Kenangan 9: Dipecat

23 0 0
                                    

Aku masih ingat hari Minggu itu, ketika aku tengah bermain di rumah Jayden. Jayden tiba-tiba saja menghampiriku yang ketika itu tengah menggores sketsa wajah di gazebo taman rumahnya. Dia menghampiriku sambil memasang wajah yang serius.

“Gawat Ren, gawat!” ucap Jayden kemudian.
Aku mengernyit sambil menoleh padanya.

“Kenapa?” tanyaku bingung.

“Si Iqbal,” ucapnya lagi sambil mengambil tempat di sebelahku, duduk. “Si Iqbal dikeluarin dari sekolah. Katanya ketahuan koordinir anak-anak buat nyerang SMP XXX,” lanjut Jayden lagi.

Aku dengan refleks terhenyak. “Serius Jay?” tanyaku lagi memastikan. Aku tidak percaya.

Jayden mengangguk. “Iya, ini aku dapet sms dari si Gabby,” jawab Jayden lagi. “katanya si Iqbal juga terbukti selama ini yang jadi otak tawuran SMP kita,” imbuhnya.

Aku mendengus berat. Sampai sekarang aku masih tidak mengerti dengan keadaan seperti ini, di mana anak sekolah doyan bunuh-bunuhan, doyan serang-serangan, doyan tawuran. Terlebih ketika itu, kami masih anak SMP. Terlebih lagi Iqbal, anak yang sebenarnya baik, pintar, berasal dari keluarga yang terhormat, bisa-bisanya bertingkah laku seperti ini.

Hari Minggu itu jadi hari paling suram bagiku ketika itu. Aku sedih, bukan karena tidak akan lagi melihat wajah Iqbal di sekolah, melainkan sedih karena menyayangkan Iqbal yang sudah memilih pergaulan yang salah. Perasaanku campur aduk tidak karuan, hatiku tidak tenang. Ingin menangis, tapi aku tidak tahu harus menangisi apa, ingin marah pun bingung harus marah pada siapa. Yang bisa kulakukan ketika itu akhirnya hanya menaruh kepalaku di pundak Jayden, bersandar, tanpa sedikit pun mengeluarkan kata-kata. Dan Jayden pun, yang biasanya selalu bawel kalau aku bertingkah seperti ini, seolah mengerti, ia membiarkanku bertindak seperti itu.

***

Aku diam di rumah Jayden sampai hampir magrib. Berita tentang dipecatnya Iqbal dari sekolah ternyata sudah menyebar di seantero sekolah. Jayden menerima banyak SMS dari teman-teman mengenai berita itu. Disebut pula katanya, bahwa Iqbal ternyata yang memegang kuasa sekolahku pada setiap penyerangan. Mendengar hal itu, rasanya aku bergidik sendiri. Bergidik karena seram, juga karena geli.

Gosip-gosip parah pun semakin bermunculan setelah insiden pemecatan itu. Ada yang bilang, bahwa Iqbal sebenarnya adalah anak tiri di keluarganya, yang mana aku tahu betul itu hoax, karena aku sendiri sudah pernah bertemu semua anggota keluarganya, dan Iqbal memiliki wajah dan perawakan yang mirip dengan anggota keluarganya yang lain.

Gosip lain yang lebih keji adalah, dikabarkan bahwa Iqbal pernah melakukan hubungan seksual dengan Anita di bekas kelas sembilan D yang ketika itu tengah direnovasi. Dan aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalaku. Entah itu benar atau tidak, tapi rasanya itu konyol sekali. Maksudku, kita semua ketika itu masih anak SMP, punya keberanian untuk melakukan hal tersebut di sekolah sudah barang tentu tidak mungkin. Tapi toh, sampai sekarang pun, tidak ada yang berhasil membuktikan bahwa semua gosip itu benar atau salah. Gosip itu tetap menjadi gosip yang tidak diketahui kebenarannya. Namun bagiku sendiri, aku lebih memilih untuk percaya pada Iqbal, jujurnya, sampai sekarang.

Lambat aku tahu kemudian, setelah bertemu lagi dengan keluarganya beberapa tahun lalu, alasan mengapa Iqbal bertingkah seperti itu, aku bisa mengerti. Semua berawal dari keluarganya, dan ada sedikit penyesalan dalam diriku sampai sekarang, karena dulu aku sama sekali tidak pernah berusaha mendekati Iqbal dengan cara memahami dirinya terlebih dahulu. Aku terlalu egois, ingin menyukai Iqbal tanpa mau tahu keadaannya, tanpa mau tahu apa yang sebenarnya pernah ia alami sebelumnya. Cerita tentang hal ini, akan kutulis di bab berikutnya. []

Since Feeling Is FirstWhere stories live. Discover now