Dua Belas

445 55 19
                                    

"Jadi ada caranya?" tanya Mingyu pada seseorang yang berbicara dengannya di sebrang telepon. Dia menatap keluar jendelanya dengan wajah sedingin cuaca hari ini.

[Ne, temui saja dokter Kang. Aku rasa kalian bisa melakukan itu mengingat kalian masih sekolah dan itu terjadi karena kesalahan kan?]

Mingyu memalingkan wajahnya saat mendengar itu terjadi karena kesalahan. Dia juga tidak tahu harus mengatakan apa, malam itu semuanya terjadi begitu saja. Perasaan cinta yang semakin membesar itu seakan tidak mampu membuatnya untuk tetap waras.

Dia kehilangan pikirannya saat itu. Jika saja Mingyu bisa menahan nafsunya, ah tidak Mingyu melakukan itu karena rasa cintanya pada Jiyeon. Perasaan cinta itu membuatnya haus akan kekasihnya. Semuanya berawal dari sentuhan kecil yang membuatnya ingin terus merasakannya pada akhirnya baik Mingyu maupun Jiyeon menginginkan hal yang lebih dari sekedar saling menyentuh.

Cintanya yang tidak terkontrol sama seperti nafsu yang tidak pernah bisa menemukan titik puas. Hingga akhirnya otak cerdas itu juga tidak dapat mempertahankan kewarasannya. Mungkin memang benar jika itu terjadi karena kesalahan mereka.

"Aku akan membawa Jiyeon besok kesana."

[Baiklah akan ku kabari dokter Kang. Tapi Mingyu kau yakin ingin melakukan ini?]

"Wae?" tanya Mingyu terdengar dingin, kenapa dia harus meragu? Dia dan Jiyeon akan memiliki anak di saat yang tepat, bukan sekarang. Dia datang tidak membuat Mingyu bahagia, sosok itu malah akan mendatangkan bencana untuk dirinya maupun Jiyeon. Tidak perlu berpikir dua kali lagi Mingyu sangat yakin akan melakukan itu.

[Dia darah dagingmu.]

Mingyu tersenyum miring. Darah daging? Tidak. Dia hanya pengganggu yang akan menghancurkan impiannya.

"Bukan, dia Pengganggu yang begitu ingin ku lenyapkan." Mingyu mematikan panggilan teleponnya, dia melempar ponsel itu keatas tempat tidurnya dengan kesal.

Kenapa harus terjadi hal seperti ini?

"Nak, kamu sedang apa?" Suara teriakan ibunya membuat Mingyu berbalik, dia meraih tas sekolah dan ponsel yang tadi dia lemparkan keatas ranjangnya.

"Tidak eomma! Aku akan segera turun!" Mingyu keluar dari kamarnya dengan terburu-buru, dia menutup pintu kamarnya lalu berjalan menuju ruang makan untuk menemui ayah ibunya.

***






Eunwoo membawa susu pisang dan roti yang tadi dia beli di kantin masuk kedalam kelas. Dia berjalan menuju seorang gadis yang sejak tadi hanya terdiam dengan kepalanya yang menempel dengan meja.

Baik Mino, Krystal ataupun Jieun dan Seulgi seakan tidak bisa membuatnya bersikap seperti biasanya. Gadis itu terlihat sangat pemurung seakan ada beban yang begitu besar yang tengah di bawa.

Eunwoo mendudukkan dirinya di samping sang gadis. Dia menyimpan susu pisang dan roti itu di sebelah sang gadis yang membelakanginya.

"Jangan lupa ini Ji, bukankah disaat seperti ini susu pisang dan roti adalah hal terbaik?" Eunwoo menegakkan tubuhnya, dia menjauhi Jiyeon yang perlahan menegakkan tubuhnya. Gadis itu menatap pada susu pisang dan roti yang Eunwoo bawa, tangannya bergetar saat dia ingin meraih susu pisang yang dia bawa.

Hiks!

Isak tangisnya terdengar, Eunwoo menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap Jiyeon yang tengah meminum susu pisang yang dia bawa dengan derai airmata yang berjatuhan.

"Jiyeon!" Ketiga sahabat wanita nya itu langsung berlari menghampiri Jiyeon, mereka segera memeluk Jiyeon yang kini semakin terisak. Jiyeon begitu tersedu, dia tidak bisa mengatakan kenyataan yang sedang dia alami saat ini. Jiyeon tidak bisa berbagi beban yang berat ini pada semuanya, Jiyeon juga tidak bisa terus berbahagia karena luka ini begitu nyeri untuk dia sembunyikan lagi. Dia tidak tahu harus berbuat apa hingga akhirnya dia bersikap seperti tadi.

