Kenangan 10: Tamu di Rumah Tetangga

18 0 0
                                    

Di bab ini aku menceritakan diriku yang sudah duduk di bangku putih abu. Ketika itu aku masih kelas sepuluh. Aku, Dion, Putra, Ratih dan Jayden bersekolah di tempat yang terpisah. Dion masuk ke sekolah favorit di Bogor dan tinggal bersama dengan neneknya di sana. Putra masuk sekolah kejuruan di pusat kota Sukabumi, Ratih masuk sekolah pariwisata yang berdekatan dengan sekolahku, dan Jayden masuk SMA swasta milik yayasan keluarganya. Meski terpisah, kami masih saling rajin berhubungan dan pergi bersama. Khususnya aku, Ratih, dan Jayden yang masih bersekolah di daerah yang sama dan tinggal berdekatan. Dan Iqbal, semenjak ia dikeluarkan dari sekolah satu tahun lalu, aku sudah tidak tahu lagi kabarnya.

Masa SMAku ketika itu masih belum terasa begitu menyenangkan. Mungkin karena masih kelas sepuluh, dan aku masih butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Yang jelas, kegiatanku ketika itu hanya sekolah-pulang, sekolah-pulang. Aku tidak pergi dengan teman-teman baruku, tidak ikut nongkrong di kafe atau pergi nonton bareng. Karena tanpa hal-hal itu, hari-hariku di SMA sudah sangat melelahkan.

Ketika itu, keluargaku punya hubungan yang buruk dengan tetangga sebelah rumahku. Keluargaku yang notabene keluarga guru, merasa tidak nyaman dengan kebiasaan tetangga kami yang senang membuat gaduh. Si nyonya pemilik rumah adalah seorang janda cerai yang memiliki enam anak dari lima pria yang berbeda. Anak keduanya laki-laki, berumur satu tahun lebih tua dariku, sekalipun si nyonya rumah umurnya jelas lebih muda dari mamaku.

Sama dengan anak pertamanya yang hamil di luar nikah, anak keduanya itu juga senang berbuat onar. Dia bersekolah di sekolah kejuruan yang terkenal karena doyan kisruh tawuran. Setiap malam si anak kedua yang kita sebut saja namanya Johan ini selalu mengundang teman-temannya ke rumah, dan membuat bising lingkungan sekitar karena bunyi motor mereka dan suara tawa yang selalu terdengar sampai dini hari.

Suatu hari, di satu sore yang gerimis, ketika aku baru saja turun dari angkot dan hendak melanjutkan berjalan kaki ke rumah, seseorang tiba-tiba saja menghentikannya motornya tepat di sampingku, dan menyuruhku ikut dengannya.
Aku menolak karena aku tidak mengenal siapa orang di balik helm full face tersebut, namun yang jelas ia adalah seorang anak SMA, karena masih mengenakan celana abu dan kemeja putih yang dibalut jaket kulit. Ia juga menggendong tas ransel hitam di punggungnya.

“Gerimis, bentar lagi hujan gede, ayo ikut aja, arahnya sama kok,” ucapnya lagi.

Aku masih menggeleng dan tersenyum, berusaha menolak tawaran orang itu dengan sopan, sampai kemudian si pengendara motor tersebut membuka helmnya, dan membuatku sedikit terkejut.

“Ayo ikut Ren, jangan khawatir dibawa kabur, hahaha,” ucap pengendara motor itu yang ternyata adalah Iqbal.

“Eh?” aku hanya bisa melongo melihat kemunculan sosok itu yang tiba-tiba di hadapanku.

“Ayo cepet,” ucap Iqbal lagi sambil menarik lenganku untuk mendekat. “Nanti keburu gede hujannya,” imbuhnya lagi.

Aku mengangguk, dan menaiki motornya. Ia memakai kembali helmnya, sebelum kemudian meluncur pergi mengantarku pulang.

“Kamu mau ke mana emangnya Bal?” tanyaku kemudian.

“Ke rumah tetanggamu,” jawabnya.

Aku mengernyit. “Maksudnya?”

“Kakak kelasku tinggal di situ, aku mau main ke rumahnya. Namanya Johan,” timpalnya lagi.

Aku mengangguk mengerti. Ketika itu aku baru tahu bahwa Iqbal ternyata satu sekolah dengan Johan, dan mengetahui hal tersebut sama sekali tidak membuatku senang. Tapi sebenarnya, kalau dipikir-pikir, apa peduliku juga? Seperti yang pernah ia katakan dulu padaku, aku bukan siapa-siapanya, dan aku nggak punya hak untuk melarang-melarang ia untuk bergaul dengan siapa pun.

“By the way, kamu apa kabar?” tanya Iqbal lagi padaku kemudian.

“Baik, kamu?”

“Kabar baik juga, si Dion apa kabar?” tanyanya tiba-tiba.

Aku gelagapan. “B-Baik juga dia,” jawabku ngasal, meskipun aku tahu kabar Dion memang selalu baik. Kami sering mengobrol di Facebook, dan dia sekarang lagi naksir kakak kelasnya.

“Kamu masih sama si Dion?” tanya Iqbal lagi ketika kami sudah memasuki gerbang kompleks.

