FLASHBACK;

8.2K 852 50
                                    


;






Kejadian yang menyeramkan di mana sang penyusup masuk ke dalam rumah di kediaman rumah keluarga kecil Kim. Suara peluru, pecahan kaca dan juga perabotan yang ada menjadi sebuah peringatan yang sangat besar bagi mereka semua bahwa mereka tengah di ambang kematian.

Sang ayah tercinta sudah berusaha untuk menahan sang penyusup keparat untuk menghabisi mereka dengan bawahannya dan segera melindungi istri tercinta beserta anak-anaknya. Ibu yang sangat lemah lembut menangis melihat sang suami berjuang sendirian, menahan penyusup tersebut yang bisa diklaim adalah musuh bebuyutan abadi.

Anak-anaknya yang masih kecil hanya berdiam diri, sedih melihat ibunya menangis tersedu-sedu tanpa henti. Ingin rasanya memberontak dan menenangkan ibunya, tapi apalah daya—mereka masihlah anak kecil.

Sang kakak memeluk adiknya dengan erat, getaran di tubuh mereka sangatlah terasa, sang Kakak berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan hati mereka berdua dan ibu mereka semakin histeris ketika suara pistol berkali-kali menghadang rumah mereka.

Jeritan orang di luar kamar sangatlah menyesakkan, bagi anak yang masih berumur enam tahun tak tahu apa-apa, hanya bisa membedakan mana yang baik dan buruk sesuai ajaran orang tuanya.

Lantas, Ibunya menangis sembari berdiri menghampiri mereka, memeluk mereka dengan kekuatan yang ada, sang ibu meyakini bahwa sang suami tercinta tak baik-baik saja di luar sana meski sang suami telah menyuruh anak buahnya segera. Namun nyatanya, Tuhan tak mengizinkan sebuah kemenangan untuk keluarga Kim. Semuanya musnah, sesuai keinginan yang mereka rencanakan.

"Baik-baik di sini, Sayang. Ibu akan keluar, jangan pernah keluar sebelum ibu kembali, oke?" Mereka berdua mengangguk mengiyakan meski hati tak mengatakan 'ya', karena sesungguhnya hati mereka berkata akan ada hal yang membuat kekacauan hati yang tak pernah berujung.

Sang ibu tercinta pergi begitu saja sembari mengunci pintu dengan cepat namun kunci tersebut di selodorkan pada celah bawah pintu agar anak-anaknya akan aman dan jika ingin keluar bisa menggunakan kunci tersebut tanpa bantuan orang lain.

Kakak Kim memeluk adik Kim dengan baik, mengelus punggungnya dengan kelembutan meski tangannya total bergetar hebat, adik Kim menoleh dengan derai air matanya yang mengucur hebat, sesenggukan dengan hidung mereka yang memerah.

Tak ayal, membuat sang Kakak Kim semakin memeluk adiknya erat, "Tenanglah Hyung di sini, jangan menangis." Ucapnya menenangkan.

"Tapi, ibu, Hyung ...," Kakak Kim menangkup wajahnya dengan erat, menghapus semua air matanya dengan lembut, ia juga sedih mengapa dunia begitu jahat yang membuat hati dan mentalnya terguncang.

Suara-suara peluru semakin terdengar dan juga teriakan para manusia di luar sana yang membuat siapa saja takut akan segalanya. "Kalau begitu, tunggu di sini, Hyung akan keluar, tapi Taetae jangan keluar, ya. Tunggu di sini, oke?"

"Hyunie Hyung mau kemana?"

"Mau melihat Ibu dan Ayah, jangan kemana-mana, ya?" Taehyung menggeleng menangis, ia takut sendirian, ia tak mau di tinggal, namun apa daya sang kakak yang kuat selalu menjaganya, menjadi tameng kehidupannya ingin pergi meninggalkannya dari kamar mereka berdua. Apalagi kini kakaknya memberikan iming-iming melihat ibu dan ayah.

"Ikut ...,"

"Jangan, Tae. Tunggu di sini, ya." Lantas sang kakak tercinta berusaha menggapai kunci di sela-sela pintu kamar mereka, dan ketika berhasil membawa kunci tersebut Kakak Kim membuka pintu tersebut secara perlahan, sang Kakak dengan terkejutnya—rumah mereka begitu berantakan, banyak manusia tumbang di sana yang dibanjiri oleh darah-darah yang menyeramkan. Tentu saja, Kakak Kim tak kuat untuk melihatnya.