"Waeyo Jiyeon-a? Ada apa?" tanya Krystal menahan tangisnya, dia tidak mau ikut menangis seperti Seulgi dan Jieun. Krystal menegakkan kepala Jiyeon yang sejak tadi tertunduk, dia mempertanyakan hal apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Jiyeon menjadi bisa sesedih ini?

Seberat apa sebenarnya luka yang Jiyeon tanggung hingga dia tidak mampu membaginya?

Jiyeon menggelengkan kepalanya dengan cepat hingga tetesan airmata itu berjatuhan seiring dengan gerak kepalanya. Seberapa ingin pun Jiyeon ingin mengatakan tetap saja dia tidak mampu, sekeras apapun dia meyakinkan hatinya untuk mempercayai sahabat-sahabatnya dia tidak bisa mengatakan semua yang terjadi.

Jiyeon takut, dia sangat jika mereka akan malu karenanya. Dia takut jika mereka semua akan menjauhi Jiyeon.

Mino dan Eunwoo saling menatap, mereka mempertanyakan satu tanya yang sama dalam benak mereka hal apa yang sebenarnya Jiyeon sembunyikan? Kesulitan seperti apa yang dialami hingga gadis yang ceria itu tidak mampu terbuka pada semua sahabatnya.

Mino menepuk bahu Eunwoo, dia tersenyum kecil pada sahabatnya yang begitu mengerti Jiyeon. Eunwoo selalu tahu apa yang Jiyeon butuhkan, dia adalah sosok yang diam-diam paling memahami Jiyeon lebih dari dirinya yang jauh lebih lama mengenal Jiyeon, dibanding mereka berempat hanya Mino yang mengenal Jiyeon lebih lama. Keduanya tumbuh bersama dalam lingkungan dan satu sekolah yang selalu sama.

'Bertahan sebentar lagi Jiyeon, bertahan hingga besok. Aku akan menghilangkan beban itu darimu.' Mingyu yang sejak tadi berdiri di depan pintu kelasnya menatap Jiyeon kini memutar tubuhnya, dia mengubah arah tujuannya lalu berjalan pergi meninggalkan kelas.

Hari ini dia akan membolos untuk menemui dokter Kang, sesuai dengan hal yang teman sekolahnya dulu sarankan Mingyu akan meminta bantuan dokter itu untuk menyingkirkan pengganggu itu dari hidupnya dan Jiyeon untuk selamanya.

***


Jiyeon mengikuti arah kaki Mingyu yang membawanya ke sebuah rumah sakit. Dia menatap sekitarnya yang tidak terlihat ramai, Jiyeon mendudukkan dirinya di samping seorang wanita hamil yang tadi tersenyum padanya.

"Chagi aku akan masuk dulu tunggu disini," ucap Mingyu berjongkok di depan Jiyeon,  dia membalas genggaman erat tangan gadis yang dicintainya itu lalu menatap Jiyeon lembut. Mingyu tahu jika kekasihnya itu pasti takut, ini juga menakutkan untuknya tapi membayangkan impian dan masa depannya berakhir juga sama menakutkannya.

"Apa kita harus.... "

Mingyu mengangguk pasti. Ini yang terbaik tidak perlu ada keraguan apapun.

"Jiyeon dengarkan aku hanya ini satu-satunya cara." Jiyeon takut sejak awal Mingyu mengatakan jika mereka harus melakukan ini, dia tidak mengerti kenapa Mingyu begitu sulit untuk mempertahankannya? Dia tidak pernah salah karena telah hadir, bukan kesalahannya jika dia ada diantara mereka.

"Semuanya akan baik-baik saja, aku janjikan akan hal itu Jiyeon." Jiyeon memejamkan matanya, dia berusaha untuk mempercayai setiap kata yang Mingyu ucapkan. Tapi sisi lain hatinya selalu meragu bahkan sisi itu seperti menentang hal yang Jiyeon lakukan.

"Arasho." Mingyu tersenyum tipis, dia mengelus wajah cantik kekasihnya lalu semakin mengeratkan genggaman tangan mereka. Mingyu berjanji semuanya akan baik-baik saja, hal ini adalah yang terbaik yang mereka pilih. Jiyeon harus mendapatkan beasiswa itu agar dapat meraih masa depannya dan dia akan terus berusaha untuk meraih mimpinya.

Tidak perlu mempertahankan hal yang hanya akan mendatangkan penderitaan. Ini adalah hal terbaik untuknya Jiyeon dan sosok yang tiba-tiba hadir dan merusak semuanya itu.

Jadi sebelum semua orang tahu mengenai kehadirannya, jauh lebih baik jika Mingyu harus segera menyingkirkannya. Yah Mingyu tidak salah, ini cara terbaik untuk melindungi dirinya dan gadis yang dia cintai.

YOUNG MOMWhere stories live. Discover now