Kenangan 4: Privat

36 0 0
                                    

Masa sekolah adalah masa yang penuh gosip. Bukan hanya gosip si A yang suka sama B, atau si C yang baru saja jadian sama D, atau E yang selingkuh dan putus sama si F. Kadang gosipnya pun menceritakan tentang guru.

Pernah ada satu kejadian, seorang guru penjas, bernama pak Dadang, yang juga seorang pembina ekstrakurikuler basket dikabarkan dirupai oleh sesosok makhluk halus. Kejadiannya adalah ketika anak-anak basket baru saja selesai latihan sampai magrib di lapangan, dan disuruh untuk segera pulang oleh si ‘pak Dadan’ ini yang tiba-tiba saja muncul dari balik kelas. Dulu di sekolahku memang ada peraturan yang melarang aktivitas pembelajaran dan ekstrakurikuler lewat dari jam enam sore.
Keesokan harinya, ketika mata pelajaran olah raga di satu kelas akan berlangsung, anak satu kelas itu mendapat kabar bahwa pak Dadan sudah tiga hari dirawat karena demam berdarah. Alhasil salah satu anak basket yang juga merupakan siswa di kelas itu karena rasa bingungnya, langsung menceritakan kejadian kemarin sore di lapangan pada teman-teman sekelasnya. Dan setelah itu, akhirnya gosip itu menyebar satu sekolah.

Sekolah SMPku memang besar, tiap jenjang kelas punya sembilan kelas dari A sampai I. Bangunannya pun beberapa memang ada yang memang sudah dibangun sejak zaman Belanda dulu. Dan bangunan-bangunan tua itu dirobohkan untuk diganti dengan bangunan baru. Di pojok lapangan basket pun, ada sebuah pohon beringin tua yang ukurannya sangat besar sekali. Pohon paling besar yang tumbuh di sekolahku ketika itu. Akarnya pun sudah banyak yang menjuntai jatuh dari atas. Namun ketika aku duduk di kelas sembilan, pohon itu tumbang karena angin besar, dan akhirnya ditebang.

Gosip lain berasal dari pak Tri, guru matematikaku ketika kelas tujuh dulu. Ada gosip yang menyebutkan, katanya pak Tri ini jelmaan siluman kodok. Sangat tidak masuk akal sekali. Tapi bodohnya ketika itu aku percaya.

“Coba lihat bentuk bibirnya pak Tri deh, mirip kan sama mulut kodok?” ucap seorang teman yang pernah menyebarkan gosip itu. Memang sih kalau terus diperhatikan jadinya mirip.

“Pak Tri itu takut sama yang namanya garam. Kalau kamu naburin garam di meja atau kursi guru, atau di depan pintu kelas, dia pasti gak bakal jadi ngajar,” ada juga yang pernah bilang seperti ini.

“Bu Tri itu kalau masak katanya nggak pernah pakai garam loh,” ucap temanku yang juga ikut-ikutan menyebarkan gosip yang sumbernya tidak jelas dari mana. Bu Tri adalah istri pak Tri yang membuka kantin di sekolah. Rumah pak Tri letaknya tepat di sebelah sekolah, dan tersambung dengan area dalam sekolah.

Aku tidak tahu dari mana awal gosip ini menyebar, namun sepertinya gosip ini sudah lama diketahui anak-anak sekolah dari dulu, bahkan sebelum aku sempat masuk di SMP itu. Contohnya saja, kakakku yang umurnya berselang tiga tahun denganku saja, sebagai alumni, dia tahu gosip tentang pak Tri ini.
Selama ini aku tidak pernah mudah begitu saja percaya pada gosip. Namun untuk gosip pak Tri ini ada pengecualian. Lambat laun aku mulai termakan gosip tersebut, karena aku dan teman-teman sekelas pernah membuktikannya secara langsung. Salah satu temanku ada yang tidak suka dengan pelajaran pak Tri, karena pak Tri adalah salah satu guru killer di sekolahku. Dia akhirnya menabur garam di atas meja dan kursi guru, juga di depan pintu kelas sebelum jam pelajaran di mulai. Dan apa yang terjadi? Selama tiga puluh menit setelah bel berbunyi, pak Tri tidak kunjung datang, sampai akhirnya kami dapat berita dari guru lain bahwa pak Tri berhalangan masuk. Akhirnya setelah itu mau tidak mau akhirnya kami sekelas percaya bahwa pak Tri itu adalah jelmaan siluman kodok.
Apakah sekarang aku masih percaya? Tentu tidak. Karena bisa saja dulu hal itu terjadi karena kebetulan. Misal contohnya, bisa saja pak Tri ketika itu sakit, atau tengah ada urusan di tempat lain. Yang jelas, sekarang aku sudah tidak lagi percaya hal-hal yang tidak masuk akal seperti halnya gosip tersebut.

