Kenangan 6: Gosip 1

26 1 0
                                    

Karena hampir setiap minggu aku pergi ke rumah Iqbal untuk belajar bersama, seperti yang pernah kukatakan pada bab-bab sebelumnya, aku mulai mengenal teman-teman sepergaulan Iqbal di daerah rumahnya yang jujur saja tidak aku sukai. Memang betul, orang tidak boleh menilai seseorang hanya dari tampilan luarnya saja, hanya saja sedari awal aku memang mempunyai firasat tidak enak terhadap teman-teman Iqbal. Mereka terlalu berandal untuk bisa sedikit saja mendapatkan nilai baik dari pengamatanku.

Sampailah pada akhirnya seorang teman sekelasku bernama Ade, yang tinggal satu daerah dengan Iqbal dan berasal dari SD yang sama dengannya menghampiriku, dan memberi tahuku sesuatu yang cukup mencengangkan.

“Ren, kamu hati-hati saja ya kalau deket sama si Iqbal,” ucapnya ketika itu, yang hanya aku balas dengan kernyitan kening. “Si Iqbal itu gaulnya di rumah sama anak-anak nggak bener, kaya geng motor begitu,” lanjutnya lagi.

Ketika Ade mulai mengatakan hal tersebut, aku tiba-tiba saja teringat pada beberapa teman Iqbal yang pernah kutemui sebelumnya. Dan ya, seperti yang kubilang, mereka berandal.

“Jangan gosip ah De,” balasku kemudian berusaha untuk menepis bayangan buruk Iqbal dalam benakku. “Keluarganya Iqbal keluarga baik-baik loh, bapaknya saja sudah Haji,” imbuhku.

Ade mengangguk menyetujui ujaranku tentang keluarga Iqbal. “Ya, tapi orang dari keluarga baik-baik tidak menjamin bisa punya tingkah yang baik juga,” timpal Ade.

Aku mulai tidak menyukai obrolan ini ketika itu. Rasanya kesal ketika mendengar orang lain menjelek-jelekkan teman baikmu, terlebih dalam kasus ketika itu, aku menyukai Iqbal lebih dari sekedar teman.

“Tadi malam, gengnya si Iqbal itu ketangkep lagi mabok-mabokan di basecamp mereka. Dan si Iqbal juga lagi ikut ngumpul di sana,” ucap Ade lagi yang cukup membuatku sedikit terhenyak. “Dan semaleman mereka disidang sama warga.”

Aku menelan ludahku. Sebelum-sebelumnya memang aku sudah sering mendengar gosip bahwa Iqbal dekat dengan anak berandalan, namun aku tidak sampai menyangka bahwa ia juga salah satu anggota dari geng berandalan itu, terlebih ketika mendengar bahwa ia tertangkap sedang berkumpul dengan teman-temannya yang sedang mabuk-mabukan, aku semakin merasakan sesuatu yang tidak nyaman di dadaku.

Aku berusaha untuk percaya, bahwa apa yang diucapkan Ade tidak benar. Ketika itu aku berniat mengunjungi rumah Iqbal yang hari ini absen sekolah. Hanya untuk memastikan bahwa ia tidak apa-apa dan menanyakan kebenarannya langsung pada orangnya.

“Aku tahu sih kamu deket banget sama si Iqbal, aku nggak bakal nyuruh kamu buat jauhin dia kok. Aku juga tahu kalau di sekolah, si Iqbal itu orangnya nggak macem-macem, malah cenderung pendiem. Cuma ya tetep, kamu hati-hati saja ya Ren,” ucap Ade lagi sambil menepuk bahuku, dan lalu berdiri meninggalkanku yang ketika itu tengah duduk di bangku tembok yang berundak, tribun di lapangan basket.

Singkat kata ketika itu, sorenya sepulang sekolah, aku nekat mendatangi rumah Iqbal. Setelah memencet bel untuk kedua kalinya, Iqbal muncul dari balik pintu dengan wajah yang sangat kusut, mata merah, dan baju acak-acakan, seolah baru saja bangun tidur.

“Eh?” ucapnya sedikit terkejut ketika melihatku tengah berdiri di depan pintu. “Masuk Ren, duduk,” ucapnya lagi mempersilakanku.

Aku mengangguk sambil melangkahkan kakiku melewati pintu.

“Ada perlu apa Ren, ke sini?” tanya Iqbal kemudian setelah kami menempatkan diri kami masing-masing di atas sofa ruang tamu.

Aku membuka ranselku dan mengeluarkan beberapa buah buku catatan. “Oh, ini. Cuma mau ngasih catatan hari ini, minggu depan kan sudah mulai ulangan tengah semester,” jawabku sambil menyodorkan buku-buku bersampul cokelat itu.

Iqbal menerimanya dengan ekspresi wajah yang sedikit bingung. “Oh, makasih ya,” ucapnya kemudian.

