Kenangan 16: Di Reuni

26 1 0
                                    

Reuni SMAku diselenggarakan ketika aku sudah kuliah semester 3. Aku akhirnya berhasil meraih mimpiku yang pernah aku bagi dengan Iqbal dulu, untuk masuk jurusan sastra Inggris di kampus pilihanku. Ketika itu aku sudah tidak lagi berpacaran dengan Dion. Kami hanya berpacaran selama dua tahun lebih, dan putus ketika kami sudah sama-sama kuliah semester pertama dulu.

Alasan putus kami? Bukan karena pertengkaran atau ada masalah. Tapi kami hanya berusaha berpikir realistis, bahwa masing-masing dari kami tidak menjamin tidak akan saling menyakiti jika kami harus menjalani hubungan jarak jauh. Aku yang ketika itu sudah pindah ke Depok karena kuliah, begitu pula dengan Dion yang harus pindah ke Malang karena alasan yang sama, akhirnya kami sepakat untuk berpisah.

Jika aku ditanya bagaimana sebuah hubungan yang dewasa itu? Mungkin sampai sekarang aku akan menjawab, “hubungan yang pernah aku jalani bersama dengan Dion.”

Dua tahun kami berpacaran dulu, kami belum pernah bertengkar sama sekali. Entah mengapa, mungkin karena masing-masing dari kami sudah saling mengerti dan mengenal dengan baik. Mungkin dalam beberapa hal baik aku dan Dion pernah merasa cemburu jika masing-masing dari kami dekat dengan orang lain, namun karena kami sudah saling percaya, perasaan cemburu itu seringnya pergi begitu saja. Terlebih lagi, kami berdua dulu memang saling terbuka. Jika masing-masing dari kami tidak menyukai sesuatu kami mengatakannya dan berusaha untuk menerima.

Beberapa teman kami banyak sekali yang mengatakan, “sayang nggak sih, sudah pacaran dua tahun adem ayem, eh malah putus cuma karena LDR.” Aku sendiri sadar, bahwa selama aku berpacaran dengan Dion dulu murni karena aku nyaman dan menyukai Dion, menyukai pria itu dan pribadinya, bukan mencintai jumlah tahun yang sudah kami lalui bersama. Karena jika kita tetap bersama dengan seseorang hanya karena sayang sudah menjalin hubungan cukup lama, apalah arti seseorang itu bagi kita kan? Dan lagi pula, aku dan Dion takut jikalau kami memaksakan hubungan ini, kami akan saling mengekang diri kami.

Aku hanya berpikir realistis, mungkin saja di tempat baru kami masing-masing, kami bertemu dengan orang yang bisa menjadi pengganti pasangan masing-masing di saat kami tidak bisa berada di samping satu sama lain. Dan perpisahan ini adalah jalan terbaik dari pada nantinya kami malah saling melukai.

Dan akhirnya sekarang? Karena kami berakhir dengan baik-baik kami masih berteman dengan baik pula, meskipun sedikit aneh.

Mengapa aneh? Selama dua-tiga tahun setelah kami putus, bisa dibilang kami masih akrab seperti dulu, seperti ketika kami berpacaran dulu, seperti kami berteman dulu. Dion masih sering memanggilku dengan panggilan “sayang”, “beb”, begitu pula aku. Namun masing-masing dari kami malah sudah saling curhat tentang crush baru yang kami temui di kampus masing-masing, dan lebih anehnya lagi kami malah saling menyemangati. Lebih aneh lagi, ketika Dion punya pacar baru, aku malah merasa sedikit cemburu. Dan Dion pun, entah kenapa selalu sedikit lebih ketus padaku ketika aku mulai berpacaran dengan orang lain. Keadaan di antara kami berdua dua-tiga tahun setelah kami putus itu rasanya benar-benar rumit. Di satu sisi kami masih merasa seperti sahabat yang selalu mendukung satu sama lain, namun di lain sisi ketika itu kami malah masih merasa punya hak atas diri masing-masing, dan merasa tidak rela jika kami dimiliki oleh orang lain.

Back to reuni.

Jadi di reuni itu aku akhirnya bertemu banyak teman-temanku yang sudah lama tidak aku temui. Beberapa sudah ada yang menikah, beberapa masih ada yang kuliah, dan beberapa lagi sudah ada yang kerja. Reuni itu sendiri membuatku sadar bahwa kekuatan waktu itu benar-benar hebat. Anak-anak yang dulunya badung ada yang masuk kampus favorit dan jadi mahasiswa yang aktif di organisasi dan berprestasi, anak-anak yang semula kecil dan pendek, berubah menjadi tinggi besar.

Di sana aku bertemu dengan Jay, Ratih dan Putra yang sampai sekarang masih berhubungan baik denganku, juga dengan Dion, yang wajahnya semakin dewasa dan makin tampan. Ketika itu aku dan Dion masih belum punya pasangan setelah kami putus dulu. Dan kami malah dipasang-pasangkan lagi oleh teman-teman kami.

Acara itu asyik, hanya saja menurutku ada yang kurang, karena aku tidak bisa bertemu dengan beberapa temanku yang dulu pernah aku kenal, termasuk salah satu di antaranya adalah Iqbal. Iqbal benar-benar menghilang seolah ditelan bumi. Bahkan anak-anak pun tidak ada yang tahu pasti di mana dirinya sekarang. Ada yang berkata katanya Iqbal sudah tunangan beberapa tahun lalu, ada yang berkata dia pindah ke luar Jawa, dan gosip-gosip lainnya yang belum tentu benar adanya.

Sekalipun aku dan dirinya sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, bahkan hubungannya denganku dulu lebih pendek dibanding hubunganku dengan Dion, namun bagiku sendiri, Iqbal masih memiliki tempat di hatiku. Pertama adalah karena Iqbal adalah cinta pertamaku, dan kedua adalah karena Iqballah yang dulu selalu ada di saat-saat terburukku, ia selalu membelaku ketika aku dibully, ketika aku stres dengan tugasku di SMA. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika dulu aku tidak pernah mengenalnya. Apakah aku masih akan menjadi aku yang sekarang? Atau menjadi aku yang lain?

Karena sedikit banyaknya dalam hidupku, Iqbal punya andil penting di dalamnya.

Jadi Iqbal, jika memang suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi, aku ingin mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya atas apa yang telah kamu lakukan dulu ketika bersamaku. Dan juga aku meminta maaf karena tidak bisa membalas kebaikanmu itu, dan malah meninggalkanmu di saat dirimu tengah membutuhkan dukungan, di saat-saat terburukmu. Aku tahu, aku rendah sekali. Maka dari itu aku menyesal.

Aku harap takdir masih mau mempertemukan kita. Amin.

Salam sayang untukmu dari London yang lagi dingin,

Reren.

Since Feeling Is FirstWhere stories live. Discover now