Omong-omong soal pak Tri, Iqbal sebenarnya punya pengalaman buruk dengan guru itu. Dia pernah disuruh mengerjakan soal ke depan, ketika itu soal yang harus dikerjakan adalah soal persamaan aljabar. Dia tidak bisa mengerjakannya, dan jadi bulan-bulan kemarahan pak Tri di depan kelas.
Bagiku sendiri, persamaan aljabar dulu adalah sesuatu yang asyik untuk dipecahkan. Maka dari itu aku selalu mendapat nilai sempurna setiap pelajaran pak Tri.

Namun karena Iqbal sering sekali dimarahi pak Tri, akhirnya aku sendiri, sebagai teman sebangku terkena omelannya juga. “Rena! Kamu kan sebangku sama Iqbal, mestinya kamu ajari dia dong apa yang dia nggak bisa!”

Ketika itu aku hanya mengangguk. Iqbal sendiri akhirnya merasa tidak enak padaku dan meminta maaf.

“Bukan masalah kok,” ucapku ketika itu padanya. “Aku mau saja sih ngajarin kamu, kalau kamunya juga mau itu pun,” lanjutku akhirnya menawarkan bantuan.

“Serius?” tanyanya lagi dibuat-buat, seolah ia tertarik. Aku tahu ia memang bukan anak yang rajin di kelas, ia lebih senang bermain dengan teman-temannya di luar sana dibanding mengerjakan urusan sekolah. Tapi aku juga merasa bahwa setidaknya selama aku berteman dengan Iqbal, aku harus memberikan kontribusi baik padanya.

“Iya, tiap minggu ya, nanti aku ke rumahmu, kita belajar bareng,” ucapku langsung menentukan jadwal dan tempat.

“Eh jangan di rumahku deh,” ucapnya kemudian.

“Terus di mana?” tanyaku lagi. “Kalau di rumahku nggak bisa, lagi ada saudaraku datang dari Bandung,” kilahku berbohong. Aku tidak ingin membuat janji di rumahku, karena dengan begitu Iqbal bisa dengan mudah membatalkan janji. “Pilihannya di rumahmu, atau di sekolah?” tanyaku lagi akhirnya memberinya tawaran. Sekolahku memang buka pada hari minggu, biasanya digunakan anak-anak untuk kegiatan ekstrakurikuler.

“Em, ya sudah. Di rumahku saja deh,” jawab Iqbal akhirnya setelah berpikir. “Tapi jangan pagi-pagi banget, soalnya kalau hari minggu aku susah bangun pagi.”

Aku mengangguk mengerti. “Nanti aku telepon ya, buat atur jam dan minta alamat rumahmu,” ucapku lagi.

Iqbal mengangguk. Wajahnya tidak terlihat begitu senang.

***

Aku disambut oleh seorang wanita paruh baya berkerudung salem ketika aku sampai di rumah Iqbal. Rumah Iqbal besar, dua kali lipat lebih luas dari rumahku.

“Rena ya?” tanya wanita itu sambil tersenyum.
Aku membalas senyumnya dan mengangguk seraya menjawab, “Iya tante.”

“Yuk masuk dulu, mau minum apa?” tanyanya setelah mempersilakanku duduk di ruang tamu.

“Makasih Tante, jangan repot-repot,” jawabku sopan. Dulu memang aku sangat hipokritis, menolak tawaran orang padahal diriku sendiri sebenarnya sangat haus.

“Jus jeruk mau?” tawar wanita itu lagi.
Aku mengangguk. “Boleh Tante, kalau nggak ngerepotin,” jawabku.