“Sama-sama.” Aku mengangguk pelan.
“Kenapa hari ini nggak masuk Bal?” tanyaku lagi kemudian memberanikan diri.

Iqbal menoleh sekilas. “Oh, aku ketiduran. Orang rumah lagi nggak ada sejak kemarin, nggak ada yang bangunin,” jawabnya ngasal.

Aku mengangguk, sambil sedikit memperhatikan wajahnya. “Kamu habis begadang emangnya?” tanyaku lagi.

Iqbal mendelik sebentar, menatapku sambil memasang kernyitan di keningnya, sebelum kemudian mengangguk pelan.

“Aku denger dari anak-anak, katanya... uhm, kamu semalem, ketahuan lagi pesta miras ya?” tanyaku lagi dengan nada yang sangat berhati-hati.

Iqbal menatapku sebentar. Awalnya aku menyangka bahwa ia akan tersinggung dengan ucapanku barusan, namun faktanya ketika itu yang aku dapat adalah sebuah anggukan pasti dari Iqbal. Ia tidak terlihat ragu untuk menjawab, tidak pula terkejut ketika mendengar pertanyaanku. Sedangkan aku ketika itu, merasa tidak berdaya mengetahui gosip buruk tentang Iqbal ternyata bukan hanya sekedar gosip.

“Alasan kamu begadang karena kamu habis disidang semaleman sama warga?” tanyaku lagi.

Iqbal mengangguk lagi. “Iya. Tapi mereka ngelepasin aku, karena aku cuma coba minum segelas doang, ga sampe mabuk,” jawabnya lagi santai.

Aku melongo mendengar Iqbal berkata seolah hal tersebut sudah merupakan hal lumrah baginya.
“K-kamu sering minum Bal?” tanyaku lagi sedikit terbata-bata karena tidak menyangka bahwa Iqbal yang selama ini aku kenal anak yang pendiam ternyata pada kenyataannya seperti ini.

Iqbal mengedikkan bahunya. “Nggak sering sih, tapi ya sudah beberapa kali,” jawabnya.

“Kamu masih kelas tujuh SMP loh!” seruku tidak percaya.

Dan ketika itu aku melihat Iqbal mengernyitkan keningnya. “Terus masalahmu apa?” tanyanya padaku dengan nada yang tajam. “Bukan urusanmu juga aku suka minum atau nggak.”

Aku sedikit terhenyak mendengar ucapannya. Itu adalah kali pertama Iqbal berkata padaku dengan nada yang sangat tidak bersahabat.

“Lebih baik kamu jauhin temen-temen kamu Bal, mereka bawa pengaruh buruk buat kamu,” ucapku lagi ketika itu memberanikan diri. Ketika itu aku merasa sangat tidak terima Iqbal dibawa-bawa rusak oleh teman-temannya. Bahkan sampai sekarang pun, aku masih tidak terima, karena aku tahu pada dasarnya Iqbal adalah anak yang baik dan pintar, rasanya sayang sekali jika anak yang memiliki kualitas baik seperti dirinya harus terjerumus pada hal-hal yang tidak baik.

Iqbal mendengus. “Emangnya kamu siapa sih? Sok ngatur-ngatur hidupku. Aku punya hak buat berteman dengan siapa pun yang aku mau,” ucapnya sambil kemudian melempar buku-bukuku ke arah pintu. “Pulang sana! Nggak ada yang minta dipinjemin catatan juga,” ucapnya lagi sambil berdiri.

Jujur, jika mengingat hal ini, kadang sampai sekarang pun aku masih merasa sedih. Entah aku yang merasa terlalu percaya diri, merasa menjadi orang yang paling dekat dengan Iqbal dan merasa ia akan selalu mendengar ucapanku, sehingga reaksi yang Iqbal tunjukkan ketika itu cukup membuatku terkejut dan kecewa.

Aku sedikit gemetar ketika itu. Sambil menekan rasa takut yang tiba-tiba saja muncul aku memberanikan diri untuk berdiri dan mengambil buku catatanku yang sudah dilempar Iqbal tadi. Aku tidak banyak bicara, yang lebih karena aku tengah ketakutan dan segera berjalan menuju pintu, memakai sepatuku dan pergi secepat yang aku bisa, tanpa izin pamit sebelumnya. Aku benar-benar takut. Pertama kali aku melihat seseorang marah dalam hidupku adalah ketika itu.

Sepanjang perjalanan pulang menuju rumah, aku hanya bisa terdiam, menahan tangis agar tidak sampai jatuh dari mataku. Rasanya entah kenapa sakit sekali. Penyesalan mulai muncul dalam benakku ketika itu, andai saja aku tidak mempermasalahkan hal itu pada Iqbal, andai saja aku tidak pernah sebangku dengannya, andai saja aku tidak pernah masuk SMP yang sama dengannya. Semua kesialan ini sudah pasti tidak akan menimpaku. Andai saja... []

Since Feeling Is FirstWhere stories live. Discover now