Aku bingung hendak menjawab apa, dan akhirnya lagi-lagi aku berbohong. Aku mengiyakan pertanyaan Iqbal. Sepanjang sisa perjalanan itu terjadi pergulatan dalam benakku. Aku ingin menanyakan hal yang sama pada Iqbal, menanyakan bagaimana hubungannya kini dengan Anita, tapi tidak berani. Hingga akhirnya kami sampai di depan gerbang rumahku, dan mau tidak mau aku harus turun dari motornya.

“Makasih banyak ya Bal,” ucapku sambil menyunggingkan senyum.

Iqbal mengangguk. “Salam buat Dion sama temen-temen yang lain ya Ren,” ucapnya kemudian.

Aku mengangguk. “Iya nanti aku salamin. Salam juga buat Anita ya,” timpalku pelan.

Iqbal yang semula hendak memutar motornya, ketika itu menatapku sambil mengernyit. Ia menepikan motornya di depan pagar, lalu berdiri dan berjalan menghampiriku.

“Ren, mengenai gosip yang dulu itu, itu semua bohong, aku sama Anita nggak pernah—“

Aku tertawa kecil. “Ya ampun Bal, aku juga nggak percaya kali. Masa iya kamu berani begituan di kelas. Nggak mungkinlah,” potongku langsung ketika itu sebelum Iqbal melanjutkan ucapannya.

“Ha? Begituan apa maksud kamu?” tanya Iqbal keheranan, yang juga membuatku ketika itu mengernyitkan alis, karena merasa ia tidak mengerti bahwa aku tengah mengungkit gosip bahwa ia dan Anita pernah melakukan hubungan seksual di kelas.

“Yaaaa, itu, gosip yang bilang kamu pernah berhubungan intim sama Anita di kelas,” jawabku akhirnya dengan nada pelan karena malu.

Iqbal melongo. “Emang pernah ada gosip kaya gitu dulu?” tanyanya seolah tidak tahu.

Aku mengangguk pelan. “Iya, sehabis kamu dikeluarin dari sekolah muncul gosip yang aneh-aneh gitu, aku sih nggak percaya, tapi memangnya kamu sendiri nggak tahu?” jelasku yang langsung dilanjut lagi dengan pertanyaan.

Iqbal menggeleng. Aku masih sangat ingat ketika itu wajahnya berubah memerah, dan ia berusaha membuang wajah dan sesekali menutup wajahnya dengan telapak tangan karena mungkin merasa wajahnya tiba-tiba memanas karena malu.

“Lah, terus kalau nggak tahu, maksudmu gosip tadi itu, gosip yang mana dong?” tanyaku kemudian.

Iqbal menggaruk kepalanya pelan, yang aku yakin sekali ketika itu sebenarnya tidak terasa gatal. “Maksudku tadi, gosip kalau aku sama Anita pacaran. Itu bohong. Anita minta dikenalin ke temenku, Reihan, jadi ya, aku dulu sering ajak dia nongkrong-nongkrong juga bareng temen-temen,” jawab Iqbal.

Aku terdiam sesaat, merasa selama ini menjadi orang bodoh, berbohong, mengaku-ngaku pacaran dengan Dion, hanya karena tidak mau kalah dari Iqbal yang aku pikir sudah jadian dengan Anita. Sampai akhirnya aku menyadari kebodohanku, aku terkekeh pelan, membuat Iqbal ketika itu kebingungan.

“Oh, gitu ya, aku pikir kalian beneran pacaran,” timpalku sambil setengah tertawa.

Iqbal menggelengkan kepalanya lagi dengan cepat. “No!” ucapnya. “Duh, aku jadi malu begitu tahu ada gosip kayak begitu,” lanjutnya lagi

“Haha, anak-anak juga udah pada lupa kali Bal. Ya udah deh, kalau gitu sampai jumpa lagi ya Bal, aku masuk dulu ke dalam,” ujarku sambil melambaikan tangan.

Iqbal mengangguk. “Iya, daaah,” jawabnya sambil membalas lambaianku.

Ketika Iqbal kembali meraih motornya dan memasang posisi di atasnya, sebelum sempat ia menyalakan motornya kembali, aku berbalik dan kemudian mengaku sesuatu. “Aku juga sebetulnya nggak pernah jadian sama Dion. Gosip itu, bohong juga,” ucapku sedikit kencang namun terbata.
Iqbal terdiam sebentar menatapku.

“Kalau gitu, aku boleh minta nomor hapemu?” tanyanya tiba-tiba, masih dengan ekspresinya yang terlihat setengah spaced out. Sampai sekarang, jika aku mengingat kejadian ini, aku tidak bisa berhenti tersenyum. Ekspresi wajah Iqbal ketika itu lucu sekali.

Akhirnya setelah itu, aku bersedia bertukar kontak ponsel dengan Iqbal. Dan mulai saat itu pulalah hubunganku dengan tamu di rumah tetangga ini perlahan membaik dan sesuatu yang selama ini kutunggu-tunggu pun akhirnya dimulai. []

Since Feeling Is FirstWhere stories live. Discover now