnya udah siap. Katering udah dibayar. Jas pengantin udah rapi. Kamu kok bisa-bisanya mikir begini." Jeno nutup mata, senderin tubuhnya ke jok mobil. "Apa kata orang tua kita nanti, Na? Kamu ga mikir ke situ?"

Jaemin tarik nafas. "Udah kupikiran berulang kali. Aku gamau nyesel makanya kuomongin dari sekarang." Jaemin tau konsekuensinya. Dia tahu. "Aku yang bakal bilang ke Mama sama Papa, sama Bunda juga. Aku yang bakal bilang. Jeno diem aja."

"Kok tega kamu ngomong gitu?" Jeno negakkin badan. "Kita mutusin nikah bareng-bareng, mana bisa kamu mutusin kita gajadi nikah gitu aja?"

Jaemin natap Jeno. Dalam. Lalu dengan pelan, ia lepas cincin di jari manisnya. Cincin yang pernah Jeno sematkan empat tahun lalu. Ia menaruhnya di atas dashboard mobil.

"Jeno boleh benci aku sekarang. Daripada aku bakal benci diriku sendiri nantinya. Aku gamau gagal, No. Aku mundur."

Dan dengan itu, Jaemin turun dari mobilnya. Jeno tak mengejar. Ia sibuk meraih kepingan hatinya yang berjatuhan.

Elegi [NOMIN]Where stories live. Discover now