Ia menutup pintu tersebut kembali, meninggalkan sang adik sendirian. Kini ia harus meyakinkan bahwa orang tuanya baik-baik saja dan tak terluka sedikitpun. Kaki kecilnya menghalau segala cara untuk mencari sang orang tua tercinta yang entah kenapa tak memperlihatkan batang hidungnya sedikitpun, apalagi—dengan keadaan rumahnya yang berantakan total.

Beberapa kali pun ia bersembunyi di bawah Gucci mewah, ia tak mau juga celaka dan menjadi sasaran mereka, ia ingin menjaga janji kepada ibunya untuk selamat dan menunggu, namun naas janji kedua yaitu menunggu ia ingkari untuk melihat keadaan mereka. Netra kecilnya mencari-cari di mana orang tuanya, dan begitu netranya berhasil menangkap tubuh Ayahnya ia begitu terkejut melihat Ayahnya—sosok pahlawan baginya—tumbang bersimbah darah dengan beberapa peluru yang ada.

"Ayah!" runtuh sudah persembunyiannya. Ia berlari sekencang mungkin untuk memeluk ayahnya sendiri yang penuh darah dan mata telah terpejam, napasnya pun sudah tak ada. Apalagi letak keberadaan jantung telah berdarah banyak, total membuat nalar Kakak Kim ambruk dan terpuruk melihat semuanya.

"Ayah ...," lirihnya berkata. Ia tak sanggup melihat ayahnya terbaring tak ada napas, nanti dirinya harus bilang apa kepada adik tercinta? Ayah mereka telah meninggal, dan membuat Kakak Kim harus kembali menangis untuk kesekian kalinya setelah nenek dan kakek mereka meninggal beberapa bulan yang lalu.

Kakak Kim memeluk Ayahnya dengan erat, menangis tersedu dengan tak kuatnya. Ia tak sanggup ditinggalkan oleh sang Ayah yang mana selalu memberikan kekuatan untuknya, apalagi dirinya adalah seorang Kakak bagi Adiknya tercinta.

Ketika mendongak, ia baru sadar bahwa ibunya juga tergeletak mengenaskan di sana, lebih parah dari sang Ayah. Darah pun bukan hanya banyak saja, namun sekujur tubuhnya diliputi oleh darah begitupun lantai marmer kekuasaan keluarga Kim. Perut ibunya yang hangat kini tertancap sudah oleh pisau tajam yang mencuat tinggi, netra sang ibupun telah menutup seperti Ayahnya. Ia lebih tak kuat, ia ditinggalkan oleh kedua orang tuanya.

Namun sosok anak kecil menghampiri ibunya dengan polosnya sembari memegang es krim berasa coklat dengan langkah santainya, sosok bocah kecil itu memegang pisau yang mencuat di perut sang Ibu, mencabutnya tanpa takut meski tangan kecilnya disimbahi darah segar.

"Ibu!" suara sang adik terdengar, menghampiri tiba-tiba pada anak kecil yang memegang es krim coklat, adiknya mendorong bocah lungguh tak tahu apa-apa dan menatap bengis penuh kebencian. Kakak Kim—Taehyun—menghampiri adiknya perlahan.

"Pergi, pembunuh! Pergi!" adiknya berteriak. Begitu marah dan benci, bocah tersebut mengerung bingung karena mau bagaimana pun ia tak mengerti apa arti pembunuh. Yang ia tahu adalah pembahasan tentang kartun-kartun yang selalu ia lihat.

"Pergi, bangsat!"

"Taehyung!" Taehyun memperingati adiknya dengan berteriak, ia tak menyangka bahwa adiknya akan mengatakan hal sekasar itu.

"Pergi!" Taehyung semakin histeris, kepalan tangannya menerjang kepala sang bocah tersebut sampai bocah tersebut membentur dinding tembok yang kokoh. Es krim yang dipegangnya jatuh mengotori lantai dan suara ringisan sakit terdengar dengan darah membekas pada dinding. Bocah itu berdarah pada kepalanya.

"Bangsat! Apa yang kau lakukan, bocah?" sosok pria bertubuh tinggi menghampiri Taehyung, memukul badan Taehyung dengan tongkat bisbol yang ia pegang.

"Jungkook, ayo, kita pergi dari sini."


"Appa ...,"


"Ayo, Jeon Jungkook! Jangan manja!"


Taehyung menajamkan pandangannya pada bocah yang tengah di angkat tubuhnya itu, rasa benci dan dendam terpupuk sudah dalam hatinya, ia mengepalkan tangannya dengan penuh amarah besar. "Aku akan menghancurkan hidupmu, Jungkook!" []

Painful ㅡ TaekookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang