Kenangan 5: Kubu

33 1 0
                                    

Ketika di kelas tujuh dulu, kelasku pernah terpecah menjadi tiga kubu. Dan semua itu karena aku.
Wandi yang sudah mulai dijauhi oleh teman-teman satu tongkrongannya, mulai bergaul dfengan Ardi, anak jahil lain dari kelasku. Selama ini aku tidak pernah punya masalah dengan si Ardi itu, namun semenjak ia bergaul dengan Wandi, ia mulai bertingkah padaku.

Hal pertama yang aku alami karena kejahilan dua orang itu adalah ketika aku hendak duduk di bangkuku, Ardi yang bersekongkol dengan Wandi tiba-tiba saja menarik bangkuku dari belakang, dan alhasil aku terjerembab jatuh ke belakang. Kedua lenganku ketika itu baret karena aku berusaha memegang pinggiran meja, namun tidak berhasil, dan malah tergesek dengan keras kayunya.
Kejadian lain adalah, si Ardi mulai terang-terang kembali memperbudakku seperti halnya yang dilakukan oleh Wandi dulu. Hampir setiap hari ketika orang-orang tidak memperhatikanku, dia selalu memaksaku untuk menuliskan catatan pelajarannya. Malah pernah suatu kali, ketika aku bekerja satu kelompok dengannya, dan duduk bersebelahan dengannya, ia memukul-mukulkan lidi kecil ke paha dan sikutku.

Aku sendiri sampai sekarang masih tidak mengerti mengapa bisa aku selalu menjadi korban perundungan teman-temanku ketika di kelas tujuh dulu. Aku tahu, aku bukan gadis cantik dan populer, tapi rasanya jika alasannya hanya karena aku gadis jelek, itu masihlah kurang untuk menjadikanku objek perundungan.

Karena lama kelamaan Wandi dan Ardi mulai kembali terang-terang merundungku, banyak anak yang melihat dan mulai bertindak. Dari mulai teman-teman terdekatku, Iqbal, Roman, dan Dika mulai membenci Wandi dan mulai menjauhinya.

Puncak pembulian Wandi dan Ardi padaku adalah ketika tiba-tiba saja kepalaku dipukul oleh kayu dari belakang sampai aku lemas dan terjatuh. Iqbal dan teman-temanku yang lain hendak menghajar Wandi dan Ardi jika saja ketika itu mereka tidak sampai dilerai oleh anak lain. Kejadian tersebut terjadi ketika jam kosong. Mungkin karena setelah beberapa menit kemudian aku mengatakan bahwa aku tidak apa-apa, tidak ada satu orang pun yang melapor pada guru ketika itu.

Hari-hari berikutnya, kelas tiba-tiba saja menjadi mengkubu. Kubu paling besar adalah kubu yang memihakku, dan merasa bahwa apa yang selama ini Wandi lakukan padaku sudah sangat berlebihan. Aku mulai lebih membuka hubungan dengan anak-anak lain di kelas, laki-laki dan perempuan. Meskipun aku tidak begitu suka ketika orang menjadi temanku hanya karena alasan kasihan, namun ketika itu, aku merasa bahwa aku butuh menghargai sikap peduli mereka.

Kubu lain adalah kubu Wandi dan Ardi. Kubu ini kubu paling kecil di kelas, anggotanya hampir semua laki-laki, hanya ada dua orang perempuan, yang tidak lain adalah gadis-gadis nakal yang sering ikut bolos dengan Wandi dan kawan-kawannya. Setelah kejadian pemukulan kayu terhadapku itu, mereka tidak lagi berani menggangguku. Mungkin karena mereka tahu, bahwa anak-anak kelas banyak sekali yang memihakku. Namun tetap saja, aku masih bisa merasakan tatapan benci dan mengejek yang mereka arahkan padaku ketika itu.

Kubu selanjutnya adalah kubu mereka yang apatis. Beberapa di antara mereka tidak pernah akrab denganku, sekalipun kami pernah beberapa kali satu kelas lagi di kelas delapan dan sembilan.
Iqbal sendiri, entah bagaimana aku membahasakannya, ia adalah orang yang ketika itu sangat peduli padaku, namun pada akhirnya, setelah kami berpisah di kelas delapan dan sembilan, hubungan kami menjadi sangat tidak akrab, dan aku merasakan sebuah perubahan besar pada dirinya. Namun cerita tentang perubahan sikap Iqbal yang drastis tersebut akan kuceritakan pada bab-bab selanjutnya.

Ketika kepalaku dipukul dengan keras di bagian kepala belakangku, yang aku rasakan ketika itu adalah rasa pusing dan sakit tidak terkira. Awalnya aku mengira bahwa aku akan jatuh pingsan tepat ketika badanku terasa lemas dan jatuh ke lantai. Namun ternyata ketika itu kesadaranku masih penuh, dan hal terburuknya, aku bisa merasakan setiap rasa pusing dan sakitnya di kepalaku.

Yang aku ingat ketika itu, Iqbal dan Putra membantuku berdiri dan memapahku menuju bangku, sebelum akhirnya mereka mulai mendatangi Ardi dan Wandi dan berniat memukul dua anak itu. Aku bukan tokoh protagonis yang tidak ingin melihat orang berkelahi. Jika ketika itu pada akhirnya Iqbal dan Putra berhasil memukul Wandi dan Ardi, aku akan sangat senang karena hal itu. Aku ingin membalas dua orang tersebut, namun jika hanya mengandalkan kekuatanku, aku tidak yakin akan bisa.

Pembulian yang terjadi di kelasku memang sangat parah, sampai pada akhirnya, teman satu SDku dulu yang juga satu kelas denganku ketika itu, Fajar, lebih memilih untuk pindah sekolah daripada ia harus menjadi sasaran perundungan Wandi dan kawan-kawannya setiap hari.

Iqbal pun, setelah kejadian itu, lebih sering menghabiskan waktunya denganku. Entah mungkin karena ia merasa khawatir, atau karena alasan lain, aku tidak tahu. Di titik ini, aku mulai merasa bahwa rasa yang pernah aku punya pada Iqbal dulu bukanlah hanya sebatas  rasa suka pada teman. Aku mulai menyadari, bahwa ada sesuatu yang lebih dari perasaanku pada Iqbal. Namun jika kamu menanti cerita romantisku dengan Iqbal di masa-masa ini, kamu tidak akan pernah mendapatkannya. Ketika itu kami masih kelas tujuh SMP, dan hal-hal percintaan merupakan perkara yang cukup memalukan untuk dibahas bagi anak tahun 2000an ketika itu.

Setelah insiden pengkubuan kelas itu, seperti yang sudah kubilang sebelumnya, aku mulai membuka sayap sosialku dengan anak-anak kelas. Ketika aku semakin dekat dengan Iqbal, beberapa teman sekelasku yang dulu merupakan orang asing bagiku, mulai membisikiku gosip-gosip yang kurang menyenangkan tentang Iqbal, dan memintaku untuk berhati-hati dengan teman sebangkuku itu. []

Since Feeling Is FirstWhere stories live. Discover now