Kenangan 13: Berubah

22 0 0
                                    

Ketika itu kami sudah memasuki semester dua di kelas sepuluh. Aku dan Iqbal yang semula sering bertemu ketika liburan semester, lambat laun semakin jarang berhubungan karena kesibukan kami masing-masing di sekolah.

Pertengahan semester itu aku sibuk dengan open recruitment anggota OSIS. Aku dicalonkan menjadi wakil satu ketua OSIS, sehingga cukup sibuk menyiapkan bahan kampanye, belum juga ditambah dengan tugas-tugas sekolah yang kebanyakan adalah tugas proyek yang harus dikerjakan bersama kelompok. Alhasil malam minggu yang semula menjadi satu-satunya waktu di mana aku dan Iqbal bertemu untuk belajar bersama, kini mau tidak mau aku habiskan bersama dengan teman kelompokku. Iqbal pun, yang semula selalu menungguku pulang di rumah, mulai kembali menongkrong di rumah Johan karena merasa bosan.

Entah karena aku yang stres dengan kegiatanku yang penuh, aku merasa mulai banyak mengeluh, membentak dan jutek pada Iqbal. Mulai dari hal-hal kecil seperti Iqbal yang susah ngerti ketika aku menjelaskan materi matematika, sampai pergaulannya dengan Johan yang mulai dekat kembali. Bahkan aku pernah marah-marah karena curiga dia dekat dengan Tiara, teman satu sekolahnya yang juga sering nongkrong di rumah Johan.

“Masa sih kamu gini aja nggak ngerti Ban?”, “Ya ampun, aku kan sudah jelasin itu ribuan kali Ban,”, “Kamu mestinya ngerti dong, aku tuh capek abis kerja kelompok!”, “Makanya, jangan kebanyakan gaul sama si Johan!”, “Otak kamu cuma dipake buat ngingetin wajahnya si Tiara sih, makanya sering lupa!” begitu kira-kira omelanku pada Iqbal ketika itu.

Hal lain yang membuat aku merasa stres selain dari banyaknya hal yang harus aku lakukan ketika itu adalah, aku mulai merasa insecure dengan diriku. Wajahku yang semula bersih dan licin, tiba-tiba saja mulai ditumbuhi banyak jerawat dan terlihat kusam. Berat badanku ketika itu juga naik drastis. Ditambah Iqbal yang sepertinya mulai acuh, dan lebih sering nongkrong di tempat Johan, membuatku semakin yakin bahwa alasan Iqbal berada di sana adalah karena Tiara. Aku mulai sering membanding-bandingkan diriku dengan orang lain, terutama dengan Tiara, dan efeknya rasa ketidakamananku itu semakin menggunung.

Iqbal sendiri, sekalipun ia berusaha untuk tetap bersikap biasa-biasa saja padaku, aku tahu betul dalam hatinya ia pun merasa kesal padaku. Sampai akhirnya mungkin karena ia sudah malas mendengar keluhan dan omelanku, setiap kali aku bicara Iqbal selalu saja menimpali dengan sengit. Alhasil mau tidak mau kami selalu terlibat pertengkaran, yang biarpun pada akhirnya selalu berakhir dengan kata maaf dari mulut kami berdua, namun selalu terulang berkali-kali.

Pernah suatu ketika aku hendak meminta bantuannya untuk menjemputku dari sekolah karena aku membawa banyak kardus dan karton bekas kampanye, dan Iqbal menolak karena ada hal penting yang harus ia kerjakan. Aku tidak memaksanya ketika itu dan meminta bantuan Randy, teman sekelasku untuk mengantarku pulang.

Di tengah perjalanan pulangku, aku melihat Iqbal tengah duduk di meja luar kafe dekat alun-alun kota bersama dengan Tiara. Aku yang biasanya selalu merasa marah setiap kali melihat dan mendapati tingkah Iqbal yang tidak sesuai harapanku, ketika itu tidak. Entah kenapa aku tidak bisa marah, aku hanya merasa kecewa dan sedih. Aku tidak tahu apa yang tengah mereka lakukan di sana, dan ketidaktahuanku itu membuatku semakin berpikir macam-macam. Aku mengingat kejadian Iqbal dengan Anita dulu, aku tidak mau sampai salah menduga lagi, namun tetap saja aku tidak bisa tenang.