Wanita itu tersenyum. “Nggak dong,” ucapnya sambil lalu pergi dari ruang tamu dan memanggil Iqbal untuk segera turun dari kamarnya di lantai dua.

Aku memutar pandanganku di rumah Iqbal yang luas ini. Mataku jatuh pada bingkai foto keluarga yang dipajang di dinding ruang tamu. Ada Iqbal dan empat orang lainnya di foto itu, yang aku tebak merupakan anggota keluarganya. Di foto tersebut Iqbal anak paling kecil, karena setelah berkenalan cukup dekat dengan keluarganya, aku tahu bahwa Iqbal memang anak bungsu.

“Tunggu ya Ren, aku cuci muka dulu,” ucap Iqbal ketika ia turun dari kamarnya dan menghampiriku sebentar.

Aku mengangguk. Dari apa yang kulihat, sepertinya ketika itu Iqbal terlihat baru bangun tidur. Rambutnya sedikit acak-acakan, ia memakai kaos longgar tanpa lengan dan celana pendek.

Sekitar sepuluh menit aku menunggu, Iqbal muncul kembali dengan wajah yang lebih segar dan baju yang lebih rapi bersama dengan wanita yang tadi menawariku minum. Wanita yang kemudian kuketahui mamanya Iqbal itu membawakan dua gelas jus jeruk dan beberapa stoples kue kering.
“Belajar yang rajin ya,” ucap mamanya Iqbal sebelum kemudian menghilang lagi dari ruang tamu.

Iqbal membuka bukunya, sambil lalu kemudian berkata, “yuk mulai.”

Selama hampir dua jam ketika itu aku banyak menjelaskan penghitungan bilangan plus dan minus, sebagai dasar penghitungan persamaan pada aljabar. Iqbal sendiri, sebenarnya adalah anak yang pintar, terbukti ketika aku memberi penjelasan dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti, ia cepat tanggap dan mudah memahami.

Aku masih sering belajar bersama dengan Iqbal sampai kami duduk di SMA dulu, meskipun kami berdua tidak bersekolah di SMA yang sama. Tentu kegiatan belajar kami tidak berlangsung secara terus menerus sejak SMP, karena pada beberapa tahun kami di SMP, hubunganku dengan Iqbal pernah sempat renggang.

Hal yang membuat aku lebih banyak mengenal Iqbal dan Iqbal lebih banyak mengenalku pun sebenarnya adalah kegiatan belajar bersama ini. Kegiatan belajar yang biasanya berlangsung dua jam, akan molor sampai lima jam karena kami akhirnya banyak mengobrol dan bercanda. Dan karena aku sering mengunjungi rumah Iqbal, aku pun mulai mengenal beberapa teman Iqbal di luar sekolah, yang jujur saja, kurang aku sukai.

Selain itu pula, aku menjadi lebih dekat dengan keluarga Iqbal. Aku kenal dengan dua kakaknya beserta kakak iparnya, juga dengan mama dan papanya.

Nilai Iqbal di sekolah setelah itu pun, sudah jauh membaik, tidak hanya pada mata pelajaran matematika, bahkan mata pelajaran lain pun. Lama kelamaan Iqbal tidak lagi sungkan meminta bantuanku jika ada hal-hal yang ia tidak mengerti pada setiap pelajaran sekolah. Aku pun, sebagai murid yang tidak tahu semua hal, jadi lebih banyak bertanya pada guru agar aku bisa menjelaskan lebih banyak pula jika ada sesuatu yang Iqbal tidak mengerti.

Berhubungan dengan Iqbal ketika itu, lebih terasa seperti simbiosis mutualisme. Ia mendapatkan sesuatu yang berguna dariku, begitu pula aku, mendapatkan sesuatu yang berguna pula karena bergaul dengannya.

Hubungan pertemanan seperti ini, jujur, adalah hubungan pertemanan yang sampai sekarang aku idamkan. Andai saja aku tahu di mana Iqbal selama ini berada, aku sedikit yakin bahwa kami bisa membangun lagi hubungan kami seperti dulu, sekalipun sudah banyak drama yang terjadi sebelumnya di antara kami, aku yakin Iqbal tidak akan membatasi dirinya dariku.

Iqbal, di mana sebenarnya kamu berada? []

Since Feeling Is FirstWhere stories live. Discover now