Kenangan 1: Garis Lengkung

67 3 0
                                    

Aku masih ingat ketika itu, sore pada hari Jumat tahun 2006, di pinggir jalan raya Siliwangi tepat di depan sebuah SMP Negeri di kawasan Cicurug, hujan mengguyur tidak begitu lebat, namun berhasil membuat siswa-siswi yang baru saja bubar sekolah mencari tempat berteduh.

Cicurug adalah nama kawasan perbatasan Sukabumi dan Bogor, yang juga merupakan daerah industri. Macet adalah makanan sehari-hari anak sekolah di sana, dan biasanya, pada jam pulang sekolah, jalanan akan semakin macet karena banyak angkot yang ngetem.

Aku sendiri, memilih untuk segera menaiki angkot yang ketika itu masih diam menunggu penumpang, sambil lalu mengambil tempat di paling ujung di bagian kiri. Tidak ada yang istimewa ketika itu, lebih tepatnya sebelum akhirnya aku menoleh ke arah jendela, dan mendapati seorang anak laki-laki yang kukenal tengah berdiri di teras sebuah rumah makan yang jaraknya kurang lebih dua meter dari angkot yang kunaiki ketika itu berada, berteduh, bersama dengan siswa-siswa lain yang tidak aku kenal, mungkin siswa dari kelas lain.

Dia teman sekelasku. Namanya Muhammad Iqbal, anak paling tampan di kelasku, ramah, namun punya gosip yang kurang sedap. Hubungannya dengan teman-teman sekelas yang lain biasa saja, namun dapat terlihat bahwa ia anak yang sedikit menjaga jarak.

Pada masa itu, aku adalah gadis kampung yang selalu jadi objek pembulian oleh siswa-siswa badung di kelas. Mungkin karena ketika itu aku anak yang pendiam dan kuyu, anak-anak itu semakin senang menjahiliku. Iqbal sendiri, sebenarnya selalu bergumul dengan gerombolan siswa yang sering membuliku tersebut, hanya saja seingatku, ia tidak pernah melakukan sekali pun hal yang tidak menyenangkan kepadaku.

Sudah dua bulan satu kelas, aku belum pernah mengobrol dengannya. Namun, terlepas dari semua gosip tidak menyenangkan tentang dirinya, aku menaruh simpati yang besar pada anak itu. Alasannya? Pertama, tentu karena ia tidak mudah terpengaruh orang lain, dan kedua, karena aku adalah gadis biasa, yang senang melihat pria tampan.

Aku masih menatap diam-diam Iqbal dari balik kaca angkot ketika itu, sampai kemudian ia menoleh padaku, dan mata kami bersiborok. Aku berusaha bersikap biasa saja, seolah tidak bermaksud menatapnya, sambil lalu menarik sudut bibirku ke atas dan mengangguk, memberinya salam dengan anggukan itu.

Ia balas mengangguk sambil menatapku lalu melambaikan tangannya sebentar. Dengan sedikit tergugup aku membalas lambaiannya dan tiba-tiba saja perutku terasa tergelitik karena luapan rasa senang yang tiba-tiba muncul.

Dari kejauhan itu tiba-tiba aku melihat dirinya berjalan menerjang hujan, menghampiri angkot yang tengah aku naiki, dan masuk ke dalamnya, lalu mengambil tempat di sebelahku.

“Sendirian?” tanyanya kemudian.

Aku mengangguk. Jujur saja, ketika itu aku sedikit bingung mengapa dia tiba-tiba saja ikut menaiki angkot yang sama denganku. Karena biasanya dulu, anak-anak sekolah selalu naik angkot bergerombol. Hanya aku saja yang selalu sendiri.

“Iya, Almina sama Fajar kan hari ini nggak masuk,” jawabku. “Kamu sendirian juga?” tanyaku retoris, karena sebenarnya aku sendiri tahu, sekalipun Iqbal sering bergabung dengan kelompok anak-anak cowok, ia sebenarnya tidak pernah begitu dekat dengan mereka, begitu pula setiap pulang sekolah.
Almina dan Fajar adalah dua orang teman sekelasku yang berasal dari SD yang sama denganku dulu. Dua orang itu, sama sepertiku. Korban permbulian di kelas, karena kami bertiga berasal dari SD yang letaknya di desa.

“Anak-anak lain pilih-pilih angkotnya lama. Sudah sore kan,” jawabnya kemudian sambil menyibak rambutnya yang basah karena terkena hujan dengan jari tangan kanannya ke belakang. “Maaf ya, basah,” ucapnya lagi mengomentari seragam basahnya yang sedikit menempel pada badanku.
Ketika itu memang angkot yang sudah aku naiki sudah hampir penuh. Semua penumpangnya anak perempuan. Karena memang begitulah kebiasaan anak-anak sekolahku ketika itu, pulang bergerombol. Jarang ada angkot yang diisi oleh campuran anak perempuan dan laki-laki.