Parahnya lagi ketika itu, aku yang tengah merasa insecure mulai sering menyalahkan diriku karena hal itu, membuatku benar-benar kacau seperti orang gila.

Selama beberapa hari aku tidak berniat untuk menghubungi Iqbal. Setiap kali ia mengirimiku pesan pun tidak pernah aku balas, atau kalaupun aku balas, aku hanya balas seperlunya. Ketika itu aku mulai sadar bahwa ada yang tidak beres dengan diriku, dan mulai memutuskan untuk menjauh dari hal-hal yang bisa membuatku semakin terpuruk, dan salah satunya adalah Iqbal.

Mungkin karena perubahan sikapku itu, Iqbal kemudian datang ke rumah menghampiriku. Dengan dingin aku mempersilakannya masuk, dan jika saja Iqbal tidak berinisiatif untuk membuka obrolan, tidak ada dari kami ketika itu yang akan bicara. Karena aku pun, sama seperti sebelumnya, hanya menimpali dengan malas.

“Reren, kamu belakangan ini sebenernya kenapa sih?” tanya Iqbal akhirnya ketika sudah satu jam kami terlibat obrolan satu arah yang tidak penting.

Aku menggeleng. “Nggak apa-apa kok,” jawabku masih malas.

“Kalau kamu ada masalah, cerita. Kalau masalahnya ada di aku, kasih tahu aku, biar aku juga tahu,” ucap Iqbal lagi.

Aku menatapnya sebentar, lalu kembali mengedikkan bahuku. “Percuma,” timpalku pelan.

“Kok percuma sih?”

“Ya percuma aja. Kalau kamu tahu pun, aku nggak yakin masalahnya bisa selesai begitu saja.”

“Jadi bener ada masalah kan?”

Aku mengangguk. “Sebenernya buat kamu itu lebih penting aku atau si Tiara itu sih?” tanyaku ketika itu akhirnya. Aku ingat sekali, aku menahan nafasku dalam-dalam ketika hendak menanyakan hal tersebut.

“Loh, kok Tiara lagi sih?” wajah Iqbal mulai terlihat tidak terima, yang bodohnya ketika itu aku sangka karena Iqbal merasa terpojok bahwa hubungannya dengan Tiara mulai terendus.

“Aku liat kamu duduk di kafe bareng dia pas aku minta kamu jemput aku di sekolah minggu lalu,” timpalku ketika itu akhirnya terus terang. “Aku baru tahu bahwa hal penting yang kamu kerjain dulu itu ternyata ngobrol sama si Tiara.”

Iqbal menggelengkan kepalanya. “Waktu itu aku nggak sendiri Ren, aku sama Tiara lagi tunggu Johan sama teman-temennya. Kami memang punya janji buat diskusiin sesuatu ketika itu,” jelas Iqbal kemudian.

Bukannya merasa malu karena salah duga, aku malah merasa semakin marah karena menyangka Iqbal berbohong dan mulai mengungkit-ungkit lagi nama Johan. “Johan lagi, Johan lagi! Sudah berapa kali sih aku sama mama bilangin kamu buat jauhin dia! Dia itu bawa pengaruh buruk buat kamu! Liat saja sekarang, setiap kali belajar bareng kamu selalu lupa apa yang udah dipelajari!”

“Masalah itu lagi!” timpal Iqbal. “Aku juga stres kali Ren belajar mulu. Aku butuh main! Dan Johan itu baik! Kamu sama mamamu saja yang over negative thinking sama dia!”

Aku memicingkan mataku mendengar ucapannya.

“Dari pada bahas kaya beginian terus mending aku pulang saja!” ucap Iqbal lagi sambil kemudian beranjak dari sofa lalu kemudian keluar dari rumah. Aku tidak mengantarnya sampai depan. Aku masih duduk di atas Sofa sambil menyilangkan lenganku di depan dada.

Berbeda dengan pertengkaran-pertengkaran kami sebelumnya, kali itu tidak ada dari kami berdua yang memulai untuk meminta maaf. Sampai akhirnya selang dua minggu dari hari itu, hasil pemilihan anggota OSIS telah resmi keluar, dan aku dinobatkan sebagai Wakil OSIS I. Kesibukanku di organisasi kemudian sedikit membuatku lupa akan masalahku dengan Iqbal. []

Since Feeling Is FirstOn viuen les histories. Descobreix ara