“Iya nggak apa-apa. Nanti juga kering sendiri kok, angkotnya kan nggak ada AC nya,” timpalku kemudian. Iqbal tertawa kecil.

Aku hanya ingin jujur, sejak hari pertama sekolah dulu, aku selalu mencuri-curi pandang pada Iqbal. Ketika itu aku masih belum mengerti yang dimaksud dengan ketertarikan pada lawan jenis, hanya saja yang pasti, aku selalu senang ketika melihatnya. Dan sekarang pun, selain aku yang ketika itu melirik diam-diam pada Iqbal yang wajah dan seragamnya sudah basah, anak-anak perempuan lain di dalam angkot pun melakukan hal serupa.

Pesona Iqbal memang kuat.

“Bal, nggak malu emangnya masuk angkot cewek?” tanyaku kemudian pada Iqbal setengah berbisik.
Iqbal menggeleng. “Yang penting ada temen. Bodo amat sih aku mah,” jawab Iqbal sambil memasang wajah tidak peduli.

“Omong-omong, awalnya aku pikir kamu orangnya susah ngomong loh Ren,” ucap Iqbal kemudian padaku.

Aku hanya menyeringai. “Di rumah mah sih, sebenernya aku itu bawel,” jawabku jujur. “Cuma di sekolah saja aku diem.”

“Karena si Wandi ya?” tanya Iqbal lagi menyebut nama teman sebangkuku, yang tidak lain dan tidak bukan adalah otak dari setiap pembulian yang aku terima. “Kamu lawan atuh sekali-kali mah, aku bantu, mau?” tawarnya.

Aku hanya tersenyum kecil. Ketika itu aku memang tidak pernah berani untuk melawan. Maksudku, aku anak perempuan, dan komplotan yang selalu membuliku semuanya anak laki-laki. Dari segi fisik saja, aku sudah kalah telak.

“Masih belom biasa saja kali akunya di kelas, nanti juga lama-lama membaur kok,” jawabku.

Iqbal mengangguk. Tidak lama setelah obrolan itu, angkot yang aku dan Iqbal naiki pun melaju, menyusuri jalan Siliwangi yang ketika itu jalannya banyak berlubang karena angkutan mobil berat dari pabrik air minum di daerah itu. Aku masih ingat sekali, naik angkot di Cicurug, rasanya seperti naik kuda lumping, badan akan terasa diayun-ayun, terlebih ketika si sopir angkot kebut-kebutan.

Selain terkenal karena pabriknya, kawasan Cicurug juga terkenal di seantero Sukabumi karena pasar tradisionalnya yang selalu bikin macet. Ketika insiden jatuhnya pesawat Sukhoi di gunung Salak beberapa tahun lalu pun, pasar Cicurug pernah masuk berita sebuah saluran televisi swasta karena kemacetannya yang sampai berjam-jam. Karena ketika itu, untuk sampai pada titik jatuhnya pesawat Sukhoi, para wartawan mau tidak mau harus melewati pasar tersebut.

Sampai sekarang Cicurug memang masih menjadi kawasan super macet, meskipun setelah dirombaknya pasar tradisional Cicurug yang legendaris itu menjadi pasar modern, kemacetan itu sedikit demi sedikit mulai berkurang.

Karena aku tipe orang yang tidak pintar mencari bahan obrolan, sepanjang perjalanan itu aku dan Iqbal terlibat obrolan yang pasif. Iqbal banyak bertanya tentang pelajaran sekolah, sedangkan aku hanya menjawab dan jarang bertanya balik.

Ada pertigaan besar beberapa meter setelah pasar, dan Iqbal menyetop angkotnya di situ. Sambil menoleh dan menepuk bahuku ia berkata, “Aku turun duluan ya, daah.” Ia melambaikan lagi tangannya dan melemparkanku seulas senyum, yang sampai sekarang pun aku masih ingat bagaimana manisnya garis lengkung itu tersungging di wajahnya.

Setelah beberapa tahun berlalu, setelah aku semakin beranjak dewasa, aku baru menyadari bahwa garis lengkung itulah yang menjadi doronganku di kemudian hari untuk lebih intens memperhatikannya diam-diam. Aku yang ketika itu baru lulus dari sekolah dasar, tentu masih belum bisa menyadari, bahwa rasa sukaku pada Iqbal sudah mulai tumbuh. Perasaan yang ketika itu aku rasakan memang sangat sederhana, sesederhana garis lengkung pertama yang aku dapat dari teman satu kelasku di SMP. []

Since Feeling Is FirstWhere stories live. Discover now